Tampilnya Abdul Mutthallib

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Abdul Mutthallib adalah tokoh sentral kedua dalam sejarah masyarakat Arab pada masa jahiliyah dan awal masa Islam. Ia adalah putra Hasyim bin Abdi Manaf. Tatkala lahir pada 497 M, ayahnya –Hasyim– telah meninggal dunia. Dengan demikian, ia lahir dalam keadaan yatim.

Kepulangan Abdul Mutthallib ke Makkah

Meskipun demikian, ia tumbuh dalam keadaan tidak kekurangan kasih sayang dari keluarga besar ibunya, yaitu Bani Najjar, di Yatsrib. Ia tinggal di kota ini selama tujuh tahun. Pada suatu hari, seseorang dari keluarga Al-Harits bin Abdi Manaf melewati Yatsrib. Ia melihat anak-anak saling membanggakan keluarganya. Lalu tampillah Syaibah di hadapan teman-temannya seraya berkata, “Aku putra Hasyim. Aku putra tokoh Al-Bathha’ –yakni pembesar Makkah/suku Quraisy–.” Orang dari keluarga Al-Harits itu bertanya, “Siapa engkau ini?” “Aku putra Hasyim bin Abdi Manaf,” jawab Syaibah.

Setibanya di Makkah, pemuda dari keluarga Al-Harits tadi segera menemui Al-Muthallib. Ia menyampaikan bahwa selama di Yatsrib, ia telah bertemu dengan sekelompok anak-anak. Ternyata di kalangan mereka terdapat putra Hasyim. Oleh karenanya, tidak baik jika Al-Muthallib membiarkan putra saudaranya itu terlupakan begitu saja. Al-Muthallib menanggapi, “Aku tidak akan kembali kepada keluargaku sampai membawa anak tersebut pulang ke Makkah.”

Pemuda dari keluarga Al-Harits tadi meminjamkan ontanya kepada Al-Mutthallib. Segera Al-Muthhalib mengendarainya dengan tujuan Yatsrib. Ia tiba di kota ini pada waktu sore. Ia bertemu sekelompok anak kecil yang sedang bermain bola. Kepada mereka, ia menanyakan manakah anak yang bernama Syaibah. Ia pun diberitahu yang manakah keponakannya itu. Setelah membujuk dan meminta ijin Salma –ibu Syaibah–, Al-Mutthallib segera mengajak Syaibah pulang ke Makkah. Ia memboncengnya di atas punggung onta.

Ia tiba di Makkah pada pagi hari ketika orang-orang sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mereka mulai bertanya-tanya, “Siapakah anak yang engkau bonceng ini?” “Ia adalah hamba sahayaku,” jawab Al-Mutthallib. Ketika sampai rumah, istri Al-Mutthallib, yaitu Khadijah binti Sa‘id bin Sahm, juga menanyakan hal serupa, “Siapakah anak yang engkau bawa pulang ini?” Lagi-lagi Al-Mutthallib menjawab, “Ia adalah hamba sahayaku.” Ia kemudian membeli pakaian dan mengenakannya untuk Syaibah.

Pada sore harinya, Al-Mutthallib mengajak Syaibah ke majelis pertemuan keluarga Abdu Manaf. Di sana, ia memberitahu hal sebenarnya bahwa Syaibah merupakan putra saudaranya, Hasyim. Setelah peristiwa pada pagi hari tadi, orang-orang di Makkah memanggil Syaibah dengan sebutan Abdul Mutthallib karena ucapan Al-Mutthallib, “Ini adalah hamba sahayaku.” (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/613-614).

Abdul Mutthallib Memimpin Makkah

Setelah dewasa, Al-Mutthallib menyerahkan kepada Abdul Mutthallib beberapa tugas penting dan juga harta peninggalan Hasyim. Akan tetapi setelah Al-Mutthallib meninggal dunia, pamannya yang lain, yaitu Naufal bin Abdi Manaf, ingin merebut hak-hak Abdul Mutthallib. Segera Abdul Mutthallib mendatangi tokoh-tokoh Quraisy. Ia meminta bantuan mereka untuk mengambil kembali hak-haknya dari Naufal. Akan tetapi, para tokoh Quraisy menolak. Mereka berkata, “Kami tidak mau mencampuri urusan yang terjadi antara dirimu dengan pamanmu.”

Melihat kenyataan ini, Abdul Mutthallib kemudian memohon bantuan keluarga ibunya Bani An-Najjar di Yastrib (Madinah). Mereka menyambut permohonan tersebut. Berangkatlah Abu As‘ad bin ‘Udas An-Najjari bersama delapan puluh orang penunggang kuda. Mereka mendatangi majelis Naufal di Makkah dan mengancam akan membunuhnya apabila ia tidak mau mengembalikan harta peninggalan Hasyim, ayah Abdul Mutthallib. “Demi Tuhan Sang Pemilik rumah ini (Ka‘bah), engkau kembalikan harta milik putra saudari kami atau engkau akan merasakan tajamnya pedang ini,” ancam mereka kepada Naufal. Naufal segera menjawab, “Sungguh, aku akan mengembalikan harta miliknya.” 

 Setelah berhasil memaksa Naufal mengembalikan hak Abdul Mutthallib, delapan puluh orang ksatria dari Bani An-Najjar tidak langsung pulang ke Yatsrib. Mereka tinggal di Makkah selama tiga hari. Mereka memanfaatkan waktu tersebut untuk melaksanakan umrah. Setelah itu, barulah mereka pulang.

Naufal kemudian mengajak Abdul Mutthallib melakukan perjanjian. Ia juga mengajak Bisyr bin ‘Amru. Warqa’ bin Fulan, dan beberapa tokoh dari kalangan Bani Khuza‘ah. Perjanjian itu diadakan di komplek Ka‘bah dan ditulis. Kepada Abdul Mutthallib diserahkan tugas-tugas Ar-Rifadah dan As-Siqayah. Ia juga diakui sebagai pemimpin Makkah. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, I/614).    

Pada masa Abdul Mutthallib, perdagangan suku Quraisy secara khusus dan penduduk Makkah secara umum mencapai puncak yang belum pernah dicapai sebelumnya. Masyarakat Makkah benar-benar menikmati buah perjanjian-perjanjian yang pernah dirintis oleh Hasyim, baik dengan suku-suku di Jazirah Arab maupun negeri-negeri tetangga, seperti Persia, Byzantium, Yaman, dan lain-lain. Hal ini menjadikan wawasan masyarakat Makkah lebih terbuka ketimbang masa lalu. Hal ini tentu juga menjadikan mereka mengenal peradaban yang tidak mereka kenal sebelumnya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *