Kepemimpinan Hasyim atas Makkah

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Hasyim adalah salah seorang leluhur Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang cukup menonjol dalam sejarah. Nama Hasyim disebut Nabi dalam sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى هَاشِمًا مِنْ قُرَيْشٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari anak keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, dan memilih Hasyim dari suku Quraisy, serta memilihku dari Bani Hasyim. (HR At-Tirmidzi).

Kecemburuan Umayyah Kepada Hasyim

Dalam edisi sebelumnya disebutkan bahwa Hasyim memimpin Makkah sepeninggal ayahnya, Abdu Manaf. Popularitas dan kedudukan Hasyim membuat keponakannya, Umayyah bin Abdusy Syams, benci dan cemburu. Umayyah berusaha menarik simpati rakyat kepada dirinya dengan memberikan banyak hadiah kepada mereka. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, namun ia tetap tidak dapat mendongkel Hasyim dari kedudukannya. Sebaliknya, usahanya untuk mencemari dan memfitnah Hasyim malah menambah kehormatan dan keanggunan Hasyim di hati penduduk. 

Api cemburu terus membakar hati Umayyah. Akhirnya, ia mendesak pamannya agar mereka mendatangi salah seorang dukun dari suku Khuza‘ah yang tinggal di ‘Usfan, yaitu kakek dari ‘Amru bin Al-Hamiq. Umayyah mengusulkan bahwa hanya orang yang dikukuhkan dukun itulah yang pantas memegang kendali pemerintahan Makkah. Kehebatan Hasyim tidak membiarkan dirinya terlibat pertengkaran dengan keponakannya.

Akan tetapi karena Umayyah sangat mendesak, Hasyim menyetujui usul itu dengan dua syarat. Pertama, pihak yang kalah dalam perkara itu harus mengorbankan lima puluh ekor unta ketika tiba musim haji. Kedua, ia juga harus meninggalkan Makkah selama sepuluh tahun. Tatkala si Dukun dari ‘Usfan melihat Hasyim, ia memujinya dan memberi keputusan yang menguntungkannya. Oleh karenanya, Umayyah terpaksa meninggalkan Makkah dan tinggal selama sepuluh tahun di Suriah. Sementara itu, Hasyim mengambil unta-unta tadi untuk disembelih dan dibagi-bagikan dagingnya kepada penduduk Makkah. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/619).   

Pernikahan Hasyim

Hasyim menikah dengan seorang janda yang bermukim di Madinah. Ia adalah Salma binti ‘Amir dari Bani An-Najjar dan dari suku Khazraj, satu dari dua suku yang paling berpengaruh di Madinah. Sedemikian mulianya wanita itu dan keluarganya sehingga sekian banyak –sebelum Hasyim– laki-laki yang ingin melamarnya, namun selalu saja ditolak. Salma dilihat oleh Hasyim di pasar orang-orang Nabath (Madinah) dalam perjalanannya berdagang menuju Syam. Salma bersedia dilamar Hasyim dengan dua syarat. Pertama, hak perceraian (talak) berada di tangannya. Kedua, apabila kelak melahirkan, ia harus berada di tengah kaumnya Bani An-Najjar di Madinah.

Hasyim menerima kedua syarat itu, apalagi ia menyadari bahwa keluarga Salma merupakan salah satu keluarga yang sangat terpandang di Madinah dan tidak kurang terhormatnya dari keluarga Hasyim di Makkah. Sebaliknya, Hasyim pun oleh keluarga Salma tentu dinilai sebagai seorang yang wajar jika disejajarkan dengan Salma dalam kedudukan sosial dan budi luhurnya. Jika tidak demikian, niscaya Hasyim akan ditolak, apalagi calon istri akan dibawa ke Makkah yang jaraknya cukup jauh dari Madinah.    

Sekembalinya dari Syam, Hasyim menikah dengan wanita idamannya. Mereka berdua kemudian pergi menuju Makkah. Ketika Salma telah mengandung dan dekat masa kelahirannya, Hasyim menepati janjinya membawa istri tercinta ke Madinah untuk melahirkan sesuai syarat sang istri. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan dagangnya ke Syam. Akan tetapi, sebelum sempat kembali ke Madinah, maut menjemput Hasyim di Gaza (Palestina) dalam usia yang masih sangat muda. Ibnul Atsir menyebutkan bahwa usia Hasyim waktu itu baru dua puluh tahun. Menurut riwayat lain, usianya dua puluh lima tahun.   

Hasyim adalah orang pertama yang meninggal dari kalangan anak-anak Abdu Manaf. Setelahnya, meninggallah Abdusy Syams di Makkah dan dikuburkan di Ajyad. Kemudian meninggal Naufal di Salman, sebuah jalur menuju Irak. Selanjutnya meninggal Al-Muthallib di Radman, yaitu sebuah daerah yang berada di Yaman. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/619).

Di Madinah Salma melahirkan anak laki-laki hasil pernikahannya dengan Hasyim. Anak itu diberi nama Syaibah Al-Hamd yang secara harfiah berarti “uban yang terpuji”. Konon ketika lahir, terdapat beberapa helai rambut putih di kepala sang anak. Ada pula yang memahami penamaan ini sebagai harapan semoga ia bisa hidup lanjut hingga tua dan semoga ia selalu terpuji. Kelak setelah bermukim di Makkah, Syaibah kemudian lebih dikenal dengan nama Abdul Mutthallib. (Quraisy Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hlm. 145).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *