Menjaga yang Wajib Menghiasi dengan yang Sunnah

Loading

Oleh: Ustadz Muhammad Arsyad

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya, sehingga kita masih dimudahkan untuk menyebut asma-Nya di setiap hembusan nafas. Shalawat serta salam, tak lupa selalu kita haturkan kepada suri tauladan kita, Nabiyullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang telah memperjuangkan Dinul Islam ini, sehingga kita pun bisa merasakan nikmatnya iman yang bersemayam di dalam dada dan indahnya Islam.

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Kaidah hidup bahagia dunia dan akhirat adalah melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.

Di dalam Islam, ada dua jenis amalan yang menjadikan seseorang itu dicintai oleh Allah sekaligus menjadi salah satu wali di antara wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang pertama adalah amalan yang wajib dan yang kedua adalah amalan yang sunnah.

Amalan wajib adalah amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersifat keharusan. Jadi, seseorang tidak punya pilihan untuk meninggalkannya kecuali ada alasan atau yang biasa disebut uzur syar’i. Misalnya, shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43).

Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah didatangi oleh seorang Arab Badui dan bertanya tentang Islam. Nabi pun menjawab dengan berbagai amalan yang wajib yang salah satunya adalah shalat.

Tidak ada alasan untuk meninggalkan amalan wajib, bahkan walaupun seseorang itu sakit misalnya. Jika ia tidak mampu shalat dengan berdiri, maka dengan duduk. Jika tidak mampu dengan duduk, maka dengan berbaring menyamping. Jika tidak mampu, maka dengan baring terlentang. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Jadi, shalat pakai hati hukumnya sah dikerjakan karena ada halangan seperti sakit. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam kitab Nailur Raja’. Begitulah amalan wajib. Ia merupakan sebuah keharusan untuk setiap invidu seorang Muslim.

Dari sisi kemuliaan, amalan yang wajib merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di dalam Al-Qur’an kita akan menemukan banyak sekali Allah mengingatkan kita tentang amalan ini, dan tidak sedikit Allah mengulang-ulangnya di berbagai ayat. Hal ini menunjukkan betapa tinggi nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengambarkannya di dalam hadis qudsi:

ومَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا  افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ….

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan apa yang paling Aku cintai, melainkan hal itu adalah amalan yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Bukhari).

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Di dalam hadis ini terdapat isyarat dari Allah, bahwa amal yang paling Allah cintai adalah amalan yang sifatnya wajib. Nah kemudian, di sisi yang lain Allah juga menjadikan tanda bagusnya amal seseorang tergantung dengan bagusnya kualitas ibadah wajib yang ia kerjakan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Apabila shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk, maka seluruh amalnya pun buruk.” (HR. Thabrani).

Demikian juga, Allah telah menjadikan amal-amal yang wajib menjadi amal-amal yang paling pertama dihitung saat berada pada hari perhitungan amal. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Pertama yang akan dihisab atas diri seorang hamba di Hari Kiamat adalah shalatnya.” (HR. Ahmad).

Hal ini tidak hanya berlaku untuk shalat saja. Akan tetapi zakat, puasa, serta amalan-amalan wajib lainnya hendaknya setiap orang menjaganya, tidak melalaikannya, atau bahkan meninggalkannya. Naudzubillah min dzalik.

Adapun amalan yang sunnah, maka dia memiliki kemiripan dengan yang wajib. Ia juga merupakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya saja, ia tidak bersifat keharusan. Jika dikerjakan mendatangkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan apa-apa, baik pahala maupun dosa.

Kemudian, perlu diketahui jika yang wajib merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang sunnah merupakan amalan yang menjadikan seorang itu semakin dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadi wali di antara wali-wali Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala jika sudah menjadikan seseorang wali-Nya, maka ia akan senantiasa membimbingnya kepada kebaikan. Tidaklah orang tersebut berucap, beramal, berakhlak melainkan yang baik, hal itu terjadi karena disebabkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia anugerahkan kepada wali-Nya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar. Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat. Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang. Dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah.” (HR. Bukhari).

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Maksud hadis di atas adalah, bahwa Allah akan senantiasa memberikan taufik kepadanya sehingga ia senantiasa dibimbing untuk mengerjakan kebaikan.

Amalan yang sunnah cukup banyak jika dihitung dari yang pertama sampai terakhir. Sebab, amalan ini sebenarnya berlaku setiap saat untuk seorang hamba. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An`am: 162).

Baik ucapan, perbuatan dan perilaku semuanya sesuai dengan apa yang disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini sudah terjadi pada seorang manusia, beliau adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ikhwani fiddin rahimani wa rahimakumullah.

Jika amalan wajib adalah amalan yang paling tinggi nilainya dan paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka amalan yang sunnah adalah amalan yang menambah kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diri seorang hamba.

Nah, jika hal itu sudah terjadi, maka besar kemungkinan seseorang akan sampai kepada derajat ihsan. Derajat yang paling tinggi di sisi Allah Subahnahu wa Ta’ala. Ihsan adalah:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihatnya, maka (ketahuilah) sungguh Dia melihatmu.” (HR. Muslim).

Kemudian, perlu diketahui juga bahwa selain dari itu masih ada hal lain yang bermanfaat dari amalan sunnah. Di antaranya, bahwasannya di akhirat Allah akan menjadikan amalan sunnah seorang hamba sebagai penolong di akhirat nanti saat ia tidak benar-benar dalam mengerjakan yang amalan wajib. Seperti seorang shalat, tapi tidak serius dalam mengerjakannya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sungguh amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada Hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun jika shalatnya rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci lagi Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Lalu dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana sebelumnya.” (HR. Tirmidzi).

Nah, oleh karena itu, hendaklah seseorang menjaga amal-amal yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian menghiasi diri dengan amal-amal yang sunnah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *