Tuntutan dan Posisi Peran Amil Zakat

Loading

Oleh: Sunar Wulan (Pegiat Organisasi Nirlaba – Sekretaris Umum DPP FKAM)

Bukankah Zakat itu wajib bagi setiap Muslim kaya. Orang miskin terkikis, artinya dana zakat bertambah. Masyarakat cuma menuntut sudah tepatkah dana zakat tersalur?

Erie Sudewo

Selarik kalimat tersebut, saya kutip dari buku Keresahan Hati Pemulung Zakat yang ditulis Gurunda Erie Sudewo. Buku tersebut merupakan hadiah dari beliau beberapa tahun silam.

Barisan kalimat di atas tentu saja mengandung pesan dan makna yang begitu mendalam. Terutama dari sisi kelembagaan, yakni tuntutan terhadap posisi dan peran amil.

Pertama, amil hanyalah pengelola zakat, bukan pemilik. Zakat sudah jelas, dari muzaki oleh amil untuk mustahik. Maka tanggung jawab amil adalah melaksanakan pengelolaan dana zakat, termasuk infaq dan sedekah maupun dana sosial keagamaan lainnya secara profesional, amanah, akuntabel sesuai syariah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, sebagai pengelola, amil dituntut mengkreasi program untuk mustahik sebaik mungkin. Program haruslah qualified, dan mampu hadirkan perubahan atau dampak yang signifikan terhadap para mustahik, harus tepat guna dan tepat sasaran. Untuk hadirkan perubahan atau dampak signifikan maka program yang digulirkan bagi mustahik harus tekankan pada perubahan mindset, perilaku, etos kerja dan penguatan mental si mustahik.

Ketiga, kualitas program ditentukan kualitas amil selaku sumber daya manusia sebagai salah satu faktor internal lembaga yang utama. Kondisi internal yang baik, sehat, dan penuh motivasi, Insyaa Allah akan telurkan program yang kreatif, inovatif, brilian, dan akan berpengaruh pada perubahan mustahik secara signifikan. Sebaliknya jika tidak, program hanyalah copy paste sana sini atau ATP alias amati tiru persis, alias beda casing-nya saja. Kreativitas dan gagasan-gagasan pun terhenti, dan demotivasi pun tak terhindarkan. 

Keempat, bahwa performa lembaga amil zakat menjadi titik fokus perhatian para muzaki dan donatur. Apa yang ada dibenak mereka, bila donasinya tidak dikelola secara amanah, profesional dan akuntabel. Andai pun muzaki atau donatur tetap titipkan amanah donasi ke Amil, berapa lama motivasi dan kepercayaan mereka dapat bertahan?

Kelima, harus disadari bahwa amil berada di lembaga amil zakat berarti ia berada di organisasi nirlaba alias non profit. Tentu ada perbedaan mendasar antara organisasi nirlaba dan organisasi yang profit oriented atau bisnis. Produk bisnis kalau tidak memproduksi barang, pasti jasa. Sedang produk dari lembaga nirlaba adalah nilai keberadaban.

Kalau orientasi  lembaga nirlaba untuk peradaban, maka tak semestinya ukuran sukses tidaknya lembaga amil zakat hanya dari sisi penghimpunan dana atau jumlah muzaki, atau kantor cabang, apalagi  jumlah asetnya. Semestinya ukuran keberhasilan itu pada maslahat dan dampak dari eksistensi lembaga amil zakat itu.

Membangun beradaban sama dengan membangun kehidupan masyarakat. Membangun kehidupan berarti perihal nilai dalam hal ini adalah membangun karakter bangsa. Kondisi carut marutnya negeri ini berpangkal pada mulai hilangnya sifat-sifat dan perilaku baik, yang menjadi karakter bangsa ini.

Tentu saja hal itu menjadi tantangan sekaligus peluang bagi amilin untuk tetap berkomitmen, konsisten dan berkontribusi membangun kehidupan masyarakat dan negeri Indonesia ini. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan urusan para amilin dan diberikan keistiqomahan berada di jalan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *