Abdullah Ayah Nabi Muhammad 

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Abdul Mutthallib memiliki lima orang istri yang memberinya sepuluh anak laki-laki. Pertama, Samra’ (Shafiyah) yang melahirkan Al-Harits. Kedua, Fathimah yang melahirkan Az-Zubair, Abdu Manaf (Abu Thalib), dan Abdullah. Ketiga, Lubna yang melahirkan Abdul ‘Uzza (Abu Lahab). Keempat, Nutailah yang melahirkan Al-Abbas dan Dhirar. Kelima, Halah yang melahirkan Hamzah, Hajl, dan Al-Muqawwam. Anak perempuan Abdul Mutthallib berjumlah enam orang, yaitu Shafiyah, Ummu Hakim Al-Baidha’, ‘Atikah, Umaimah, Arwa, dan Barrah. Ibu mereka adalah Fathimah, kecuali Shafiyah yang ibunya adalah Halah. (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 152). 

Nazar Penyembelihan Abdullah

Tatkala mendapatkan gangguan dan tekanan dari orang-orang Quraisy pada saat menggali sumur Zamzam, Abdul Mutthallib bernazar bahwa seandainya nanti ia mempunyai anak laki-laki berjumlah sepuluh orang dan semuanya tumbuh sampai dewasa, maka ia akan menyembelih salah seorang di antara mereka di dekat Ka‘bah untuk Allah Ta‘ala. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/608).

Menurut riwayat lain, ketika anak Abdul Mutthallib masih sedikit, ia pernah diejek oleh ‘Adi bin Naufal bin Abd Manaf, “Apakah engkau hendak meninggikan diri di atas kami, sedang engkau sendiri tidak mempunyai anak?” Mendengar ejekan ini, Abdul Mutthallib bersumpah, “Apakah karena aku sedikit, lantas engkau menghinaku? Demi Allah, kalau aku dianugerahi Allah sepuluh anak laki-laki, niscaya aku akan mempersembahkan salah seorang dari mereka ke Ka‘bah.”

Waktu pun terus berjalan. Allah menganugerahi Abdul Mutthallib sepuluh anak laki-laki yang hidup hingga dewasa. Abdul Mutthallib hendak menunaikan nazarnya. Ia mengundi siapakah dari sepuluh anak itu yang akan disembelih. Ternyata keluarlah nama Abdullah. Tatkala ia telah siap dengan pisaunya, masyarakat Makkah melarang Abdul Mutthallib melaksanakan nazar tersebut. Sebagai pemimpin, ia tentu menjadi teladan dan panutan bagi masyarakat. Orang-orang Quraisy khawatir jika perbuatan Abdul Mutthallib menyembelih anak laki-lakinya itu kelak akan menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab.

Oleh karena batal melaksanakan nazar, masyarakat Quraisy menganjurkan Abdul Mutthallib agar menemui kahin (paranormal) di Khaibar guna meminta solusi terbaik supaya sang anak tidak jadi disembelih. Kahin itu memberi saran, “Undilah sang anak dengan supuluh ekor unta. Jangan pernah berhenti menambah setiap kali undiannya dengan sepuluh ekor lainnya sampai undian memilih unta.” Setelah sepuluh kali undian, barulah nama Abdullah terbebaskan dari penyembelihan. Dengan undian ini, satu jiwa manusia ditebus dengan seratus ekor unta. (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 152-153).

Oleh karena peristiwa di atas, kelak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallampernah bersabda, “Ana ibnu Adz-Ddzabihain. (Saya anak keturunan dari dua orang yang hampir disembelih).” Orang pertama adalah Nabiyullah Ismail ‘Alaihis Salam. Orang kedua adalah Abdullah ayah Rasulullah sendiri.

Menikah dengan Aminah binti Wahb

Setelah selamat dari rencana penyembelihan tadi, nama Abdullah menjadi perbincangan orang di Makkah. Abdullah dipandang sebagai pemuda yang mulia dan berbakti kepada orang tua. Usianya kurang lebih saat itu menginjak 20 tahun. Beberapa wanita menawarkan diri untuk menjadi istrinya. Meskipun demikian, Abdullah tidak menerima tawaran tadi.

Pada suatu hari, Abdul Mutthallib mengajak Abdullah menemui Wahb bin Abd Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka‘ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr. Ketika itu, Wahb adalah pemuka Bani Zuhrah yang sangat dihormati orang. Wahb lalu menikahkan Abdullah dengan putrinya, Aminah binti Wahb. Ketika itu, Aminah adalah wanita Quraisy yang paling mulia nasab dan kedudukannya. (Sirah Ibn Hisyam, terbitan Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1/179). 

Pesta pernikahan mereka pun, menurut Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi‘ [1936-1998]) dalam bukunya Umm An-Nabi, berlangsung selama tiga hari tiga malam. Selama itu, Abdullah tinggal bersama istri tercinta di rumah mertuanya, sebagaimana adat masyarakat Makkah pada zaman tersebut. Lalu, pada pagi hari keempat, Abdullah meninggalkan rumah mertuanya menuju rumah Abdullah yang telah dipersiapkan untuk kedua mempelai. (Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 181-182).

Meninggal di Usia Muda

Abdullah hidup bersama istrinya hanya dalam beberapa hari. Tidak lama setelah itu, ia harus berangkat bersama kafilah dagang suku Quraisy menuju Syam. Ia dituntut untuk disiplin berangkat saat itu juga karena memang perjalanan dagang ke Syam dilakukan suku Quraisy hanya sekali dalam setahun. Perjalanan dagang ini merupakan kepentingan seluruh anggota suku karena hasil keuntungan dibagikan kepada mereka semua.

Setelah berlalu lebih dari sebulan, kafilah tiba kembali di Makkah, tetapi Abdullah tidak ikut hadir. Ia jatuh sakit dan harus dirawat di Yatsrib. Abdul Mutthallib datang bersama Wahb untuk menghibur Aminah yang ternyata sedang hamil. Ia juga mengutus putranya, Al-Harits, untuk menjenguk dan menemani Abdullah kembali ke Makkah. Dua bulan telah berlalu, namun Abdullah tidak kunjung datang. Al-Harits bahkan pada akhirnya datang sendiri membawa berita duka tentang kematian Abdullah di tengah keluarga bibinya dari Bani An-Najjar. (Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 186-191). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *