Oleh: Bima Setya Dharma
Terkadang seorang muslim pernah mengalami fenomena seperti malas beribadah, sulit menerima nasehat, atau tidak tergerak untuk menjalankan ibadah. Hal tersebut disebabkan hati yang mengeras dan mati, yang telah kita bahas dalam artikel sebelumnya berjudul “Hati yang Mati”. Jika dalam artikel sebelumnya kita membahas tentang ciri-ciri hati yang mati, maka dalam kesempatan kali ini akan kita membahas tentang faktor yang menyebabkan matinya hati seseorang. Ada lima faktor yang menjadikan hati seseorang mati, yaitu:
Faktor yang pertama kemaksiatan yang berulang-ulang.
Kemaksiatan yang terus-menerus bisa menjadi salah satu faktor utama matinya hati. Ketika seseorang terus-menerus melakukan perbuatan dosa tanpa rasa penyesalan, hati akan semakin keras dan jauh dari cahaya iman. Dan lama-kelamaan, kesadaran akan dosa itu sendiri bisa hilang, menjadi rutinitas sehari-hari, dan yang paling buruk menjadikan kemaksiatan seolah-olah hal yang biasa. Memang demikianlah sifat dasar manusia, berbuat kesalahan tidak hanya sekali namun berkali-kali. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat.” (HR. Tirmidzi no. 2687).
Hadits tersebut menjelaskan tentang sifat manusia yang selalu berbuat salah dan dosa. Tetapi pada akhir kalimat dikatakan, “Sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat.” Perkataan ini mengisyaratkan bahwa ketika kita berbuat dosa dan maksiat, hendaklah kita bertaubat dan menyesali perbuatan tersebut.
Faktor yang kedua adalah lalai dari mengingat Allah (Dzikrullah).
Dzikir adalah cara untuk selalu mengingat Allah dan menjaga hati tetap terhubung dengan-Nya. Karena sesungguhnya seseorang yang hatinya diisi dengan mengingat Allah tidak akan jatuh ke dalam maksiat. Ketika seseorang lupa untuk berdzikir, maka hati akan kosong dan akan diisi oleh bisikan setan karena hati dan pikiran mereka tidak lagi dipenuhi dengan kesadaran akan kehadiran Allah. Lalu, mereka akan mudah jatuh ke dalam maksiat karena lupa bahwa ada Allah yang mengawasi gerak gerik mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr: 19).
Ayat ini memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat Allah. Karena ketika seseorang lupa berdzikir mengingat Allah, maka Allah akan membuat mereka lupa kepada keselamatan mereka di akhirat kelak. Dan itulah kenapa orang yang lupa kepada Allah mudah sekali berbuat maksiat. Mereka tidak sadar bahwa ketika mereka bermaksiat, Allah mengawasi mereka dan ada adzab yang menanti jika mereka tidak bertaubat.
Faktor yang ketiga adalah jauh dari Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Ketika seseorang jauh dari Al-Qur’an, akan muncul banyak dampak negatif yang dapat dirasakan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa,” (QS. Al-Baqarah: 2).
Seseorang yang jauh dari Al-Qur’an, tidak pernah membukanya, jarang mentadaburi dan mengkajinya, maka ia telah kehilangan pedoman hidup.
اَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِ فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهٖۗ
“Maka, apakah orang yang Allah bukakan hatinya untuk (menerima) agama Islam, lalu mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)?” (QS. Az-Zumar: 22).
Faktor yang keempat pengaruh lingkungan yang buruk.
Lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap seseorang. Ketika berada di lingkungan orang beriman, maka ia akan terdorong untuk melakukan kebaikan. Akan tetapi, ketika seseorang berada di lingkungan ahli maksiat, pengaruh dari lingkungan tersebut bisa merusak keimanan dan akhlaknya serta akan mendorong orang tersebut untuk melakukan maksiat yang sama. Allah Azza’ wa Jalla berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!” (QS. At-Taubah: 119).
Dalam ayat ini Allah menunjukkan seruan-Nya dan memberikan perintah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka tetap dalam ketaqwaan dengan cara menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan-Nya. Dan bukan hanya itu, Allah juga memerintahkan untuk senantiasa bersama orang-orang yang benar dan jujur, yaitu bertaqwa dan ber-Islam dengan ikhlas. Hal ini juga diperintahkan dalam sebuah kisah seseorang yang membunuh 100 orang lalu bertaubat, maka hal pertama yang diperintahkan kepada orang tersebut setelah bertaubat adalah berhijrah, yaitu meninggalkan tempat tinggalnya sebelumnya agar tidak terdorong untuk mengulang maksiat kembali.
Faktor yang kelima adalah jauh dari majelis ilmu.
Majelis ilmu adalah tempat di mana kita dapat meraih ilmu, mendapat nasehat, memperbaiki diri, dan memperkuat keimanan. Ketika seseorang jauh dari majelis ilmu, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan bimbingan dan motivasi dari para ulama. Dan akan kehilangan petunjuk untuk menjalankan Islam dengan baik dan benar. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).