Penggalian Sumur Zamzam

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Tidak ringan tugas Abdul Mutthallib sebagai pemimpin Makkah. Kota ini terletak di lembah yang gersang. Hujan jarang sekali turun. Persediaan air sangat terbatas. Setiap kelompok masyarakat berusaha menemukan sumur-sumur di sekitar Makkah. Akan tetapi, karena sulitnya air, mereka biasanya memonopoli untuk kalangan mereka sendiri. Sadar akan tanggung jawabnya yang besar menyiapkan air, maka Abdul Mutthallib dibantu oleh anaknya, Al-Harits, sering kali harus mengangkut air dari luar Makkah untuk ditampung di kolam-kolam besar dekat Ka‘bah. 

Mimpi yang Memberi Petunjuk

Suatu ketika, Abdul Mutthallib sedang tidur di Hijr (sebuah tempat dekat Ka‘bah). Ia bermimpi didatangi seseorang yang berkata, “Galilah Thayyibah!” “Apa itu Thayyibah?,” tanya Abdul Mutthallib. Orang itu pergi tanpa menjawab. Hari berikutnya, Abdul Mutthallib tidur di tempat yang sama. Ia kembali bermimpi didatangi orang sebelumnya. Orang itu berkata, “Galilah Barrah!” “Apa itu Barrah?,” tanya Abdul Mutthallib. Orang itu pergi tanpa menjawab. Hari ketiga, Abdul Mutthallib tidur lagi di Hijr. Ia bermimpi lagi didatangi orang yang sama. Orang itu berkata, “Galilah Madhnunah!” “Apa itu Madhnunah?,” tanya Abdul Mutthallib. Orang itu pergi tanpa menjawab. Hari keempat, sekali lagi Abdul Mutthallib tidur di Hijr. Lagi-lagi, ia bermimpi didatangi orang sebelumnya. Kali ini, orang itu berkata, “Galilah Zamzam?” “Apa itu Zamzam?,” tanya Abdul Mutthallib. Orang itu menjelaskan, “Sumur yang selamanya tidak akan kering dan tidak akan berkurang airnya. Sumber air minum bagi jamaah yang amat banyak jumlahnya. Sumur itu terletak di antara tahi ternak dan darah, di Nuqratul Ghurab Al-Asham (tempat yang dipatuki burung gagak), di Qaryatun Naml (tempat yang banyak semutnya). (Sirah Ibn Hisyam, terbitan Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1/163 – 164).

Pada mulanya Abdul Mutthallib ragu dan gelisah, serta khawatir jangan sampai ia dicemooh masyarakat, lebih-lebih yang selama itu iri hati, jika ia mengikuti perintah mimpi tersebut, lalu ternyata merupakan mimpi bohong. Oleh karenanya, ia meminta pertimbangan istrinya, Samra’ binti Jundub. Sang istri mendukung dan mendorongnya memenuhi perintah mimpi itu sambil menyatakan bahwa hal serupa sering terjadi di pedesaan. “Berkorbanlah dengan menyembelih binatang dan persembahkanlah kepada Tuhan dengan menjamu fakir miskin.” Demikian kurang lebih saran istrinya. (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 149)

Kaum Quraisy Menuntut Hak terhadap Sumur Zamzam

Setelah mengetahui tempat sumur Zamzam dan meyakini bahwa orang yang memberitahunya dalam mimpi tidak berdusta, Abdul Mutthallib pergi bersama putranya, Al-Harits, membawa cangkul. Ketika itu, ia belum mempunyai anak selain Al-Harits yang sudah menjelang usia dewasa. Ia menggali di tempat orang Quraisy biasa menyembelih korban untuk berhala mereka. Ia melihat burung gagak mematuk di tempat itu. Tatkala dinding sumur mulai terlihat, bertakbirlah Abdul Mutthallib.

Orang Quraisy mengetahui bahwa Abdul Mutthallib telah menemukan sumur Zamzam. Mereka ramai-ramai mendatanginya dan menuntut, “Hai Abdul Mutthallib! Sumur itu adalah milik nenek moyang kita, Ismail. Kami juga mempunyai hak terhadapnya. Kami juga ingin memilikinya.” Abdul Mutthallib menjawab, “Tidak. Aku tidak akan memberikannya. Urusan ini hanya untuk kami; tanpa mengikutsertakan kalian.” Mereka membalas, “Kami tidak akan meninggalkanmu sampai berhasil menuntutmu dalam urusan ini.” Abdul Mutthallib berkata, “Kalau begitu, angkatlah orang yang kalian kehendaki sebagai hakim untuk memutuskan urusan ini!” “Baik. Kita serahkan urusan ini kepada seorang dukun wanita dari Bani Sa‘ad bin Hudzaim yang berada di dataran tinggi Syam.”

Berangkatlah Abdul Mutthallib bersama beberapa orang dari Bani Abdi Manaf. Sementara itu, setiap kabilah dari suku Quraisy juga berangkat dalam beberapa rombongan. Dalam perjalanan, mereka kehabisan air dan hampir mati kehausan. Mereka meminta air kepada sesama orang Quraisy, tetapi tidak ada yang mau berbagi air. Abdul Mutthallib kemudian bertanya, “Bagaimana menurut kalian?” “Kami mengikuti pendapatmu. Terserah engkau mau memerintahkan apa!,” jawab mereka. Abdul Mutthallib lalu menyarankan agar setiap orang menggali kubur. Jika ada orang yang mati, maka yang lain akan menguburnya. Jika mereka terus tidak mendapat air hingga semuanya mati, maka mereka semua akan terkuburkan, selamat dari menjadi mangsa hewan buas, kecuali orang yang terakhir mati.

Saran Abdul Mutthallib disetujui. Masing-masing mereka menggali kubur untuk dirinya sendiri. Mereka menunggu ajal dengan murung dan wajah pucat. Tiba-tiba Abdul Mutthallib berseru, “Ini merupakan kematian yang sangat hina. Lebih baik kita semua bergerak di gurun mencari air.”

Tatkala hewan tunggangan Abdul Mutthallib bangkit dari tempat menderumnya, tiba-tiba terpancarlah air segar dari situ. Mereka bertakbir dengan suara keras. Mereka minum air itu dan memenuhi wadah mereka. Mereka lalu berkata, “Demi Allah, kami tidak akan menuntutmu lagi dalam urusan sumur Zamzam, wahai Abdul Mutthallib! Allah lah yang memberimu air di tanah kering ini. Dia juga yang memberimu air Zamzam. Karena itu, ambil kembali hak siqayah-mu dengan baik.” (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/615 – 616). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *