Lillah di Jalan Dakwah

Loading

Asas kita bekerja adalah bagaimana senantiasa taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam mencari rida-Nya. Begitu pula dalam dakwah. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa dakwah ini adalah tugas setiap mukmin. Dakwah adalah perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama 40 tahun hidup di Kota Mekah tidak berbicara tentang dakwah. Diam walaupun kejahiliyahan berada dimana-mana. Baru setelah diperintah, ketika usia beliau sudah 40 tahun, beliau bergerak.

“Yā ayyuhal-muddaṡṡir. Qum fa anżir.”

Artinya: “Hai orang yang berselimut. Bangkit, lalu berilah peringatan!” (Surah Al-Muddatsir: 1-2)

Setelah beliau mendapatkan perintah, baru beliau berdakwah. Karena dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam semata-mata karena perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Saat dakwah beliau sudah mulai nampak keberhasilannya di Kota Mekah dan Jazirah Arab, para raja-raja pun mulai mendengar dakwah beliau, termasuk Raja Persia. Kemudian Raja Persia mengirimkan utusan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan meminta beliau untuk menghentikan dakwahnya. Namun beliau menolaknya. Beliau sampaikan bahwa dakwahnya bukan kehendak pribadi namun semata-mata karena perintah Allah. Maka, hal pertama yang harus kita tanamkan dalam diri kita agar lillah di jalan dakwah adalah memurnikan niat semata-mata karena Allah.

1. Semata-mata karena Allah

Dakwah kita semata-mata karena taat kepada Allah. Asas kita dalam berdakwah ini karena taat kita kepada perintah Allah. Dengan demikian barulah dakwah ini ada kekuatannya. Dakwah kita akan mendapatkan pertolongan Allah sebagaimana ditolongnya Rasulullah dan para sahabatnya. Sesulit apapun tantangan dakwah, saat tertanam dalam diri kita bahwa dakwah ini adalah perintah Allah, maka Allah akan menolong kita. Jangan biarkan setan menipu kita sehingga menyebabkan dakwah kita bukan karena taat kepada Allah. Kalau dakwah kita karena sebab yang lain, misalnya saja karena uang, teman, posisi, jabatan, jumlah jamaah, dsb. Inilah yang bisa menyebabkan kemerosotan ruhaniah kita. Dalam dakwah yang penting kita mendapatkan rida Allah. Apapun dan dimanapun kita dalam dakwah, sama saja.

2. Senantiasa dalam bimbingan ulama dan tidak lepas dari ilmu

Tanpa ulama, dakwah ini akan menjadi fitnah. Karena adkwh erjalan tanpa bimbingan ad arahan. Di segala lini dakwah, peran ulama tidak bisa dilepaskan. Karena merekalah yang akan mengarahkan kita. Ulama tahu mana yang banyak manfaatnya dan mana yang banyak mudaratnya. Penting sekali bagi kita sebagai pelaku dakwah untuk senantiasa dekat dengan bimbingan para ulama. Kita harus menghormati para ulama. Dimanapun posisi kita berdakwah, kita harus kenal dengan para ulama di tempat tersebut.

Kebiasaan para ulama terdahulu, mereka tidak akan berpindah kota, berpindah wilayah kecuali setelah mehabiskan ilmu atau telah selesai belajar denga ulama di wilayah tersebut. Para ulama terdahulu terbiasa rihlah keluar kota atau bahkan keluar negaranya itu setelah menghabiskan ilmu di kotanya. Maka sangat penting bagi para juru dakwah untuk tidak hanya fokus kepada kegiatan-kegiatanya, tapi juga senantiasa memuliakan para ulama, memberikan hadiah kepada mereka, bahkan melayani kebutuhan mereka. Hal ini sangat penting sekali karena berkaitan erat dengan keberkahan usaha dakwah.

Hadiah tidak mesti harus dengan uang atau barang. Hadiah dapat juga berupa amalan.  Ada lebih dari 30 dalil di dalam Al-Qur’an ataupun As-Sunnah tentang bolehnya memberikan hadiah amal kepada orang lain, terlebih lagi kepada ulama. Contohnya kita dapat menghadiahkan bacaan Al-Fatihah atau hewan qurban.

Ulama adalah warosatul anbiya’ (pewaris para nabi). Kerena Nabi sudah tidak ada dan wahyu pun sudah terputus. Maka melalui perantara ulamalah kita meminta petunjuk. Kalau ada tokoh ataupun pejabat tidak setuju dengan dakwah kita, tidak masalah. Tetapi kalau ada ulama tidak setuju, maka kita harus berbenah. Pasti ada yang salah dalam usaha dakwah kita. Harus menjadi pikiran kita kalau ada ulama mengkritik cara dakwah kita. Karena ulama mencadi acuan bagi aktivis dakwah.

Barangsiapa yang taat kepada Allah maka pasti mencintai Rasulullah. Barangsiapa benar-benar mencintai Rasulullah maka dia pasti mencintai para sahabat. Dan barangsiapa yang benar-benar mencintai para sahabat pasti dia akan memuliakan para ulama. Maka jangan sekali-kali kita mengkritisi para ulama. Syariat Islam sudah tuntas. Tidak perlu kita sibuk sendiri dengan syariat yang di-ikhtilaf-kan oleh para ulama. Para ulama telah memikirkan ratusan tahun yang lalu tentang menyimpulkan hukum-hukum. Justru dakwah kitalah yang belum tuntas. Ada ribuan lebih orang yang masih belum bisa membaca Al-Qur’an. Ada banyak wilayah marjinal yang membutuhkan penguatan aqidah. Ada banyak orang-orang yang belum mengenal syari’at Allah subhanahu wa ta’ala di pedalaman-pedalaman. Inilah yang harus dituntaskan bukan justru sibuk mencela para ulama.

Selanjutnya, karena dakwah terkait dengan ulama, maka dakwah ini juga tidak bisa lepas dengan ilmu. Inti dari kita berkhidmat dan meminta bimbingan para ulama itu adalah ilmu. Setiap aktivis dakwah tidak boleh satu pekan tidak menambah ilmu. Harus ada kajian-kajian rutin yang diikuti. Tidak mungkin kita mengisi gelas orang lain sedangkan gelas kita kosong. Penyakit aktivis dakwah itu jika mengadakan acara semangat, tapi kalau sudah taklim atau ngaji, lemas. Maka ada yang salah jika demikian. Karena dakwah itu selalu beriringan dengan ilmu. Salah satu keberkahan ilmu itu, ketika kita semakin menimba ilmu, maka kita akan merasa diri kita bodoh. Semakin dekat aktivis dakwah dekat dengan ilmu dan ulama, maka semakin dia menghargai orang lain di sekitarnya. Dia akan lebih empati. Dia akan lebih simpati terhadap perkara-perkara di sekitarnya yang harus diselesaikan.

3. Senantiasa membersamai umat

Ketika kita berjalan di atas jalan dakwah ini, maka dakwah ini bukan untuk diri kita atau kelompok kita. Inti dari dakwah ini adalah untuk kerja bersama umat dan untuk membersamai umat. Jadi kalau kita melihat sebuah pondok pesantren, yang harus ada di benak kita, ini pondok pesantren kita, kaum muslimin. Kalau kita melihat seorang ulama maka kita juga harus mengatakan ini adalah ulama kita. Ulama kaum muslimin. Kalau kita melihat masjid A, ya ini masjid kita. Mari kita makmurkan bersama. Banyak penyakit aktivis dakwah sehingga menjadikan dakwah ini sebagai kelompok-kelompok. Akhirnya banyak dari aktivis dakwah yang hanya ingin membantu pesantren tertentu saja. Ngaji bersama ulama tertentu saja. Beraktivitas hanya di masjid tertentu pula. Inilah yang menjadikan dakwah ini tersendat. Dakwah kita belum lillah. Maka, tidak penting siapa yang memegang bendera. Yang penting adalah dakwah ini maju. Dakwah ini berkibar.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda, “Yaadullahi ma’al jama’ah”. Tangannya Allah itu selalu berada bersama al-jama’ahAl-Jama’ah itu persatuan umat. dan Allah sendiri menekankan jika kita tidak bersatu, maka Allah akan murka, sebagaimana firman-Nya di dalam surah An-Nisa’ ayat 115.

Wa may yusyāqiqir-rasụla mim ba’di mā tabayyana lahul-hudā wa yattabi’ gaira sabīlil-mu`minīna nuwallihī mā tawallā wa nuṣlihī jahannam, wa sā`at maṣīrā.”

Artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat Kembali.

Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk merajut persatuan antar kaum muslimin. Dan Allah sendiri mengancam kalau kita tidak mau bekerja membersamai umat, maunya bekerja untuk kelompoknya sendiri, maka Allah akan memberikan murka neraka-Nya. Karena memang dakwahnya tidak lillah. Dakwahnya untuk kelompoknya sendiri.

Dakwah kita harus didasari dengan semangat persatuan. Saling mengisi kekurangan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian dakwah akan berjalan selaras. Dakwah ini akan semakin kuat. Dakwah adalah milik bersama sebagai sarana untuk mendapatkan keridaan Allah subhanahu wa ta’ala.

4. Senantiasa mensucikan diri

Seorang aktivis dakwah harus senantiasa memperhatikan kesucian jiwanya, tazkiyaun nafs-nya. Senantiasa mensholihkan dirinya. Bagaimana mungkin kita berharap orang lain sholih akan tetapi diri kita tidak sholih. Allah ta’ala berfirman di dalam suraah Asy-Syams, “Qod aflaha man zakkaha.” Artinya, sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya. Maka ketika tujuan kemenangan kita adalah menuju surga-Nya Allah. Kecerdasan seseorang untuk memilih jalan yang benar tergantung pada kesucian jiwanya. Ketika seseorang itu cermat memilih jalan yang benar, cerdas atas bimbingan Allah ta’ala tergantung bagaimana seseorang itu menyucikan jiwanya. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 282, “Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Kita diperintahkan oleh Allah untuk bertakwa kepada-Nya. Taat kepada Allah dengan mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Jika dakwah kita ingin dibimbing oleh Allah, dakwah kita ingin benar-benar bermanfaat untuk umat, harus kita perhatikan kesucian jiwa. Perhatikan sholat fardhu kita. Berapa ayat yang sudah kita baca dalam satu hari. Jangan sampai kita memakai pakaian aktivis dakwah tapi sholat berjamaah kita tertinggal. Kita jarang membaca Al-Qur’an. Supaya lillah di jalan dakwah, kita harus pedulikan diri kita. Jangan seperti lilin yang baik untuk sekitar akan tetapi dirinya sendiri hancur. Jadilah pribadi yang sholih untuk dirinya dan sholih untuk orang lain. Kesholihan dalam tazkiyatun nafs ini harus senantiasa diperhatikan. Ketika ada saudara sesame aktivis dakwah melakukan kesalahan, maka kewajiban kita menegur dan mengingatkan. Karena menegur kesalahan itu bagian dari amar ma’ruf. Dan amar ma’ruf adalah bagian dari kesholihan diri.

5. Sabar dan tidak mengeluh

Jalan dakwah adalah proses perjalanan yang sangat panjang dan ancamannya sangat berat. Orang-orang yang berada di jalan dakwah syarat dengan kesulitan dan ancaman. Diperlukan kesabaran yang hebat. Jangan pernah bosan berjalan di jalan dakwah. Al-Qur’an sendiri menceritakan tentang aktivis dakwah yang bernama Nabi Musa ‘alaihi salam. Objek dakwah beliau adalah Bani Israil. Beliau merupakan aktivis dakwah yang sangat hebat tapi sangat tragis perjuangan beliau. Itulah yang menjadi alasan kenapa kisah Nabi Musa ‘alaihi salam diceritakan di dalam Al-Qur’an sebanyak 136 kali, sedangkan Rasulullah hanya disebut sebanyak 4 kali di dalam Al-Qur’an. Dengan kisah Nabi Musa Allah memberikan semangat dakwah kepada Nabi Muhammad. Panutan perjuangan dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dakwah Nabi Musa ‘alaihi salam penuh dengan cacian dan ancaman.

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi adalah manusia yang lisannya sangat sempurna. Dapat menirukan beberapa lahjah, seprti: Hijjaz, Yaman, Syam, Naj’, dsb. Allah ta’ala ingin mengatakan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa Nabi Musa untuk berbicara saja sulit (cadel). Maka dari situ akhirnya ada doa Nabi Musa ‘alaihi salam robbishrohli shodri wayassrli amri wahlul u’datamillisaani yafqohu qouli. Sampai ketika Nabi Musa menghadap Fir’aun, Dia mengatakan “Apa tidak ada utusan dari Tuhanmu selain kamu?”

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam memiliki julukan Al-Amin (terpercaya). Beliau adalah orang yang sangat dikagumi di Mekah dan sekitarnya. Sedangkan Nabi Musa ‘alaihi salam, beliau adalah seorang buronan setelah membunuh orang Mesir. Beliau kabur lalu kembali lagi ke Mesir. Kita bisa meraskan bahwa seorang buronan kembali ke wilayahnya.  Betapa berat untuk bisa menyampaikan kebenaran ini. Sebagaimana Fir’aun dan kaum Bani Israil menganggap Nabi Musa ‘alaihi salam ini adalah seorang penjahat. Dari sisi lain, bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam tidak ada perasaan untuk balas budi kepada kaum Quraisy, sedangkan Nabi Musa ‘alaihi salam, ada peran Fir’aun di dalam proses pertumbuhannya sampai dewasa. Inilah alasan kenapa Allah mengulang-ulang kisah Nabi Musa ‘alaihi salam dan Fir’aun untuk senantiasa memotivasi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam.

Nabi Muhammad memiliki sahabat-sahabat yang hebat seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib dan masih banyak sahabat yang sangat loyal dengan Nabi Muhammad. Di sisi lain, Nabi Musa hanya mempunyai seorang sahabat, yaitu Nabi Harun. Yang juga merupakan saudara Nabi Musa. Ketika ditinggal Nabi Musa kaumnya menyembah sapi.

Ketika kita mengambil jalan sebagai aktivis dakwah, maka kita wajib mentadaburi kisah Nabi Musa dan Fir’aun supaya militansi kita terbangun agar kesabaran kita tertempa. Jangan pernah bosan untuk selalu berdakwah. Jika dakwah ini ingin sukses, teruslah mengajak.

Disarikan dari Kajian Ahad Pagi Ustadz Umaier Khaz pada 1 Agustus 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *