Bakhil Karena Anak

Loading

Oleh: Dr. Mulyanto Abdullah Khoir, M.Ag.

Bakhil adalah tidak mau memberikan harta yang diberikan Allah kepadanya, meskipun ia memiliki kelebihan untuk itu. Bakhil termasuk perbuatan yang buruk, bahkan termasuk akhlak yang tercela. Allah mencela orang-orang yang bakhil, karena sesungguhnya hal tersebut sangat buruk baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah memberikan gambaran bagaimana orang bakhil dan orang yang suka memberi dalam bersedekah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Perumpamaan orang bakhil dan orang yang suka memberi seperti dua orang yang memakai baju besi. Jika orang yang suka memberi ingin bersedekah, maka baju besinya melonggar hingga bekas lilitannya hilang. Sedangkan orang yang bakhil jika ingin bersedekah, baju besinya justru bertambah ketat hingga membelenggu kedua tangannya ke lehernya hingga tercekik.” (Mutafaqun ‘Alaih).

Bakhil Karena Anak

Pertanyaannya, apa yang menyebabkan seseorang bakhil? Salah satunya adalah anak. Mengapa anak menjadi penyebab kebakhilan? Karena rasa cinta orang tua yang berlebihan menjadikan terhalangi hatinya untuk membantu sesamanya. Rasa cinta dan kekhawatiran akan masa depan anak mampu menjadikan orang tua menjadi bakhil. Jika ingin membantu orang lain, ada kekhawatiran ia menjadi miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Hal ini pernah diungkapkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Sesungguhnya anak itu menyebabkan kebakhilan, kepengecutan, kebodohan dan kesedihan.” (HR. Tabrani).

Ada lagi orang tua yang rela membelikan apa saja yang diminta anak-anaknya. Bahkan dia berkorban dengan segala daya upayanya untuk memenuhi kebutuhan anak. Tetapi amat pelit untuk memberi kepada orang yang membutuhkan, bahkan kepada orang tua sekalipun termasuk terhadap kerabat, kakak, dan adiknya. Dalam pikirannya, memberi harus mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Persepsi yang keliru ini menjadikan berat untuk menolong orang lain.

Apakah mencintai anak salah? Jawabnya tentu tidak. Karena cinta kepada anak adalah tabiat alami seseorang. Namun, jika salah menempatkan cinta, justru akan menjerumuskan orang tua karena akan melahirkan berbagai sikap dan perangai yang buruk. Bukankah anak adalah ujian bagi kedua orang tuanya?

Obat Kebakhilan dengan Sedekah dan Memuliakan Tamu

Di antara obat kebakhilan adalah dengan sedekah, memuliakan serta menjamu tamu. Hal ini pernah dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh Abu Thalhah sehingga Allah dan Rasul-Nya memujinya.

Di riwayatkan, ada seorang datang menghadap Rasulullah seraya mengatakan bahwa dirinya lapar dan tidak memiliki apa-apa. Rasulullah membawa ke istrinya, ternyata istrinya juga mengatakan hal yang sama, tidak memiliki apa-apa kecuali air. Lalu Rasulullah membawa ke istrinya yang lain, ternyata jawabannya sama. Maka dibawalah orang tersebut kepada shahabat-shahabatnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menawarkan, siapa yang mau menjamunya, mudah-mudahan Allah memberinya rahmat. Berdirilah seorang shahabat Abu Thalhah yang bersedia menjamunya. Dibawalah tamu tersebut pulang ke rumah Abu Thalhah.

Sesampai di rumah Abu Thalhah bertanya kepada istrinya, adakah yang bisa diberikan kepada tamu tersebut? Istrinya menjawab, tidak memiliki apapun kecuali makanan untuk anak-anaknya. Maka, Abu Thalhah meminta agar istrinya membujuk anaknya agar tidur, setelah itu agar memasakkan makanan anaknya tersebut untuk tamunya.

Setelah istrinya selesai memasak, Abu Thalhah menghidangkan makanan tersebut kepada tamunya. Tanpa sepengetahuan tamunya, Abu Thalhah tidak makan, karena makanan tersebut cukup hanya untuk tamunya. Akhirnya, tamu tersebut makan dengan lahabnya, sementara Abu Thalhah dan istrinya masih dalam kelaparan.

Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, Rasulullah memujinya seraya menyebutkan bahwa Allah kagum terhadap apa yang dilakukan oleh Abu Thalhah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala memujinya dengan turunnya surat Al Hasyr ayat 9:

“Dan mereka lebih mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri meskipun dirinya sangat membutuhkannya.”

Dalam kisah yang lain, Umar ibn Khattab ingin mengungguli Abu  Bakar dalam masalah sedekah. Ketika Rasulullah memerintahkan untuk bersedekah, Umar bersegera untuk melaksanakan perintah tersebut dengan harapan mampu mengungguli Abu Bakar. Ia datang kepada Rasulullah dengan membawa separuh hartanya. Dan ketika ditanya Rasulullah, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Umar menjawab, “Saya sisakan separuhnya.”

Setelah itu, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh harta yang dimilikinya. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk kelurgamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.” Mendengar ucapakan Abu Bakar tersebut, Umar mengatakan dalam hatinya, ia tidak mungkin untuk menandingi Abu Bakar dalam amalan tersebut.

Apakah yang dilakukan Abu Thalhah, Umar dan Abu Bakar menjadikan ia miskin? Atau menghalanginya dalam memenuhi kebutuhan keluarga, istri dan anak-anaknya? Ternyata, sikapnya yang suka membantu dan memberi orang lain, menjadikan hidupnya bergelimang dalam rahmat dan barokah Allah. Mereka tidak pernah bakhil terhadap diri, keluarganya dan orang lain. Apalagi bakhil dengan mengurangi hak-hak Allah dan Rasul-Nya terhadap harta yang dimilikinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *