Hancurnya Pasukan Gajah (Tulisan Ketiga)

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Abdul Muththalib bersama beberapa anaknya dengan diantar oleh Huthabah –yang merupakan utusan Abrahah– datang menemui Abrahah. Melihat ketampanan dan wibawanya, Abrahah berdiri menyambutnya dan mempersilakannya duduk. Melalui seorang penerjemah, Abdul Muththalib menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu agar Abrahah mengembalikan dua ratus ekor unta miliknya yang dirampas oleh pasukannya. Abrahah menanggapi, “Aku pada mulanya kagum kepadamu begitu melihatmu. Akan tetapi, kekagumanku sirna setelah engkau berbicara meminta dua ratus ekor untamu itu dan tidak menyinggung tentang rumah yang engkau dan leluhurmu agungkan dan yang aku datang untuk merobohkannya.”

Abdul Muththalib menjawab singkat, “Unta-unta itu, aku pemiliknya, sedangkan rumah itu ada juga pemiliknya yang akan membelanya.” Abrahah dengan angkuh berkata, “Pemilik rumah itu tidak dapat menghalangi maksudku.” Abdul Muththalib berkomentar, “Silakan saja.”

Negoisasi yang Buntu

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa ketika Abdul Muththalib datang menemui Abrahah, turut juga bersamanya Ya‘mar bin Nufatsah bin ‘Ady din Dual sebagai pemimpin Kabilah Bani Bakr dan Khuwailid bin Wailah sebagai pemimpin Bani Hudzail. Mereka menyatakan bersedia menyerahkan kepada Abrahah sepertiga kekayaan penduduk Tihamah jika Abrahah membatalkan niatnya hendak menghancurkan Ka‘bah dan kembali ke negerinya. Akan tetapi, tawaran mereka ditolak oleh Abrahah. Ia hanya mau mengembalikan unta-unta milik Abdul Muththalib.

Setelah negoisasi tadi mengalami kebuntuan, Abdul Muththalib kembali ke Makkah. Masyarakat Makkah menyadari bahwa mereka tidak akan mampu melawan Abrahah. Kalau pun mereka melawannya, pasti banyak korban yang jatuh dan Ka‘bah akan runtuh. Oleh karena itu, Abdul Muththalib meminta mereka mengungsi menuju bukit yang tinggi atau lembah-lembah di luar perbatasan.

Penduduk segera meninggalkan rumah mereka guna mencari perlindungan di perbukitan. Pada malam hari, semua bukit dan lembah dipenuhi gema tangisan anak-anak, ratapan kaum wanita, dan kegaduhan hewan peliharaan. Di tengah malam itu, Abdul Muththalib dan beberapa orang Quraisy turun dari bukit dan pergi ke pintu Ka‘bah. Dengan air mata mengalir dan hati terbakar, Abdul Muththalib memegang rantai pintu Ka‘bah dan berdoa, “Wahai Tuhan! Aku tidak mengharap –untuk menghadapi mereka– kecuali Engkau. Tuhan, lakukanlah atas mereka perlindungan-Mu. Sungguh musuh Ka‘bah adalah yang memusuhi-Mu. Oleh karena itu, halangilah mereka dari menghancurkan negeri-Mu.”

Datangnya Azab yang Membinasakan

Setelah perundingan gagal, Abrahah memerintahkan menyiapkan pasukan menuju Ka‘bah. Tidak lupa pula ia menyiapkan gajah tunggangannya yang diberi nama Mahmud. Ketika gajah-gajah siap diberangkatkan, Nufail bin Habib Al-Khats‘ami menghampiri si Mahmud dan memegangi telinganya seraya berbisik, “Hai Mahmud, bersimpuhlah atau pulang kembali ke tempat asalmu (Yaman)! Ketahuilah bahwa engkau sekarang berada di tanah suci.” Ternyata Mahmud segera bersimpuh setelah telinganya terlepas dari tangan Nufail. Untuk menghindarkan diri dari bahaya pasukan Habasyah, Nufail cepat-cepat lari menuju bukit-bukit tempat penduduk Makkah mengungsi.

Beberapa orang pasukan Habasyah memukuli Mahmud dengan tongkat dan besi, namun ia tetap bersimpuh dan tidak mau berdiri. Ketika gajah itu dihadapkan ke arah Yaman, ia berdiri dan lari tergopoh-gopoh. Namun jika dihadapkan ke arah Makkah, ia segera bersimpuh. Begitu pula gajah-gajah lainnya. Semuanya mogok bila dihadapkan ke arah Makkah.

Dalam keadaan yang sangat membingungkan pasukan Abrahah itu, tiba-tiba Allah mendatangkan ribuan burung kecil yang terbang berbondong-bondong. Tiap seekor burung membawa tiga buah batu kecil: satu di paruhnya dan dua yang lain di kedua kakinya. Batu-batu itu dijatuhkan kepada pasukan Abrahah sehingga membinasakan mereka.

Demikianlah, Abrahah akhirnya tewas dengan sangat mengerikan. Bagian-bagian tubuhnya rontok kejatuhan batu yang panas membakar. Pasukannya pun porak poranda. Sebagian besar mati bergelimpangan di tempat. Sebagian kecil selamat dan akhirnya bermukim di Makkah. Abrahah sendiri berhasil dibawa oleh sisa-sisa pasukannya ke ibu kota kekuasaannya di Shan‘a, Yaman, dalam keadaan sangat parah. Peristiwa ini diceritakan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fil: 1-5.

Ketika Islam datang, sisa-sisa pasukan Abrahah yang bermukim di Makkah atau keturunan mereka merupakan bagian dari orang-orang yang bersegera masuk Islam. Salah seorang yang selamat adalah penuntun gajah yang menurut riwayat pernah dilihat oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anhamengemis di jalan-jalan kota Makkah.

Sejak terjadinya peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah itu, orang-orang Quraisy mendapat martabat lebih mulia lagi dalam pandangan orang Arab lainnya. Mereka dipandang sebagai orang-orang yang mendapat perlindungan Ilahi. Banyak penyair masa jahiliyah menggubah bait-bait mengenai kenaikan martabat orang Quraisy. (H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad, hlm. 174-177 dan M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad,hlm. 161-165).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *