Oleh: Ustadz Zul Fahmi, S.Pd.I., M.H.
Dalam Al-Qur’an dikisahkan bahwa suku Qurays adalah suku pengusaha (pedagang) yang sukses karena karakternya yang brilliant. Suku Qurays telah diberi anugerah oleh Allah Ta’ala berupa kecukupan pangan dari rasa lapar dan juga keamanan. Allah berfirman:
لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ (1) اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ (2) فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هٰذَا الْبَيْتِۙ (3) الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْف (4)
“Karena kebiasaan orang-orang Qurays. Kebiasaan mereka adalah pergi berdagang di musim dingin dan di musim panas. Maka hendaklah mereka beribadah kepada Allah pemilik Baitullah ini. Yaitu (Allah) yang telah memberi makan mereka dari rasa lapar dan memberi keamanan mereka dari rasa takut.” (QS. Qurays: 1-4).
Istilah kecukupan pangan dari lapar (ath’amahum min juu’) merupakan ungkapan yang menjelaskan kemapanan ekonomi. Yakni cukup sandang, pangan dan papan, atau mengalami kesejahteraan hidup yangmana stabilitas antara kebutuhan finansial dan pemenuhanya tidak mengalami persoalan.
Adapun istilah keamanan dari rasa takut (wa aamanhum min khouf) menjelaskan situasi kehidupan yang jauh dari marabahaya, bencana dan ancaman yang bisa mengganggu kenyamanan hidup yang sejahtera tersebut. Artinya, Allah Ta’ala memberikan kehidupan yang makmur sejahtera pada suku Qurays tersebut baik secara ekonomi maupun sosial, kendatipun secara geografis mereka hidup di daerah yang tandus, cuaca yang panas dan kondisi tanah yang tidak produktif menghasilkan kekayaan.
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa kesejahteraan suku Qurays tersebut tidak datang kepada mereka dengan entitas kehidupan masyarakat yang kosong dari kebudayaan dan nilai-nilai (value) yang luhur. Masyarakat Qurays memiliki brand sosial yang khas dan signifikan untuk mendapatkan predikat masyarakat yang sejahtera.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa kata Qurays merupakan sighat tashgir atau bentuk kalimat pengecilan dari kata qorosy yang artinya adalah binatang laut (ikan) yang kuat, suka memangsa binatang lain tetapi tidak bisa dimangsa. Bahkan dengan kekuatannya ikan qorosy tersebut bisa memecahkan sebuah kapal. Kata qorosy di-tashgir dan digunakan untuk menyebut sebuah kaum yang hidup di sekitar Ka’bah bernama Qurays, untuk menghormati, mensifati dan menjelaskan bahwa kaum Qurays memiki karakter yang kuat, tahan uji, dan pandai bekerja mencari penghasilan sebagaimana ikan qorosy.
Sementara itu, Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa kata Qurays dan iilaf bisa dijelaskan dengan dua kalimat. Pertama, kata iilaf bermakna‘akifa wa lazima ala syai’ yang artinya kokoh dan kuat dalam menetapi sesuatu. Artinya, orang Qurays dalam bekerja punya karakter yang kuat, rajin dan kokoh dalam menetapi suatu pekerjaan. Tidak gampang menyerah, putus asa dan berganti-ganti pekerjaan. Kedua, kata iilaf juga diartikan dengan kalimat takassub wa tajammu’, yang berarti berusaha dan berkumpul atau berserikat. Artinya, orang Qurays senang berusaha, senang bekerja dan membangun kerja sama dalam berusaha (syirkah).
Selain karakter suku Quraiys yang punya etos kerja tinggi, Al-Qur’an juga menjelaskan, bahwa mereka memiliki kemampuan dan skill bisnis yang tinggi. Al-Qur’an menyebutkan bahwa suku Qurays berdagang ke Yaman saat musim dingin dan ke Syam saat musim panas.
Para penulis sejarah menyebutkan bahwa jarak perjalanan antara Makkah dengan Yaman ataupun Syam hampir sama, yaitu 25 hari berangkat dan 25 hari pulang. Keterangan tentang perjalanan suku Qurays berdagang sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an tersebut menunjukkan beberapa hal mengenai kemahiran dan kecerdasan suku Qurays dalam berdagang. Selain etos kerja yang tinggi, suku Qurays telah mampu melakukan segmentasi pasar dan melakukan ekspansi perdagangan yang begitu jauh hingga melampaui lintas negara jika diukur dengan masa sekarang.
Jadi kesimpulannya, Al-Qur’an yang bisa diangggap sebagai grand teori atau dasar hukum dan berpikir umat Islam telah mengajarkan bahwa kesuksesan hidup secara ekonomi yang melahirkan kesejahteraan dan keamanan untuk kehidupan manusia di segala levelnya harus dibangun dengan dua hal. Pertama pembangunan karakter, dan yang kedua pembangunan skill dan kompetensi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang dalam satu keping uang logam.
Secara personal kemapanan ekonomi atau sebut saja kekayaan tidak mungkin datang kepada orang-orang yang malas bekerja, tidak disiplin, dan gampang menyerah oleh situasi-situasi kehidupan yang sulit. Kekayaan secara logis akan datang kepada orang-orang yang rajin bekerja, visioner, disiplin, berdedikasi tinggi dalam pekerjaanya, serta selalu bersemangat dalam membangun usaha. Kekayaan juga tidak akan datang kepada orang-orang yang tidak mau belajar, tidak mau mengembangkan skill-nya, serta stagnan dalam berpikir dan berenovasi dalam membangun pekerjaanya. Kekayaan akan datang kepada orang-orang yang mau meningkatkan kompetensinya, mau belajar untuk mengetahui berbagai hal dan berpikir mengembangkan langkah-langkah hidupnya yang lebih maju dan progresif.
Dalam konsep-konsep entrepreneurshif yang sering dibahas dalam berbagai pelatihan bisnis sekarang, ada beberapa value (nilai) yang harus dipedomani oleh seseorang yang mendambakan kesuksesan. Misalnya seorang entrepreneur adalah seorang yang memiliki karakter yang cerdas, tekun, rajin, pandai membangun jaringan (network) dan berjiwa sosial. Berbagai value yang dipegangi oleh para entrepreneur tersebut tidaklah berbeda dengan konsep Al-Qur’an sendiri, mengajarkan bagaimana membangun ekonomi dan usaha. Oleh karena itu, kaum muslimin siapapun, mestinya lebih punya semangat untuk berkarya membangun kesuksesan dan kemakmuran bersama, dengan basis nilai dan semangat menjalankan amanah sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an.
Hal yang paling mendasar mengenai ayat di atas adalah keterangan pada ayat terakhir yang mengatakan, hendaklah mereka suku Qurays beribadah kepada Allah yang telah menganugerahkan semua kenikmatan yang tiada batas. Hal itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus memiliki kekhususan dalam urusan pekerjaan. Kesuksesan dunia secara ekonomi harus disempurnakan dengan membangun kekuatan spiritual. Hal itu sebagai bentuk adab dan pengakuan bahwa semua kenikmatan tersebut adalah karena anugerah Allah semata.
Selain hal itu, manusia pasti mengalami fase kehidupan yang selalu berubah. Ada satu fase kehidupan manusia, yangmana harta benda dan semua kenikmatan dunia tidak akan mampu menenangkan dan membahagiakan manusia. Saat seorang manusia mengalami puncak kesuksesan dunia, maka kenikmatannya tersebut akan mengalami degradasi secara terus menerus hingga titik jenuhnya manusia tidak bisa lagi mengandalkan dunia untuk merasakan ketenangan hidupnya.
Oleh karena itu, satu-satunya tempat pelarian manusia untuk mendapatkan kebahagiaan sejati adalah dengan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya ibadah adalah sebuah entitas kehidupan paling penting dalam menopang kebahagiaan manusia. Umat Islam jangan mengekor kepada barat dalam membangun dunianya yang hanya berbasis materialistis hedonis, yang realitanya menyisakan problem-problem sosial dan kemanusiaan.
Bacaan:
- Tafsir Al-Qur’anil Al-Adhiem, karya Imam Ibnu Katsier
- Tafsir Munir karya Dr. Wahbah Zuhaili