Qushay Sang Pemersatu Suku Quraisy (Bagian 2)

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Meskipun kunci Ka‘bah telah diserahkan oleh Ghubsyan kepada Qushay, Bani Khuza‘ah tidak mau mengakui kekuasaan Qushay. Mereka merasa keberatan. Qushay kemudian menghimpun kekuatan untuk memerangi Bani Khuza‘ah.

Suku Quraisy, Bani Kinanah, dan beberapa suku lainnya bergabung dengan Qushay. Terjadilah peperangan di antara dua pihak tersebut. Setelah perang berlangsung sekian tahun, mereka merasa lelah dan bosan. Akhirnya mereka bersepakat untuk menunjuk seseorang guna memutuskan siapakah yang lebih berhak untuk mengelola Ka‘bah.

Ya‘mur bin ‘Auf merupakan tokoh yang mereka sepakati sebagai hakim. Ia pada akhirnya memutuskan bahwa Qushay lebih berhak mengelola Ka‘bah dan memimpin Makkah. Sejak saat itu secara resmi Qushay menjadi pemimpin Makkah. Kendati Bani Khuza‘ah kalah, namun Qushay bermurah hati kepada mereka. Ia mengijinkan mereka untuk tetap bermukim di Makkah.

Qushay Memimpin Mekkah

Qushay berhasil memimpin suku-suku Arab sekitarnya. Ia menjadi tokoh peletak dasar-dasar kejayaan bangsa Arab masa lalu. Karena sebelum tokoh ini, masyarakat Arab khususnya suku Quraisy berselisih dan berpecah belah, lalu disatukan oleh Qushay. Ia dinilai sebagai “raja” kota Makkah. Dari sini pula ia memperoleh kehormatan dalam berbagai bidang pemerintahan, keagamaan, dan kemasyarakatan.

Qushay yang pertama kali menetapkan semacam pajak terhadap orang-orang mampu yang diperuntukkan guna memberi makan bagi fakir miskin yang berkunjung ke Makkah. “Kalian adalah penduduk Haram (tanah suci) dan tetangga rumah Tuhan. Mereka yang melaksanakan haji adalah tamu-tamu Allah yang berkunjung ke rumah-Nya. Mereka adalah tamu yang paling berhak memperoleh penghormatan. Oleh karena itu, siapkanlah makanan dan minuman untuk mereka sampai mereka kembali –yakni meninggalkan Mina setelah melaksanakan ibadah haji–,” demikian himbauan Qushay yang disambut baik, apalagi Masyarakat Arab dikenal secara luas sangat menghormati tamu. Ini kemudian dikenal dengan istilah Ar-Rafadah.   

Qushay juga menyiapkan apa yang dinamakan As-Siqayah, yaitu memberikan air minum yang biasanya dicampur dengan madu, kismis, atau kurma untuk jamaah yang berkunjung ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Di samping itu, ia juga bertanggung jawab dalam bidang Al-liwa (pertahanan), As-Sadanah atau Al-Hijabah, yakni pengelolaan atau pengawasan terhadap Ka‘bah. Oleh karena kedudukannya itulah, maka ia dikenal dengan nama Qushay yang secara harfiah berarti “yang menghimpun”. Karena telah terhimpun dalam dirinya sekian banyak tugas pengelolaan yang dengan kemaslahatan dan kepentingan masyarakat banyak. Sedang nama aslinya adalah Zaid.

Silih berganti masyarakat berkunjung menemui Qushay. Pernikahan anggota suku Quraisy bahkan dilaksanakan di rumahnya. Boleh jadi oleh sebab itulah, maka ia berinisiatif membangun Dar An-Nadwah (balai pertemuan) pada sekitar tahun 440 M. Di tempat inilah, tokoh-tokoh Masyarakat Quraisy berkumpul untuk bermusyawarah.

Para tokoh Quraisy –yang rata-rata berusia 40 tahun ke atas– berkumpul di Dar An-Nadwah untuk membicarakan persoalan yang menyentuh kehidupan masyarakat berdasar adat istiadat yang berlaku karena memang ketika itu tidak ada undang-undang atau peraturan tertulis. Anggota majelis pun tidak dipilih dengan suara terbanyak, tetapi “terpilih” berkat kemampuan dan pengaruh mereka yang diakui masyarakat. Mereka mewakili keluarga besarnya.

Qushay meletakkan peraturan yang disepakati oleh masyarakat. Antara lain pembagian tugas-tugas pelayanan bagi penduduk dan pendatang di kota Makkah. Ia juga menetapkan semacam “pajak masuk” bagi para pedagang asing yang berkunjung ke Makkah yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum.

Qushay Membagi Tugas kepada Anak-Anaknya

Qushay mempunyai tiga anak, yaitu Abdud Dar, Abdu Manaf, dan Abdu ‘Uzza. Meskipun Abdud Dar adalah yang tertua, tetapi kepribadian Abdu Manaf sangat menonjol melebihi kedua saudaranya. Sang ayah, Qushay, yang menyadari hal tersebut dan menyadari pula betapa masyarakat menghormati Abdu Manaf, lalu memutuskan untuk memberi anak tertua itu beberapa jabatan penting dalam kaitannya dengan masyarakat. Pemberian anak tertua itu juga merupakan tradisi masyarakat ketika itu yang memberi kedudukan terhormat melebihi adik-adiknya, bahkan menjadikannya sebagai “putra mahkota”.

Diriwayatkan bahwa sang ayah menyampaikan kepada anaknya yang tertua itu bahwa, “Tidak seorang pun yang memasuki Ka‘bah sebelum engkau membukanya dan tidak juga terjadi perang kecuali engkau yang memegang panji-panjinya. Tidak juga seorang di Makkah ini yang minum kecuali dengan minuman yang engkau siapkan. Tidak juga pengunjung yang melaksanakan haji kecuali mereka makan dengan makanan yang engkau siapkan, sebagaimana tidak diputuskan satu putusan yang penting kecuali di kediamanmu.”

Dengan demikian Abdud Dar, anak tertua Qushay, itu ditugasi menangani dan memimpin Dar An-Nadwah, As-Siqayah (penyediaan air), dan Ar-Rafadah (jamuan makan); juga Al-Liwa dan Al-Hijabah. (M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, hlm. 139-142)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *