Merasa Iba dengan Seorang

Loading

Tidakkah merasa iba dengan seorang anak yang yatim karena bapaknya wafat? Sementara keberadaan seorang bapak tersebut sangat disayanginya. Bapaknya tersebut sebelumnya adalah yang membesarkannya, mendidiknya, menggendongnya, menyekolahkannya, mengantarkannya saat bepergian, membelikannya pakaian, memberinya uang jajan, yang menggandengnya pada saat berada di keramaian, dan yang menemaninya saat bermain.

Bapaknya tersebut merupakan sosok yang sangat menyayanginya. Sosok yang kepadanya dia bertanya, meminta, mengadu, dan bermanja-manja.

Dengan wafatnya bapaknya, dia pun menjadi anak yatim. Dengan wafatnya bapaknya, dia pun kehilangan orang yang menuntun dan menyangga kehidupannya. Dengan wafatnya bapaknya, dia tentu sangat bersedih.

Tidakkah merasa iba dengan seorang istri yang suaminya wafat? Sementara keberadaan suami tersebut sangat disayanginya.

Suaminya tersebut sebelumnya adalah yang mendampinginya, menafkahinya, mengantarkannya ke penjual sayuran, menasehatinya, mengantarkannya ke toko, menemaninya makan, temannya bercengkrama, tempatnya curhat, dan sebagainya. Suaminya tersebut merupakan sosok yang sangat menyayanginya. Sosok yang dengannya dia lewati lembaran-lembaran kehidupan.

Dengan wafatnya suaminya, dia pun menjadi janda. Dengan wafatnya suaminya, dia pun kehilangan orang yang menentramkannya dan menenangkannya saat ketidaknyamanan menerpanya. Dengan wafatnya suaminya, Dia tentu sangat berduka.

Dengan keadaannya tersebut, dia pun mengambil beberapa peran yang sebelumnya diperankan suaminya. Sebab, kehidupan tetap berjalan.

Dia harus tegar. Dia tidak boleh larut dengan kesedihan yang menimpanya. Dia juga harus merawat anaknya. Dia harus menghibur anaknya. Dia harus mendidik anaknya. Dia harus menemani anaknya. Dia harus membesarkan anak yang sudah tidak lagi punya bapak. Tentu ini merupakan hal yang berat.

Tidakkah merasa iba dengan seorang yang terpaksa harus berhutang karena sangat membutuhkannya, namun dia tidak dapat membayarnya saat jatuh tempo? Ditagih, namun dia belum dapat mengembalikannya. Ditagih lagi, namun dia belum juga dapat mengembalikannya. Kadang nagihnya dengan gaya yang tidak bersahabat.

Kadang dia bisa jadi sangat menyesal karena sudah berhutang. Namun kemudian, dia juga menyanggahnya kalau saat itu keadaannya memang sangat terpaksa.

Hutangnya pun membayanginya. Hutangnya pun menjadikan dia tidak tenang.

Tidakkah merasa iba dengan seorang dhuafa? Dia serba tidak punya padahal sangat membutuhkannya. Hidupnya berada pada ketidakmampuan-ketidakmampuan. Keadaannya sangat memprihatinkan. Apa yang ada padanya tidak selayaknya apa yang dipunyai masyarakat pada umumnya.

Kadang dia harus menahan lapar karena tak punya uang untuk membeli makanan. Kalau dapat makan, makanannya pun seadanya dan itu pun harus dibagi-bagi dengan anggota keluarganya.

Kadang kalau sakit, dia tidak punya uang untuk memeriksakan kesehatannya. Dia tahan rasa sakit yang dialaminya. Adapun kalau berobat, dia obati dengan pengobatan seadanya.

Dia tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya. Dia tak berani mengajak anaknya ke toko mainan. Dia tidak dapat mengikuti kegiatan-kegiatan yang harus memakai uang.

Kita sebagai manusia Insyaa Allah iba. Kita dapat membayangkan kepedihan orang yang tidak mampu, orang yang kehilangan orang yang disayanginya, ketidaknyamanan hidup, maupun orang yang tidak dapat mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Namun, apakah hanya iba? Tentu tidak.

Kita seharusnya punya keinginan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Agar kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *