Jalan Panjang Tradisi Keilmuan di Nusantara

Loading

Oleh: Usamah Jundu Rohman, S.Sos. (Wakil Sekretaris Umum DPP FKAM)

Tahqiq: Muhammad Wildan Arif Amrulloh, S.Pd., M.Ag. (Dosen Peneliti CIOS UNIDA Gontor)

Asal usul tradisi keilmuan dapat dilihat dari permulaan perkembangan tradisi keilmuan Islam sejak masa masyarakat Islam yang pertama. Sebagaimana dalam edisi sebelumnya dibahas mengenai kental dan urgennya tradisi keilmuan dalam Islam, setiap lini kehidupan berislam menekankan secara berat pada aspek pendidikan. Sekian banyak nash Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan mengenai urgensi menelaah dan menenggelamkan diri pada tradisi keilmuan.

Atas dasar itulah maka Islam telah mengembangkan perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang. Dimulai dari kepemimpinan Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang revolusioner itu, dakwah Islam disampaikan melalui rumah-rumah para As-Sabiqunal Awwalun (orang-orang generasi awal memeluk Islam), dan berpusat pada sebuah markaz keilmuan bersandi Daarul Arqam, kediaman Abul Arqam.

Pada masa berikutnya, pasca hijrah Nabi ke Madinah, aspek peradaban mengalami perubahan dan perkembangan dengan dibentuknya sebuah negara Islam dengan penduduk yang majemuk. Dari aspek hukum Islam, Rasulullah sebagai utusan Allah menjadi satu-satunya sumber otoritatif untuk menentukan dan “membuat” aturan hukum berdasarkan wahyu. Meski demikian, beberapa shahabat terpilih pernah melakukan upaya ijtihad (pengambilan simpulan hukum) dalam lingkup kecil, meski pada akhirnya tetap Rasulullah-lah yang memberikan justifikasi mengenai hasil pemikiran shahabatnya tersebut.

Tunas-tunas intelektual pun bermunculan, dibuktikan dengan adanya kelompok-kelompok yang telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama Madinah, kita kenal orang yang ahli dalam penafsiran Al-Qur’an, seperti shahabat Abdullah bin ‘Abbas; orang yang menjadi ahli dalam hukum agama, seperti Abdullah ibn Mas’ud; ada juga yang seperti penghafal Al-Qur’an dan pencatatnya, seperti Zaid ibn Tsabit, dan demikian seterusnya.

Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan Al-Qur’an dan hadist sebagai objek ilmu, bukan sekadar sebagai wadah pengalaman, seperti yang dilakukan oleh Khilafah III, ‘Ustman ibn ‘Affan, yang dikenal sebagai orang saleh yang senantiasa berhasil membaca habis (khatam) Al-Qur’an dalam waktu yang pendek secara periodik. Keshalihan seperti itu pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman pada waktunya. Justru di tangan para ilmuan agama pemulalah, seperti pada saat adanya para penghafal Al-Qur’an dan juga para penjaga hukum agama –terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini.

Pada masa-masa berikutnya pun, tersuguh di hadapan kita kisah tradisi keilmuan yang turun temurun di kalangan tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga pada generasi berikutnya sampai hari ini. Misal saja pasca wafatnya nabi, belum genap seabad muncul Al-fuqaha’ As-Sab’ah (para ahli fiqih yang tujuh) yang menjadi pemimpin di bidang hukum agama di Makkah dan Madinah. Pun juga kita mengenal para ahli baca Al-Qur’an yang tujuh (AlQurra’ As-Sab’ah) seperti Imam ‘Ashim adalahkelompok yang memajukan bacaan Al-Qur’an sedemikian jauh mengikuti sendi-sendi fotenik dan linguistik yang luas yang diambilkan dari perbandingan ilmu-ilmu linguistik dari peradaban bangsa-bangsa di Timur Tengah saat itu.

 Saat Islam telah meluas hingga keluar dari Jazirah Arab saat masa kepemimpinan Daulah Umawiyah dan Abbasiyah, terjadi interaksi intelektual umat Islam dengan dunia pemikiran Yunani yang juga dikenal dengan Hellenisme. Seperti yang terjadi di Iskandariyah (Mesir), Damaskus, Antioch, Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia), dan Jundisapur (Persia).

Pada dasarnya Islam menampung dan menyerap tradisi Hellenisme  yang bermula pada penjarahan daerah-daerah Timur Tengah oleh Iskandar Agung dari Makedonia beberapa abad sebelum Masehi. Hellenisme ini telah berkembang dengan menyebarkan filsafat Yunani ke seantero kawasan Timur Tengah. Hellenisme itu pula yang akhirnya membawakan mistik Dyonisis yang ada di Yunani kuno bercampur dengan Semenanjung Asia Kecil (Asia Minor) yang akhirnya membentuk apa yang dikenal di dalam agama Kristen sebagai sekte-sekte bidat, seperti sekte Nestoria.

Dilihat dari peristiwa perkembangan tersebut maka besar sekali adanya proses penyerapan yang dilakukan peradaban Islam pada masa-masa awal ketika terjadi benturan budaya antara peradaban Islam dengan peradaban lain. Benturan itu terasa besar, terutama pada bidang ilmu agama yang dibatasi ketauhidan (teologia) yang sempit, lebih jelas lagi pada skolatisisme. Benturan ini terjadi saat para Ahli Al-Qur’an menekankan pentingnya arti pengambilan harfi dari sumber-sumber pertama Al-Qur’an dan hadits. Hingga kemudian muncul pergulatan sengit antara yang memandang Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber otentik yang tidak dapat diganggu gugat melawan mereka yang berani melakukan penolakan terhadap sebagian hadits, walaupun penolakan itu tidak pada bentuk harfiahnya, tetapi pada kandungan artinya. Pergulatan yang berjalan selama 2 abad ini mencapai pada pembahasan apakah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits Nabi harus diartikan secara harfi atau boleh diartikan secara alegoris (kiasan).

Ketika ilmu-ilmu Islam berkembang di kalangan para ahli agama yang mengkhususkan pada AlQur’an dan hadits itu maka muncul satu kebutuhan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang tidak hanya bertumpu pada Al-Qur’an dan hadits saja, yakni pada pendalaman bahasa (dirasah lughawiyah). Kajian dan penelitian di bidang bahasa ini dilaksanakan oleh para ulama muslim yang agung, bahkan ahli hukum agama yang masyhur seperti Imam Syafi’i justru dikenal sebagai ahli bahasa yang mampu menegakkan timbangan bahasa yang benar untuk berbahasa Arab. 

Atas dasar pemekaran dan pendalaman itu, maka banyak sekali para ulama Islam pada pada masa abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, bahkan seterusnya sampai beberapa abad kemudian mampu mengusai ilmu-ilmu utama yang dikenal oleh peradaban Hellenis yang berada di Timur Tengah pada waktu itu. Mereka mengambil dari luar dan mendudukkan apa yang mereka ambil dan serap itu pada tolak ukur pengertian harfiah atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist nabi. Kombinasi dari humanisme seperti itu dan kecenderungan normatif untuk tetap memperlakukan kitab Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber formal, dengan sendirinya lalu memunculkan adanya suatu sikap yang unik.

Di masa itu, gelombang ilmiah sangat dinamis, meskipun pada masa setelahnya mengendur dikarenakan kendala normatif membesar sementara penyerapan semakin mengecil karena dikalahkan oleh pengawasan dari dalam, tetapi seluruh kedinamisan tersebut berdampak besar pada penyebaran ajaran Islam berikut tradisi keilmuannya ke semenanjung wilayah belahan bumi lain.

Interaksi Orang Nusantara dengan Dunia Islam 

Pada periode antara tahun 1200 dan 1650, jika direkonstruksikan akan dapat kita perhatikan peta peradaban Islam sebagai berikut: Pertama, Eropa pada abad ke-14 dan ke-15, bukanlah kawasan yang paling maju di dunia. Bahkan kekuatan besar yang sedang berkembang di India dan Asia Tenggara pada abar ke-15, 16, dan 17 adalah Islam.

Kedua, kualitas Islam dan kualitas lembaga pendidikan yang tinggi dimulai pertengahan abad ke-10, tetapi tradisi menulis di wilayah Indonesia masih sangat lemah. Barus, antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-14, merupakan bandar metropolitan yang menjadi awal terbangunnya pusat pendidikan Islam.

Ketiga, proses terpilihnya Islam sebagai agama baru di Nusantara setelah rakyat kecewa atas melemahnya Imperium Majapahit setelah ditinggalkan oleh Patih Gadjah Mada pada tahun 1356. Di samping itu, peralihan ke agama dan peradaban baru tidak mungkin dapat dilakukan bila para penganjur agama Islam dan pemimpinpemimpin pendiri kesultanan Islam di berbagai kota-kota pantai bukan pemikir-pemikir yang berkualitas tinggi.

Tim Arkeologi Prancis selama lima tahun (1998-2003), telah melakukan penggalian dan penelitian terhadap situs Barus di Sumatera Utara dan diketahui bahwa antara abad ke-9 dan 14, Barus menjadi banda metropolitan. Berbagai ideologi dan agama berpapasan di Barus. Sebagian penduduk Barus beragama Hindu Brahma, Buddha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Kini, tempat pertemuan budaya yang luar biasa itu meninggalkan sejumlah kuburan orang Islam lama lengkap dengan inskripsi yang tersebar di beberapa pekuburan yang tidak berjauhan. Kebanyakan pekuburan itu berasal dari abad ke14 dan awal ke-15, dan beberapa adalah orang bergelar syekh. Nama-nama kompleks kuburan itu antara lain: Mahligai, Tuan Ambar, dan Papan Tinggi. Mereka mengajar, bermukim, dan mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren).

Fase berikutnya, ditampakkan pada kita bahwa Islam telah menjadi agama mayoritas bangsa Nusantara saat itu. Buku-buku karangan ulama yang paling tua ditemukan ialah karangankarangan Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumaterani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdur Rauf As-Singkili.

Guillot & Kallus menemukan inskripsi pada nisan Hamzah Fansuri di pangkalan data Thesaurus d’epigraphie Islamique. Yang menarik adalah, penemuan ini ditemukan bukan di Barus, akan tetapi di pemakaman Bab Al Ma’la, Makkah. Dalam inskripsi pada nisan tersebut bertuliskan (terjemahan):

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Yang Maha Hidup. Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak mempunyai rasa takut dan tidak mempunyai pula rasa sedih. Ini kubur Sang Faqir (menghadap) Allah Ta’ala, Sayyidina As-Syaikh, pengabdi, penyembah Allah, sangat zahid, Al-Syaikh AlMurabith; tambang hakikat Ilahi, Al-Syaikh Hamzah bin Abdullah Al Fanshuri. Semoga Allah menganugerahi rahmat-Nya dan menerima dalam Syurga-Nya. Aamiin. Dia dipulangkan, oleh kesetiaan (ke pangkuan) Allah Ta’ala saat fajar Kamis penuh perkah, hari ke 9 bulan Allah Rajab yang Esa lagi Suci, tahun 933 (11 April 1527) dari Hijrahnya Nabi. Kepada sahabatnya sebaikbaiknya berkah dan selamat terluhur semoga hadir.”

Hamzah Fansuri menjadi bukti bahwa adanya kegiatan pendidikan Islam yang berkualitas di Barus yang dapat dinikmati olehnya yang lahir pada pertengahan abad ke-15 dan menjadikan dirinya sebagai ilmuwan dan budayawan agung Nusantara. Kemudian ia berangkat ke Makkah dan menjadi seorang guru besar yang disegani.

Memburu Ilmu dan Pahala di Tanah Suci Hingga saat ini, jumlah jama’ah haji dari Indonesia adalah kuota yang terbesar di antara negara lainnya. Tersebut dalam dasawarsa 1920an, sekitar 40 persen dari seluruh haji berasal dari Indonesia. Orang Indonesia yang menetap dan tinggal di sana pun tak sedikit. Martin van Bruinsessen, menjelaskan bahwa Makkah disebut sebagai pusat kosmis, titik temu antara dunia fana kita dan dunia supranatural. Orang Asia Tenggara menjadikan Makkah sebagai tujuan pencarian ilmu(ngelmu) dan legitimasi politik (wahyu-istilah yang dipinjam kerajaan Mataram dari Islam dengan mengubah artinya). Tidak diketahui tahun berapa orang Indonesia pertama kali haji ke Makkah, tapi menjelang abad ke-17 raja-raja Jawa mulai mencari legitimasi politik di Makkah.

Selain itu, orang Indonesia sejak dulu tentu saja naik haji karena syariat mewajibkannya bagi yang mampu. Di samping itu, karena Makkah dianggap sebagai pusat ‘keilmuan’, maka di samping berhaji, orang Nusantara berangkat juga memiliki misi untuk “Pencarian Tuhan” (menimba ilmu mengenal Tuhan).

Tersebutlah kemudian nama-nama orang Nusantara yang pindah ke Makkah dan menetap di sana seperti, Hamzah Fansuri, Abdur Rauf As-Singkili, dan lain sebagainya.

Dari contoh dan alasan di atas, ditampakkan kepada kita fungsi sosiologis haji. Orang Nusantara mencari ilmu di Makkah dan Madinah, setelah pulang ke tanah air mereka mengajar kepada masyarakat sekitarnya ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di tanah suci. Praktik-praktik keagamaan di tanah air pun tak lepas dari koreksikoreksi yang disampaikan maha guru di tanah suci.

Di tanah Arab, para haji Nusantara juga dipertemukan dengan saudara seiman dari seluruh dunia Islam, yang belajar kepada guruguru yang sama, dan gerakan di negara-negara Muslim lainnya. Akhirnya, perkembanganperkembangan di pelosok dunia Islam lainnya juga memiliki dampak di Indonesia. Setelah penjajahan Belanda sudah mantap di Pulau Jawa dan sekitarnya, fungsi haji bertambah, yakni menjadi sumber suntikan semangat perlawanan terhadap kolonialisme.

Tahun 1772, seorang ulama kelahiran Palembang yang menetap di Makkah (kemungkinan besar ‘Abd Al Shamad Al Falimbani, pengarang Sair As Salikin) menulis surat kepada Sultan Hamengkubuwono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya, rekomendasi bagidua orang yang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapi dalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yang telah berjihad melawan Kompeni. Surat-surat ini dapat dimaknai sebagai anjuran untuk meneruskan jihad melawan penjajah.

Penutup

Dalam perjalanannya, agama Islam selalu mengalami perkembangan yang seluruhnya beriringan dengan tradisi-tradisi keilmuan. Tak hanya menjadikan Qanun Asasi  (Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai wacana saja, akan tetapi berusaha diaktualisasikan dalam ruang waqi’ dan zaman yang selalu dinamis. Lahirlah pemikirpemikir dalam segala lini keilmuan dalam Islam. Para ahli ilmu itu menjadi pemimpin dalam bidangnya yang mampu membahasakan kepada masyarakat dunia.

Bumi Nusantara pun tak tertinggal andil dalam pelestarian tradisi keilmuan itu, mulai dari berkumpulnya semua pemuka, pemikir, dan ahli ilmu di Barus, hingga interaksi para punggawa bangsa dengan masyarakat muslim lain di Makkah, yang kemudian tak hanya melahirkan aktivis-aktivis keilmuan, akan tetapi juga spirit pembebasan dari segala bentuk penjajahan. Allahu ta’ala a’lam.

Rujukan

  1. Muhammad Ainun Najib, Dzulkifli Hadi Imawan, Dinamika Intelektual dan Peradaban Islam Pada Masa Rasulullah, Jurnal Pemikiran Islam Vol. 2 No 1 Januari-Juni 2022 Hlm. 116.
  2. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (2001).
  3. Agus Sapriansya, Pengaruh Hellenisme dalam Tradisi Keilmuan Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah, qureta.com (diakses 27 Februari 2023).
  4. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (2011) Hlm. 28-30.
  5. Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2012).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *