Bangunlah Keluarga dengan Ihsan

Loading

Oleh: Dr. Mulyanto Abdullah Khoir, M.Ag.

Ihsan adalah derajat paling tinggi bagi keislaman seseseorang. Tidak semua orang mampu meraih derajat ini. Hanya hamba-hamba pilihan Allah saja yang mendapatkan kemuliaan dengan derajat ini.

Saat dalam perjalanan, Ibnu Umar melihat seorang budak yang sedang mengembalakan kambing. Kemudian ia berkata, “Apakah kamu mau menjual seekor darinya?” Ia menjawab, “Sesungguhnya ini bukan milikku.” Ibnu Umar kemudian berkata, “Katakan saja kepada tuanmu, ada serigala yang telah memangsanya.” Budak itu berkata, “Lalu dimanakah Allah?”

Dikisahkan, seorang Syaikh memberikan perhatian khusus kepada seorang muridnya sampai yang lain merasa iri. Kemudian Syaikh tersebut menjelaskannya dengan masing-masing diberi seorang burung untuk disembelih di tempat yang tidak diketahui siapapun, termasuk murid kesayangannya tersebut. Setelah selesai, semuanya datang menghadap Syaikh dengan burung sembelihannya, terkecuali murid kesayangannya tersebut masih dengan burung yang hidup. Ketika ditanya Syaikh mengapa tidak menyembelihnya? Ia menjawab, “Syaikh menyuruhku untuk menyembelih di tempat yang tidak dilihat oleh siapapun dan aku tidak menemukan satu tempat pun yang tidak dilihat oleh siapapun.” Syaikh itu pun menjawab, “Oleh karena itulah aku memberikan perhatian khusus kepadanya.”

Suatu malam ada seorang lelaki yang merayu seorang perempuan di tengah padang pasir. Akan tetapi, perempuan itu enggan memenuhi ajakannya. Maka lelaki itu berkata, “Tidak ada yang melihat kita kecuali bintang-bintang.” Perempuan itu pun berkata,“Kalau begitu, dimanakah yang menciptakan bintang-bintang itu?!”

Kisah-kisah di atas adalah gambaran ihsan tumbuh dalam pribadi-pribadi yang memiliki derajat mulia. Merasa diawasi dan dilihat Allah dalam keadaan bagaimanapun.

Saling Percaya, Pondasi Bangunan Keluarga

Kepercayaan adalah pondasi utama dalam membangun keluarga. Keluarga yang dilandasi saling percaya akan terasa tenteram dan bahagia. Sebaliknya, saling curiga dan buruk sangka menjadi sebab munculnya perselisihan dan ketidakharmonisan. Ujung-ujungnya terjadi percekcokan dan perceraian.

Kepercayaan muncul jika masing-masing pasangan saling merasa diawasi Allah. Tumbuh rasa ihsan dalam diri pribadi keluarga. Suami bisa jadi tidak melihat, atapun istri tidak mengetahuinya, tetapi apapun yang dilakukan akan dilihat dan diawasi Allah. Pondasi inilah yang perlu ditanamkan untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.

Aktivis Islam tentu memiliki tanggung jawab yang besar, selain terhadap keluarga, juga terhadap masyarakat. Aktivitas yang padat kadang menjadikan intensitas di luar rumah lebih sering daripada di dalam rumah. Porsi untuk umat lebih mendominasi daripada porsi untuk diri dan keluarganya. Jika tidak disadari seorang istri untuk  percaya penuh atas apa yang dilakukan suami, maka yang terjadi adalah kecurigaan. Jika berlangsung akan menghancurkan sendi-sendi bangunan keluarga.

Istri harus percaya dan ikhlas bahwa apapun yang dilakukan suami adalah dalam rangka ibadah kepada Allah. Baik di rumah maupun di luar rumah. Seorang suami juga harus mampu membuktikan apa yang diyakini seorang istri tersebut. Begitu pula memberi kepercayaan penuh kepada istri untuk menjaga, mendidik, dan membesarkan anak-anaknya saat suami tidak ada serta menjaga harta dan kehormatannya. Bangunan ini harus dikokohkan bahwa ada Yang Maha Mengawasi yaitu Allah.

Kepercayaan Muncul dari Kejujuran

Bagaimana membangun kepercayaan dalam rumah tangga? Pertanyaan ini sederhana, namun tak sedikit orang bingung bagaimana memulai untuk membangun kepercayaan. Membangun keluarga dapat diawali dengan kejujuran. Jujur kepada istri dan anak-anak, baik dalam perbuatan maupun dalam perkataan. Ketika kejujuran lahir dari ketulusan dalam membangun rumah tangga, secara otomatis kepercayaan akan meningkat. Hubungan semakin harmonis, hilang buruk sangka. Kejujuran inilah yang mengantarkan untuk meraih kebahagiaan dalam keluarga. Modal untuk merealisasikan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.

Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian jujur. Karena sesungguhnya kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke Syurga. Seseorang yang selalu jujur dan memilih kejujuran, akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah dari perbuatan dusta. Karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke Neraka. Seseorang yang selalu berdusta dan memilih berdusta, akhirnya dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).

Bangunan kepercayaan dan kejujuran tidak akan muncul dalam diri seseorang, kecuali ia merasa berada dalam pengawasan Allah. Ketika seorang suami berbohong kepada istrinya, maka Allah akan mengetahui atas kebohongannya tersebut, meskipun istri tidak mengetahui seribu kedustaan yang ia lakukan.

Kebohongan akan memunculkan kebohongan berikutnya. Atau mencari celah untuk bisa berbohong. Pada akhirnya akan merusak hubungan keluarga, baik terhadap istri, anak-anaknya maupun keluarga dan kerabat. Jika pondasi bangunan keluarga rusak, maka rusaklah bangunan keluarga tersebut, Akibatnya bangunan tersebut rapuh dan akhirnya roboh.

Sebaliknya, kejujuran akan melahirkan kebaikan, keberkahan dan ketenteraman dalam keluarga. Seorang suami yang jujur akan menjadikan kehidupannya nyaman tanpa beban. Tanggung jawabnya menjadi ringan.  Kejujuran telah menghantarkan untuk melakukan amal terbaiknya dalam membangun mahligai rumah tangga. Menurutnya, kejujuran bagian dari ibadah dalam meraih keridhoan Allah. Apapun yang dilakukan, Allah Maha Melihat. Sekecil apapun perbuatan, Allah akan membalasnya. Saat menabung kebaikan, maka Allah akan membalas berlipat kali kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *