Dua yang Dibenci Manusia

Loading

Oleh: Usatdz Nurdin

Manusia senang dengan sesuatu yang membuat bahagia dan memberi manfaat. Bisa berkumpul dengan anak-istri dan keluarga, salah satunya. Dengan hal tersebut membuat orang merasa nyaman dan tenang. Manusia juga suka harta. Dengan harta bisa membeli kebutuhan dan memenuhi keinginan. Ketika kebutuhan dan keinginan tercukupi, manusia merasa senang dan pikirannya tenang.

Hal di atas adalah di antara perspektif kebahagiaan di dunia. Bila manusia memiliki hal-hal tadi, dia akan senang dan bisa dibilang hidupnya bahagia. Kebalikannya, orang akan benci dan takut ketika tidak bisa lagi bertemu dengan keluarganya dan tidak punya kecukupan harta.

 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقُلُّ لِلْحِسَابِ

“Anak Adam benci dengan dua perkara; mereka membenci mati, padahal kematian itu lebih baik bagi seorang mukmin daripada tertimpa fitnah (kesesatan di dalam agama). Dan mereka benci sedikit harta, padahal sedikit harta itu akan lebih sedikit hisabnya (perhitungan amalnya).” (HR. Ahmad No. 813).

Benci Mati

Manusia membenci kematian karena mereka menganggap mati adalah jurang pemisah antara kenikmatan dunia dengan dirinya. Mereka mengganggap nikmat-nikmat yang melekat pada dirinya saat ini akan habis saat dia mati. Nikmat berkumpul dengan keluarga. Nikmat memiliki barang-barang berharga. Nikmat memiliki hobi dengan teman-teman sefrekuensi dan seabrek kenikmatan duniawi lainnya.

Tentang persangkaan manusia di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

یَعۡلَمُونَ ظَـٰهِرࣰا مِّنَ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَا وَهُمۡ عَنِ ٱلۡـَٔاخِرَةِ هُمۡ غَـٰفِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Rum: 7).

Banyak manusia menilai nikmat di dunia ini adalah nikmat yang paripurna. Karena nikmatnya terlihat dan bisa dirasa saat ini juga. Maka mereka takut bila harus berpisah dengan keadaan ini. Padahal mati adalah penghubung nikmat di dunia dengan nikmat di akhirat. Dan kenikmatan dunia ini hanya sekeping puzzle yang akan sempurna tertata justru ketika manusia telah meninggalkan dunia.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَاللَّهِ الَّذِي لا إِلَهَ غَيْرُهُ، مَا مِنْ نَفْسٍ حَيَّةٍ إِلا الْمَوْتُ خَيْرٌ لَهَا إِنْ كَانَ بَرًّا، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: ” وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِلْأَبْرَارِ” وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا , إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: ” وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا”

“Demi Allah Dzat yang tidak ada ilah untuk disembah kecuali Dia. Tidak ada satu jiwa pun yang mati kecuali kematian lebih baik darinya. Jika dia seorang yang baik, maka sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.’ (QS. Ali ‘Imran: 198).”

Namun celakanya, orang yang takut mati biasanya adalah orang yang tidak baik amalnya, lagi ragu dengan janji Syurga. Maka beliau melanjutkan perkataannya:

“Jika dia seorang yang fajir (jahat), maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا یَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِینَ كَفَرُوۤا۟ أَنَّمَا نُمۡلِی لَهُمۡ خَیۡرࣱ لِّأَنفُسِهِمۡۚ إِنَّمَا نُمۡلِی لَهُمۡ لِیَزۡدَادُوۤا۟ إِثۡمࣰاۖ

‘Janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. (QS. Ali ‘Imran: 178)’.”  (HR. Thabrani).

Maka, kematian bagi orang beriman adalah cara untuk merengkuh kenikmatan Syurga yang lebih baik daripada kenikmatan dunia. Dan kematian orang beriman adalah sebagai benteng pemisah dirinya dengan fitnah saat di dunia.

Sebagaimana para penyihir Fir’aun yang telah beriman, mereka meminta kematian untuk menyelamatkan keimanan mereka dari ancaman Fir’aun. Allah berfirman, “(Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)’.” (QS. Al-A’raf: 126).

Benci Miskin

Harta adalah salah satu karunia yang Allah berikan kepada manusia. Manusia pada fitrahnya memang suka dengan harta dan benci miskin. Umar Radhiyallahu ‘anhu tidak memungkiri hal ini, beliau berkata:

اللَّهُمَّ إِنَّا لاَ نَسْتَطِيعُ إِلاَّ أَنْ نَفْرَحَ بِمَا زَيَّنْتَهُ لَنَا،

“Ya Allah, sesungguhnya kami tidak kuasa selain turut bersenang hati dengan sesuatu yang telah Engkau jadikah indah di pandangan kami (yaitu harta benda).”

Memiliki harta adalah salah satu karunia yang sangat perlu disyukuri. Dengan harta seorang mukmin bisa mengeluarkan haknya dan menunaikan berbagai ibadah yang hanya bisa dilakukan bila punya harta. Namun, hakikat harta adalah fitnah dan sarat dengan pertanggungjawaban. Dan semakin banyak harta, akan semakin lama dan berat hisabnya. Allah telah mengingatkan:

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Taghabun: 15).

Rasulullah juga mengingatkan:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ

“Sesungguhnya pada setiap umat akan ditimpa fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi).

Maka, punya banyak harta justru akan menyusahkan pemiliknya kelak di akhirat karena akan berhadapan dengan hisab yang panjang. Kecuali pemilik harta kuasa untuk membelanjakannya benar-benar di jalan yang benar. Sebagaimana Umar Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan perkataannya:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ أَنْ أُنْفِقَهُ فِى حَقِّهِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar aku kuasa untuk membelanjakannya pada haknya (jalan-jalan yang benar).” (Riwayat Bukhari).

Dua hal yang dibenci manusia ini; mati dan miskin, dipahami betul oleh para shahabat. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata:

يَا حَبَّذَا الْمَكْرُوهَانِ: الْمَوْتُ وَالْفَقْرُ، وَأَيْمُ اللَّهِ أَلا إِنَّ الْغِنَى وَالْفَقْرَ وَمَا أُبَالِي بِأَيِّهِمَا ابْتُلِيتُ، إِنْ كَانَ الْغِنَى إِنَّ فِيهِ لَلْعَطْفِ، وَإِنْ كَانَ الْفَقْرُ إِنَّ فِيهِ لِلصَّبْرِ

“Alangkah bagusnya dua perkara yang dibenci (yaitu) kematian dan kefakiran. Demi Allah, ketahuilah sesungguhnya kekayaan atau kemiskinan, aku tidak peduli dengan yang mana dari keduanya aku diuji. Jika aku diuji dengan kekayaan, maka sesungguhnya di dalam kekayaan itu untuk menolong (agama). Jika aku diuji dengan kefakiran, maka sesungguhnya di dalam kefakiran itu untuk kesabaran.” (HR. Thabarani dan Ahmad).

Wallahu a’lam. Semoga Allah jadikan kita hamba yang bisa menjaga iman saat punya banyak harta maupun saat tak berpunya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *