Berbakti Kepada Orang Tua

Loading

Oleh: Dr. Mulyanto Abdullah Khoir, M.Ag.

Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah kewajiban seorang anak. Apalagi jika telah berkeluarga. Laki-laki lebih besar tanggung jawabnya daripada perempuan. Orang tua lebih berhak terhadap anak laki-lakinya. Sementara perempuan yang lebih berhak adalah suaminya.

Rasulullah pernah ditanya ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha, “Siapakah manusia yang paling berhak atas seorang istri?” Beliau bersabda, “Suaminya.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapakah manusia yang paling berhak atas seorang laki-laki?” Beliau bersabda, “Ibunya.”

Berbakti kepada Orang Tua

Persepsi yang keliru adalah anggapan berbakti kepada kedua orang tua sebatas ketika masih kecil. Sementara setelah menikah, hak-hak orang tua khususnya terhadap anak laki-laki tergantikan dengan istri. Tak jarang, seorang suami harus meminta ijin kepada istrinya untuk mengunjungi kedua orang tuanya atau memberikan rezeki yang didapatnya. Mereka tidak jadi memberikan, jika istri tidak mengijinkannya.

Dalam sebuah hadits, ada seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang siapa yang paling berhak atas dirinya:

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Bukhari dan Muslim).

Berikut beberapa kisah yang dapat diambil pelajaran, betapa tanggung jawab dan kewajiban terhadap orang tua tidak tergantikan bagi anak laki-laki meskipun terhadap istrinya:

Kisah Tiga Pemuda yang Terjebak dalam Gua

Kisah ini menjadi inspirasi, betapa amal yang paling ikhlas adalah saat seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya. Dikisahkan, ada tiga orang sedang berjalan, kemudian turun hujan lebat. Lalu mereka pun berlindung ke dalam sebuah gua di sebuah gunung. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung itu lalu menutupi mulut gua mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Perhatikan amalan shalih yang pernah kamu kerjakan karena Allah. Lalu berdoalah kepada Allah dengan amalan itu. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kalian.”

Lalu berdoalah salah seorang dari mereka, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua ibu bapak yang sudah tua renta, seorang istri, dan anak-anak yang masih kecil, di mana aku menggembalakan ternak untuk mereka. Kalau aku membawa ternak itu pulang ke kandangnya, aku perahkan susu dan aku mulai dengan kedua ibu bapakku. Lantas, aku beri minum mereka sebelum anak-anakku. Suatu hari, ternak itu membawaku jauh mencari tempat gembalaan. Akhirnya aku tidak pulang kecuali setelah sore, dan aku dapati ibu bapakku telah tertidur.

Aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Lalu aku datang membawa susu tersebut dan berdiri di dekat kepala mereka dalam keadaan tidak suka membangunkan mereka dari tidur. Aku pun tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum mereka (kedua orang tuanya) meminumnya. Anak-anakku sendiri menangis di bawah kakiku meminta minum karena lapar. Seperti itulah keadaanku dan mereka, hingga terbit fajar. Maka kalau Engkau tahu, aku melakukan hal itu karena mengharapkan wajah-Mu, bukalah satu celah untuk kami dari batu ini agar kami melihat langit.” Lalu Allah bukakan satu celah hingga mereka pun melihat langit.

Kisah Al Qomah yang Menyakiti Ibunya

Kisah lain yang cukup masyhur adalah kisah Al Qomah. Seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya. Hubungan yang tidak baik antara Al Qomah dan ibunya menjadikan ibunya marah. Kemarahan ibunya inilah yang menjadikan Al Qomah kesulitan mengucapkan kalimat tauhid saat sakaratul maut. Dikisahkan:

Al Qomah sakit keras. Maka istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memberitahukan keadaan Al-Qomah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutus Ammar bin Yasir, Shuhaib Ar Rumi dan Bilal bin Robah untuk melihat keadaannya. Ketiga shahabat Rasulullah tersebut mentalqin Al Qomah dengan mengucapkan kalimat, “La ilaha illah,” namun Al Qomah tidak mampu mengucapkan. Akhirnya, hal tersebut dikabarkan kepada Rasulullah. Maka dihadirkanlah ibunya.

Rasulullah bertanya kepada ibu Al Qomah, “Bagaimana sebenarnya keadaan putramu Al Qomah?” Sang ibu menjawab, ”Wahai Rasulullah, dia rajin  mengerjakan shalat, banyak puasa, dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah bertanya, “Lalu bagaimana perasaanmu terhadapnya?” Dia menjawab, ”Saya marah kepadanya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?” Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya, dan dia pun durhaka kepadaku.”

Rasulullah mengancam untuk membakarnya jika ibunya tidak merelakannya. Akhirnya atas keridhoan ibunya tersebut, Al Qomah mampu mengucapkan kalimah tauhid dalam sakaratul mautnya.

Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Melalaikan Ibunya

Lain Al Qomah, lain Juraij. Ia lebih mementingkan ibadahnya daripada panggilan ibunya. Dikisahkan, Juraij sedang shalat di sebuah tempat peribadatan, lalu datanglah ibunya memanggil. Lalu ibunya berkata, “Hai Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku!” Kebetulan perempuan itu mendapati anaknya sedang melaksanakan shalat. Saat itu Juraij berkata kepada diri sendiri di tengah keraguan, “Ya Tuhan! Ibuku ataukah shalatku.” Kemudian Juraij memilih meneruskan shalatnya. Maka pulanglah perempuan tersebut.

Tidak berapa lama perempuan itu kembali lagi untuk yang kedua kali. Ia memanggil, “Hai Juraij, aku ibumu, bicaralah denganku!” Kembali Juraij bertanya kepada dirinya sendiri, “Ya Tuhan! Ibuku atau shalatku.” Lagi-lagi dia lebih memilih meneruskan shalatnya. Karena kecewa, akhirnya perempuan itu berkata, “Ya Tuhan! Sesungguhnya Juraij ini adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata dia enggan menjawabku. Ya Tuhan! Janganlah engkau mematikan dia sebelum Engkau perlihatkan kepadanya perempuan-perempuan pelacur.”

Suatu hari seorang penggembala kambing berteduh di tempat peribadatan Juraij. Tiba-tiba muncullah seorang perempuan dari sebuah desa. Kemudian, berzinalah penggembala kambing itu dengannya, sehingga hamil dan melahirkan seorang anak lelaki. Ketika ditanya oleh orang-orang, “Anak dari siapakah ini?” Perempuan itu menjawab, “Anak penghuni tempat peribadatan ini.”

Masyarakat marah dengan mendatangi Juraij. Mereka merobohkan rumahnya. Namun, saat Juraij bertanya kepada anak tersebut, dengan pertolongan Allah anak tersebut menjawab bahwa bapaknya adalah pengembala kambing.

Kisah-kisah tersebut memberikan arti yang mendalam bagi seorang muslim arti berbakti kepada kedua orang tua, khususnya bagi seorang anak laki-laki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *