Jadi Pejabat Itu Berat

Loading

Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah satu shahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia sering mendapat nasehat langsung dari beliau. Suatu ketika, Abu Dzar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau mengangkatku jadi pemimpin?” Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah lantas pegang bahu Abu Dzar dan beliau menasehati:

ياَ أَبَا ذَرٍ! إِنَّكَ ضَعِيْفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ، وَإِنَّهَا يَوْمَ القِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا، وَ أَدَّى الذِي عَلَيْهِ فِيْهَا

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau seorang yang lemah sedangkan jabatan itu adalah amanah (yang berat), dan sesungguhnya ia menjadi sebab kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat kecuali yang menjalankannya dengan baik dan melaksanakan tanggung jawabnya.” (HR. Muslim).

Nabi menasehati Abu Dzar untuk tidak memikul amanah kepemimpinan. Karena bisa jadi beliau tahu bahwa Abu Dzar lemah dalam bidang tersebut, atau kompetensinya bukan pada kepemimpinan. Secara tidak langsung, beliau juga khawatir bila amanat kekuasaan malah menjadi lahan dosa baginya. Beliau pun mencegah Abu Dzar untuk mendekati pintu kekuasaan.

Banyak orang menyukai kekuasaan dan jabatan. Bahkan, hari ini kita bisa melihat, amanat kekuasaan diperebutkan di mana-mana, seperti rebutan barang diskonan di mall atau swalayan. Tak sedikit yang obral janji sana-sini. Sampai sikut sana-sini. Agar yang ditarget mau menyumbangkan suaranya di pemilihan nanti.

Bila dipikir, apa sih enaknya jadi pejabat? Setiap hari harus dandan necis, pergi ke kantor, harus rapat ini-itu, waktunya tersita untuk mikir urusan banyak orang. Sehingga, bisa jadi waktu bersama keluarga hanya sebentar saja. Belum lagi bila ditagih janjinya oleh yang memilihnya, apa tidak pusing kepala!?

Apa tidak lebih enak jadi orang biasa saja. Bisa menikmati waktu bersama keluarga, bagi petani ya bisa pergi ke ladang sesukanya, tanpa dihantui beban merealisasikan visi-misi, janji politik, dan sebagainya.

Tapi demikianlah salah satu tabiat manusia. Suka dengan kekuasaan. Karena dengan memiliki kekuasaan ia bisa meraih semua kenikmatan duniawi. Dengan memiliki kuasa, ia bisa mendapat harta, dihormati sana-sini, dielu-elukan dan disebut-sebut namanya setiap waktu. Maka ulama menjelaskan bahwa syahwat seseorang terhadap jabatan atau kekuasaan itu lebih besar daripada syahwat terhadap harta. Maka tak heran, kita dapati justru orang yang mengantri dan rebutan jabatan adalah orang-orang kaya, yang sebenarnya uang dan simpanannya sudah cukup untuk hidup.

Imam An-Nawawi menjelaskan tentang wasiat Nabi pada Abu Dzar di atas, “Hadis ini adalah pokok utama bagi seorang Muslim untuk menjauhi kekuasaan, terutama bagi orang yang lemah dalam bidang kepemimpinan. Orang yang tidak kompeten, atau kompeten tapi tidak bisa berbuat adil, akan mendapatkan kehinaan dan penyesalan. Yaitu kelak mereka akan dihinakan di hari Kiamat, disingkap aibnya, dan mereka akan menyesali perbuatan mereka.”

Memang, di satu sisi seorang pejabat akan mendapatkan keuntungan duniawi dan penghormatan manusia di sekitarnya. Namun tak banyak yang menyadari, bahwa jabatan dan kekuasaan identik dengan kedzaliman, siasat jahat, iri dengki, dan biasanya orang yang ambisius mengejar jabatan tujuan akhirnya tak lain adalah mencari keuntungan dunia, bukan untuk mencari ridha ilahi. Ketika keuntungan dunia yang dicari, maka ia tak peduli fitnah sana-sini, dan tak peduli dengan kinerja; apakah bisa adil atau tidak, asalkan bisa terus berkuasa.

Fudhail bin Iyadh Rahimahullah berkata, “Para pecinta kekuasaan akan mudah iri, bersikap berlebihan, suka bongkar dan sebar aib orang, dan tidak suka kebaikan orang lain disebut.”

Yangmana semua sifat tercela di atas akan mengakibatkan orang masuk Neraka. Terlebih bagi mereka yang tidak bisa berlaku amanat dan adil, bukan hanya disingkap aibnya di Neraka, tapi dia juga terhalang untuk masuk Syurga.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tiada seorang hamba yang diberi amanah untuk memimpin rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu tidak akan mencium baunya Jannah.” (HR. Bukari dan Muslim).

Di dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan:

“Kekuasaan itu, permulaannya adalah celaan, pertengahannya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah adzab di hari Kiamat kecuali yang bersikap adil. Tapi bagaimana dia akan adil terhadap kerabatnya?” (HR. Al-Bazzar dishahihkan oleh Al-Albani).

Barangkali kita dapati seorang penguasa bisa adil kepada rakyatnya, namun kadang banyak yang tidak bisa adil bila kepada anggota keluarganya atau kerabatnya sendiri. Memainkan nepotisme, menggunakan jabatan sebagai ‘orang dalam’, dan semisalnya.

Lantas, apakah seorang Muslim yang memiliki potensi di bidang perpolitikan dan kepemimpinan tidak boleh menjadi pejabat? Tentu boleh. Asalkan tidak ambisius, dan berusaha menjadikan jabatan sebagai ladang ibadah. Berlaku jujur, adil, wara’, dan santun. Dan tak lupa bahwa jabatan adalah asalnya dari Allah, maka ia harus selalu meminta pertolongan kepada Allah. Sebagaimana nasehat Nabi kepada Abdurrahman bin Samurah:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu mengemis jabatan. Karena jika engkau diserahi jabatan karena ambisi meminta, engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri. Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya, maka engkau akan ditolong Allah dalam mengurusinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan yang tak kalah penting adalah, bahwa menjadi pejabat atau penguasa itu dituntut untuk menjadi orang yang lebih bertaqwa daripada bawahannya atau rakyat jelata.  Karena godaan setan bagi pemimpin lebih besar daripada godaan kepada rakyat jelata. Sebagaimana godaan setan bagi seorang alim lebih tinggi kadarnya daripada orang biasa. Di hadapan seorang pemimpin tersedia syahwat harta, kebijakan, kepentingan, dan agenda. Yang bila ia tidak bertaqwa, setan akan menggodanya dengan semua syahwat tersebut. Bila mletre, jabatannya hanya akan menjadi bahan bakar Neraka.

Itulah jabatan. Seperti pisau bermata dua. Bisa menjadi sebab maslahat umat, tapi juga bisa jadi sebab siksa di Neraka. Dan tak dipungkiri, godaan syahwatnya lebih berat dari peluang pahalanya. Maka bagi yang menyadari dirinya tidak bisa kuat dengan godaannya, lebih baik menjauhinya.

Abu Dzar pun tidak menjadi pejabat di kalangan para shahabat. Namun, ia menjadi salah satu shahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia juga menjadi salah seorang shahabat yang sangat zuhud, sederhana dan jujur. Sampai Nabi memuji kezuhudan dan kejujurannya. Wallahulmuwafiq.

Oleh: Nurdin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *