Bagaimana Seorang Muslim Harus Bersabar

Loading

oleh: Bima Setya Dharma

Musibah merupakan bagian kehidupan manusia yang tak pernah terpisahkan. Semua orang, tanpa terkecuali, akan menghadapi cobaan dan ujian dalam hidup mereka. Dalam Islam, musibah dianggap sebagai ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merupakan bagian dari rencana-Nya yang lebih besar. Maka Islam mengajarkan bagaimana seorang muslim harus merespon ketika mendapatkan sebuah musibah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِي

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguji manusia dengan berbagai musibah, termasuk kesulitan ekonomi, kesehatan dan kehilangan orang yang dicintai. Namun, dalam setiap ujian tersebut, Allah memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertahan dan merespon dengan sabar dan keteguhan iman. Lalu bagaimanakah seharusnya kita bersabar? Apakah cukup dengan menerima musibah dengan hati sudah termasuk bersabar? 

Ibnul Qayyim Al Jauziyyah Rahimahullah menerangkan dalam kitabnya Al Wabillush Shayyib bahwasanya makna sabar adalah menahan hati dari rasa tidak puas terhadap taqdir, menahan lisan dari keluh kesah, serta menahan diri dari perbuatan maksiat. Maka, seseorang akan dikatakan sabar tatkala sudah melaksanakan ketiga hal tersebut. Marilah kita bahas lebih terperinci dari tiga hal tersebut.

Yang pertama, seseorang hendaklah menahan diri dari rasa tidak puas terhadap taqdir yang hal ini tidaklah mudah. Maka para ulama menjelaskan salah satu cara agar hati kita mampu menerima musibah yang menimpa adalah dengan cara meyakini bahwasanya segala musibah yang menimpa itu adalah atas ijin Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam surat At-Taghobun ayat 11:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Yang kedua, hendaklah seseorang menjaga lisannya dari berbagai jenis keluh kesah tatkala ada musibah yang menimpanya. Karena terkadang lisan ini mengeluarkan kata-kata yang tak sepantasnya ketika mendapatkan musibah. Padahal Islam mengajarkan kita untuk mengucapkan hal baik ketika kita mendapatkan musibah. Salah satu ungkapan yang disarankan untuk diucapkan seperti Innalillahi wa innaa ilaihi roji’un (إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ). Ini adalah ungkapan yang berarti, “Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.” Sebagaimana Allah sebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 157:

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Innalillaahi wa innaa ilaihi rojiun.”

Dan yang ketiga, hendaklah seseorang menahan diri dari perbuatan maksiat tatkala menerima musibah. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

ليس مِنَّا من ضرب الْخُدُودَ، وشَقَّ الْجُيُوبَ، ودعا بِدَعْوَى الجاهلية

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju dan menyeru dengan seruan jahiliyah (meratap).” (Muttafaq ‘alaih).

Mereka adalah orang-orang Arab jahiliyah yang ketika tertimpa musibah mereka akan menampar-nampar pipi mereka, merobek baju mereka, dan menangis sambil berteriak menyebut nama keluarganya yang sedang meninggal sebagai bentuk pelampiasan karena tidak bisa menerima taqdir yang Allah tetapkan. Itu semua termasuk perbuatan maksiat. Dan zaman sekarang masih banyak orang melakukan hal tersebut, hanya dengan bentuk yang berbeda. Seperti minum-minuman keras, mengkonsumsi narkoba, bahkan sampai bunuh diri. Kita sebagai Muslim wajib menjauhi perbuatan tersebut.

Maka, seorang Muslim akan dikatakan bersabar ketika menjalani tiga hal tersebut; meyakini dan menerima secara hati bahwasanya musibah itu dari Allah, menjaga lisan dari keluh kesah, serta menahan diri dari perbuatan maksiat tatkala musibah turun. Ketika kita mampu menjalankan ketiga hal tersebut, maka kita adalah termasuk orang yang bersabar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *