Loading

Oleh: Dr. Mulyanto Abdullah Khoir, M.Ag.

Anak perempuan memiliki kharakter yang berbeda dengan anak laki-laki. Karena itu, cara mendidik anak perempun juga berbeda dengan anak laki-laki. Keberhasilan orang tua mendidik anak perempuan mendapatkan apresiasi dan kedudukan tersendiri di hadapan Rasulullah. Hal ini sebagaimana sabdanya, “Barangsiapa mengurusi anak perempuan hingga dewasa, maka pada hari kiamat nanti aku bersama dia bagaikan jari yang berdampingan.” (HR. Muslim).

Perempuan Masa Jahiliyah

Pada masa jahiliyah, perempuan menempati kedudukan yang rendah. Orang merasa malu jika anak yang lahir perempuan. Mereka membenci dan bahkan membunuhnya. Al-Qur’an menampilkan bagaimana perilaku jahiliyah terhadap perempuan dalam surat  An-Nahl: 58-59:

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”

Begitu rendahnya masa jahiliyah mendudukan perempuan, sampai Allah menanyakan kepada mereka dengan ungkapan, “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya karena dosa apakah ia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8-9).

Bahkan, Allah sangat murka dengan perbuatan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah murka terhadap kalian atas tiga hal; menyakiti hati ibu, mengubur hidup-hidup anak (bayi) perempuan, dan memberikan sesuatu dengan mengharapkan imbalan yang lebih banyak.” (HR. Tabrani).

Perasaan rendah dan hina memiliki anak perempuan juga pernah terjadi pada masa Imam Ahmad bin Hambal. Ini sebagaimana ungkapan seorang yang bernama Ya’qub bin Bakhtan, “Aku dikaruniai tujuh anak perempuan. Setiap kali lahir putriku, maka aku berkunjung ke rumah Ahmad bin Hambal, dan beliau berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Yusuf, nabi-nabi itu adalah ayah dari anak-anak perempuan.’ Perkataan beliau tersebut dapat melenyapkan kegelisahanku.”

Eksploitasi Perempuan

Zaman modern hari ini, perempuan justru lebih banyak sebagai bahan ekploitasi. Lihatlah berbagai iklan, promosi, spanduk, baliho terang-terangan dengan eksploitasi perempuan. Apa kaitannya perempuan dengan sepeda motor atau mobil dalam iklan? Semua tak lebih menjadikan perempuan sebagai obyek eksploitasi.

Perempuan banyak memenuhi tempat hiburan, mal, jalan-jalan, dan berbagai ruang publik lainnya. Emansipasi seakan mengharuskan perempuan berperan di luar tabiat dan kharakternya. Tanpa sadar, dengan sistem kapitalis mereka menjadi bahan eskploitasi, tak ubahnya seperti barang dagangan untuk dipamerkan, kemudian dijual kepada siapapun pembelinya dengan harga yang sangat murah.

Di jalan-jalan, perempuan lebih berani menampilkan auratnya dibanding laki-laki. Seakan lazim perempuan dengan pakaian ketat, celana pendek dengan gaya dan dandanan minor. Remaja-remaja dengan tingkah dan gaya yang norak juga sudah biasa kita jumpai di jalan. Perempuan-perempuan naik kendaraan laki-laki dianggap biasa, padahal beberapa tahun yang lalu orang merasa malu melakukan hal tersebut.

Pergeseran nilai dan pandangan masyarakat yang semakin longgar dan bahkan terasa cuek semakin menegaskan hilangnya rasa malu di kalangan perempuan. Tak jarang orang tua merasa kewalahan menangani anak perempuannya. Mereka larut dengan teman, lingkungan, dan budaya jahiliyah. Akhirnya orang tua pasrah menghadapi kenyataan tersebut dan hanya berkeluh kesah, “Ternyata mendidik anak perempuan lebih sulit daripada anak laki-laki.”

Mendidik Anak Perempuan

Mendidik anak perempuan memerlukan energi ekstra. Tidak dapat terlalu ditekan atau terlalu keras karena gampang patah. Sebaliknya juga tidak terlalu longgar, karena justru dapat menjadi pintu kebebasan.  Jangan biarkan anak-anak perempuan berkeliaran di berbagai tempat keramaian seperti: Mal, supermarket, tempat hiburan, dan lainnya. Di sanalah sebenarnya awal masuk pintu-pintu setan dalam diri seorang anak perempuan.

Prinsip-prinsip dasar pendidikan harus diterapkan, menanamkan serta mengokohkan nilai tauhid dan keimanan. Menanamkan perasaan ihsan dan muroqobatullah, senantiasa dilihat dan diawasi Allah. Menanamkan kejujuran, amanah, dan tanggung jawab. Menanamkan menepati janji kepada Allah dengan melaksanakan kewajibannya seperti shalat tepat pada waktunya. Hingga mendidik untuk bertanggung jawab terhadap diri pribadinya, orang tua, adik dan kakaknya, lingkungan, teman, dan tetangganya. Prinsip-prinsip dasar ini harus diletakkan untuk mengokohkan pondasi keimanan anak. Semakin kokoh pondasi keimanan, semakin kokoh dalam memegang prinsip, apalagi anak perempuan.

Memilihkan sekolah yang baik untuk pertumbuhan serta perkembangan mental dan moral anak. Sekolah  yang menumbuhkan dan mengarahkan potensi sesuai dengan fitrah anak.  Sekolah yang mampu menumbuhkan sifat-sifat terpuji seperti zuhud, tidak mengutamakan materi, selalu mencari keridhoan Allah. Tidak riya’, karena riya’ akan menghilangkan keikhlasan amalnya. Tidak memendam rasa dengki dan iri hati. Tidak menyenangi permusuhan. Sesuai perbuatan dengan perkataan. Rendah hati (tidak sombong), lemah lembut, pemaaf, sabar dan tidak marah karena hal-hal kecil.

Secara prinsip, tanggung jawab pendidikan terhadap anak perempuan tetap di pundak kedua orang tuanya. Tidak cukup dianggap selesai jika telah dipilihkan pendidikan yang islami. Justru di sini kadang orang tua terjebak, merasa telah memilihkan pendidikan yang baik terhadap anaknya, kenyataannya perkembangan anak tidak sesuai yang diinginkan. Jika ini terjadi, bersiaplah untuk mengulang kegagalan kebanyakan masyarakat dalam mendidik anak, khususnya anak perempuan. Wallahualam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *