Tetap Sedekah Meski Susah

Loading

Oleh: Ustadz Nurdin

Sedekah memang amalan yang luar biasa. Pahalanya melimpah dan banyak mendatangkan berkah dan faedah. Syekh Ali bin Muhammad Ad-Dihami dalam bukunya menyebutkan, bahwa setidaknya sedekah memiliki dua puluhan faedah. Mulai dari faedah di dunia maupun di akhirat. Di sisi lain, secara hubungan vertikal dengan Allah, sedekah membuahkan ridho dan mahabbah Allah. Dan secara hubungan horizontal dengan sesama manusia, sedekah akan menumbuhkan kasih sayang dan saling memiliki.

Karena inilah Rasulullah menghasung kaum muslimin sebisa mungkin untuk bersedekah, sebagaimana dalam sabdanya:

علَى كلِّ مُسلمٍ صدقةٌ

“Setiap orang muslim harus bersedekah.” (HR. Muslim).

Tak dipungkiri bahwa sedekah adalah ibadah yang membutuhkan modal harta, dan identiknya dilakukan oleh orang kaya kepada orang miskin, atau dari orang yang lapang untuk orang yang kepepet kebutuhan. Shahabat pun berpikir demikian, lalu mereka mengadukan kepada Rasulullah bahwa tidak semua mereka memiliki harta yang cukup untuk disedekahkan.

قِيلَ أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ يَجِدْ قَالَ يَعْتَمِلُ بِيَدَيْهِ فَيَنْفَعُ نَفْسَهُ وَيَتَصَدَّقُ

Shahabat bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana kalau dia tidak sanggup?” Beliau menjawab, “Hendaknya ia bekerja untuk dapat memberi manfaat kepada dirinya sendiri dan supaya dapat bersedekah.”

Islam menghasung umatnya untuk bekerja dan sangat membenci umatnya yang berpangku tangan. Dengan bekerja, dia mendapatkan penghasilan. Dengan penghasilan tersebut bisa dia gunakan untuk memberi manfaat pada dirinya sendiri, memberi nafkah pada istri, anaknya, serta orang tuanya. Dengan penghasilannya bisa dia gunakan untuk menyambung silaturahmi dan bisa mengeluarkan haknya berupa zakat maupun sedekah.

Said bin Musayyib Rahimahullah pernah berkata, “Tiada kebaikan bagi orang yang enggan mengumpulkan harta (bekerja) dengan cara yang halal. Dengan harta tersebut dia bisa menunaikan haknya, dia juga mampu menyambung silaturahmi, dan bisa menjaga wajahnya dari meminta-minta kepada manusia.” (Mausu’ah Ibnu Abid Dunya: 7/413).

Namun bagaimanapun, tidak semua orang mampu bekerja atau mendapatkan penghasilan lantaran berbagai keadaan. Entah karena sakit, kurangnya keterampilan, atau karena usia yang sudah tua. Maka shahabat pun kembali bertanya, “Bagaimana jika tidak mampu juga, ya Nabi?” Nabi pun memberi alternatif berikutnya:

يُعِينُ ذَا الْحَاجَةِ الْمَلْهُوفَ

“Hendaknya dia membantu orang yang dalam kesulitan.”

Sedekah tidak selalunya dengan harta. Kadang orang yang diberi lebih membutuhkan uluran tenaga daripada harta. Sedekah tenaga terkadang pahalanya lebih besar dan lebih dicintai Allah daripada sedekah harta. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah membahagiakan muslim yang lain, atau meringankan bencana yang menimpanya, atau melunasi hutangnya, atau memberinya makan. Sungguh saya lebih suka berjalan dengan seorang Muslim dalam suatu kebutuhannya, daripada beri’tikaf di masjid selama sebulan.” (HR. Thabrani).

Sedekah tenaga banyak macamnya. Mulai dari membantu tetangga saat sedang hajatan, saat membangun rumah, membayarkan hutang orang yang kesulitan, mendorong motor teman yang sedang kehabisan bensin di jalan, dan berbagai bentuk bantuan lainnya.

Lalu bagaimana bila tidak bisa juga menolong saudara dengan tenaga? Shahabat kembali bertanya, “Bagaimana kalau tidak sanggup juga?” Rasulullah memberi solusi ketiga:

يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ أَوْ الْخَيْرِ

“Hendaknya dia menyuruh kepada yang ma’ruf atau kebaikan.” 

Mengajak kepada kebaikan menjadi alternatif sedekah selanjutnya apabila tidak mampu sedekah dengan harta maupun tenaga. Mengajak hal baik adalah sifat yang melekat pada seorang mukmin. Fudhail bin Iyadh berkata, “Seorang mukmin adalah (yang senantiasa) menutupi aib, memperingatkan dan memberi nasihat saudaranya. Sedangkan orang yang fajir adalah (yang senantiasa) melanggar hak, membebani dan menyebarkan aib saudaranya.”

Amar ma’ruf dilakukan tidak harus menunggu diri kita suci terlebih dahulu, atau kita sudah melakukan semua apa yang kita serukan. Abu Darda adalah seorang shahabat yang senantiasa mengajak kepada kebaikan, meski kadang beliau belum mampu mengamalkannya. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku mengajak kalian kepada suatu kebaikan yang aku belum bisa mengamalkannya. Akan tetapi, aku berharap semoga Allah memberiku pahala (karena ajakanku tadi).” (Siyar a’lam Nubala’).

Amalan ini akan lebih sempurna apabila dibarengi dengan nahi munkar. Sebab, Allah menyebut kaum muslimin sebagai sebaik-baik kaum karena senantiasa beramar ma’ruf dan nahi munkar. Allah berfirman. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran: 110).

Shahabat kembali bertanya, “Bilamana amalan ini belum juga bisa dilakukan?” Maka Rasulullah memberi alternatif amalan berikutnya:

يُمْسِكُ عَنْ الشَّرِّ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ

“Hendaklah ia mencegah diri dari perbuatan buruk, sebab itu juga merupakan sedekah.”

Hadits Nabi ini menjelaskan tingkatan sedekah. Dimulai dari sedekah harta, lalu sedekah jiwa atau tenaga dengan menolong sesama, kemudian sedekah dengan perkataan dengan mengajak kepada kebaikan. Lalu Nabi menyebutkan alternatif terakhir apabila belum bisa memberi sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, hendaknya dia mencegah dari perbuatan buruk yang membahayakan dirinya dan orang lain.

Hal yang membahayakan diri kita adalah dosa. Dan di antara dosa berbahaya yang harus dihindari adalah meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan. Manakala kita mampu mencegah dari kedua hal tadi dengan diniatkan untuk Allah, maka hal tersebut bernilai sedekah.

Hal-hal buruk yang bisa mengganggu orang lain di antaranya ucapan kotor, ghibah, namimah, mencuri, mengganggu, menjelekkan, melecehkan, dan segala ucapan maupun perbuatan yang membuat orang lain tidak nyaman. Maka, selama kita bisa menjauhi hal-hal tadi, akan menjadi nilai sedekah pula manakala diiringi niat yang tepat.

Inilah pintu-pintu sedekah yang Rasulullah ajarkan kepada kita. Apabila tidak mampu memasuki pintu yang pertama, beliau berikan alternatif pintu yang kedua, ketiga, hingga keempat yang tidak membutuhkan modal apa-apa, hanya butuh kemauan saja.

Karena itu, hendaknya kita bersegera mengambil alternatif sedekah mana yang kita mampu, lalu laksanakan dengan penuh keikhlasan. Karena kalau tidak segera kita ambil, bisa jadi selamanya kita akan terhalang dari semuanya. Sebagaimana Nabi mengingatkan:

لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

“Orang yang masih saja lambat (mengejar kebaikan), maka Allah lambatkan mereka (dari meraihnya).” (HR. Muslim).

Dan bagi yang mampu mengambil semua pintu sedekah tadi, tentu akan lebih baik dan lebih sempurna pahala yang didapatkan. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *