Muhasabah Akhir Ramadhan

Loading

Oleh: Ustadz Thau’an Abdillah

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Alhamdulillahrabbil ‘alamiin, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kita masih dipertemukan dengan bulan yang penuh berkah ini serta dalam keadaan sehat wal afiat.

Sholawat serta salam, semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nabi yang telah memperjuangkan Dinul Islam, sehingga kita bisa merasakan betapa indahnya iman yang bersemayam di dalam hati dan betapa anggunnya Islam di dalam kehidupan.

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Tentu satu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa, hari raya adalah hari gembira. Dan kaum Muslimin mempunyai dua hari raya dalam satu tahunnya; Idul Fitri dan Idul Adha. Maka, pada hari tersebut selayaknya kaum Muslimin untuk bergembira. Akan tetapi, ternyata kita jumpai di antara para ulama terdahulu ada yang malah bersedih di hari Idul Fitri.

Apakah gerangan yang menyebabkan mereka bersedih di hari yang selayaknya dan umumnya kaum Muslimin bersuka cita? Bahkan kita jumpai di sekeliling kita orang-orang yang tidak puasa dan tidak mengisi Ramadhan dengan amal shalih pun ikut gembira pada hari raya Idul Fitri. Mari kita simak apa yang menyebabkan mereka bersedih di hari raya Idul Fitri.

Ada salah satu ulama Salaf, nampak pada dirinya bersedih, dan itu pada hari Idul Fitri (nampak raut wajahnya sedih, susah, padahal orang-orang gembira dan tertawa). Maka, ada seorang yang menegurnya dan menyapanya, “Hari ini adalah hari Idul Fitri, di hari Idul Fitri ini kita bergembira dan bersuka cita, kenapa Anda bersedih?” Dia menjawab, “Benar, hari raya Idul Fitri adalah hari gembira, hari bersuka cita, demikianlah pada dasarnya. Akan tetapi, aku adalah seorang hamba yang Tuanku (Rabb-ku) memerintahkan kepadaku supaya aku beramal untuk-Nya. Namun, saat ini aku tidak tahu apakah amal yang kulakukan di bulan Ramadhan itu adalah amal yang diterima oleh-Nya ataukah tidak?

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Itu ternyata alasan yang melandasi salah satu ulama di masa silam yang malah bersedih di hari Idul Fitri, ketika ditanyakan kepada beliau, apa yang menyebabkan beliau bersedih?

Beliau sampaikan bahwasanya beliau adalah seorang hamba yang punya Tuan. Dan Tuannya  memerintahkan untuk melakukan berbagai macam amal di bulan Ramadhan. Memerintahkannya untuk berpuasa dan amal yang lainnya. Setelah tugas tersebut dilaksanakan, beliau tidak tahu secara pasti apakah amalannya diterima ataukah tidak? Karena belum ada kepastian itulah yang menyebabkan beliau tidak bisa menikmati dan tidak bisa mengisi hari tersebut dengan suka cita dan gembira.

Nasehat atau perkataan satu ulama Salaf ini patut untuk kita renungkan. Kita dituntun untuk bergembira pada hari raya Idul Fitri, jangan bersedih. Namun di satu sisi selayaknya satu hal yang juga kita perhatikan, kita jangan terlalu larut dengan kegembiraan. Ada hal yang lebih urgen, yakni apakah amal kita selama bulan Ramadhan itu ada nilainya untuk kita persembahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah keberadaannya akan memperberat amal kebaikan kita di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala? Apakah keberadaannya akan menambah tabungan amal kita saat menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala ataukah tidak?

Salah seorang ulama terdahulu Asy-Syibli pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban?” Beliau mengetahui maksud penanya. Maka, beliau menjawab dengan jawaban yang meluruskan kesalahpahaman. Beliau mengatakan dengan jawaban yang berbeda dari pertanyaan:

“Jadilah kamu seorang hamba Rabbani (yang selalu beribadah kepada Allah bukan musiman, bukan di bulan Sya’ban, bukan di bulan Rajab), bukan Sya’bani (yang hanya beribadah di bulan Sya’ban atau waktu tertentu).”

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Jadilah kamu hamba Rabbani (orang yang selalu menjadi hamba Allah di setiap saat). Jadi, Ramadhan ditujukan untuk melatih agar kita di bulan-bulan selanjutnya tetap semangat dalam beribadah.

Salah seorang ulama Ahlus Sunnah yang ketika ditanya tentang orang-orang yang hanya bersemangat beribadah di bulan Ramadhan saja, yang kemudian (ketika) berakhir Ramadhan berakhir pula semangat ibadah mereka, maka beliau mengatakan:

“Seburuk-buruk kaum adalah mereka yang tidak mengenal Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan saja.”

Mereka adalah seburuk-buruk manusia, seburuk-buruk kaum, yang mereka tidak mengenal hak Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali di bulan Ramadhan saja. Itu satu hal yang patut direnungkan. Demikianlah yang bisa kami sampaikan. Mudah-mudahan bisa menjadi bahan renungan untuk kita bersama. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *