Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Setiap kajian yang membahas tentang sejarah Islam atau sejarah perjalanan hidup Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasanya dimulai dengan pembicaraan mengenai masa jahiliyah atau masa pra-Islam. Hal ini adalah wajar dan logis. Mengapa demikian?

Pertama, memang harus dipelajari lingkungan tempat Islam itu tumbuh. Islam di sini adalah Islam dalam arti khusus, yaitu agama yang Allah turunkan kepada nabi terakhir (Nabi Muhammad) untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Bukan Islam dalam arti umum, yaitu agama yang Allah turunkan kepada semua nabi dan rasul terdahulu yang berlaku secara terbatas untuk waktu dan tempat tertentu. Kedua, harus dipelajari juga apa reaksi lingkungan tersebut terhadap kemunculan Islam. Ketiga, harus dipahami pula apa perubahan besar yang dilakukan Islam dalam lingkungan tersebut.

Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:

لاَ يَعْرِفُ اْلإِسْلاَمَ مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الْجَاهِلِيَّةَ

“Seseorang tidak bisa mengenal Islam apabila ia tidak mengenal jahiliyah.”

Perkataan Umar ini benar, teliti, dan bijaksana serta berangkat dari pengalaman dan pemikiran yang dalam. Umar berbicara mengenai pengalamannya pribadi untuk menggambarkan betapa besarnya perubahan yang terjadi dalam dirinya dan dalam diri orang-orang di sekitarnya ketika mereka berpindah dari jahiliyah ke Islam. Perkataan ini berlaku untuk sejarah mana pun dan untuk manusia mana pun. Hakikat Islam tidak akan jelas baginya sebelum jelas pula hakikat jahiliyah baginya.

Jahiliyah Belum Berakhir

Ada adagium dalam silabus sejarah yang dibuat oleh Margaret Dunlop Gibson (1843-1920), seorang orientalis dari Skotlandia yang dikenal ahli dalam bahasa Semit, yang berbunyi:

“Orang-orang Arab pada masa jahiliyah suka menyembah patung dan berhala, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, suka minum khamer (tuak) dan main judi, suka merampok dan menodong. Lalu datang Islam untuk melarang semua itu.”

Ungkapan yang sangat halus ini sengaja dibuat dalam planning pendeta yang datang ke Mesir pada masa pendudukan Inggris supaya dijadikan silabus pendidikan di negeri Mesir yang Islam agar Mesir jauh dari hakikat Islam. Ungkapan ini tetap dipakai pada masa-masa berikutnya. Bahkan tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Maksud yang terkandung di balik ungkapan tersebut adalah untuk menggambarkan bahwa misi Islam telah selesai dan tidak ada lagi peranan yang bisa dilakukan Islam untuk kaum muslimin dan umat manusia lainnya.

Para pelajar muslim ketika menoleh ke sekelilingnya tidak akan menemukan lagi patung-patung sebagaimana yang disembah oleh orang Arab jahiliyah. Sementara dalam benaknya sudah tidak ada lagi bayangan mengenai penyembahan berhala ma‘nawi (segala sesuatu yang berstatus berhala). Juga tidak terlintas lagi dalam benak mereka peran apa yang bisa dimainkan Islam terhadap para penyembah berhala yang hakiki itu sendiri yang jumlahnya melebihi separuh jumlah manusia yang ada di dunia.

Tidak akan ditemukan lagi orang yang menguburkan anak perempuannya hidup-hidup. Malah yang ditemukan sebaliknya. Anak-anak perempuan yang manja, lalai dan suka bermain. Jarang lagi ditemukan serangan para perampok karena di setiap negeri sudah ada aparat keamanan yang mencegah tindakan itu.

Mengenai tuak dan judi, sudah tidak ada lagi dalih untuk mengelak darinya karena agama telah mengharamkannya. Akan tetapi, manusia masih banyak melanggar yang haram ini.

Demikianlah, Islam menurut mereka telah kehabisan misinya dan tidak mungkin melakukan peran baru. Sementara itu, tanpa sadar di antara kita ada yang masih meniru keinginan Dunlop sehingga mengantarkan umat ke tujuan orientalis ini. Oleh karena itu, kita harus mengenal hakikat jahiliyah agar mengenal hakikat Islam dan apa perannya dalam kehidupan manusia.

Hakikat Jahiliyah

Orang Arab menggunakan kata jahl dan pecahan-pecahannya untuk dua pengertian. Pertama, jahl (bodoh) adalah lawan dari kata ‘ilm (mengetahui). Ini menyangkut keadaan akal. Kedua, jahl adalah lawan dari kata hilm (sopan-santun). Yang ini menyangkut kejiwaan dan perilaku. Akan tetapi, mereka belum pernah menggunakan kata jahiliyah dalam syair dan percakapan mereka. Kata ini baru dipergunakan pertama kali dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan keadaan orang Arab sebelum Islam.

Menurut istilah Al-Qur’an, jahiliyah mempunyai dua makna. Pertama, tidak mengenal hakikat Tuhan. Makna ini terdapat dalam QS. Ali Imran: 154 dan QS. Al-Fath: 26. Kedua, tidak mengikuti aturan yang diturunkan Allah. Makna ini terdapat dalam QS. Al-Maidah: 50 dan QS. Al-Ahzab: 33.

Jahiliyah bisa saja terulang kapan dan di mana pun apabila ada unsur dan sarana pendukungnya. Menurut Ibnu Taimiyah, jahiliyah yang terjadi setelah diutusnya Rasulullah disebut jahiliyah mutlak. Jahiliyah seperti ini mungkin terdapat di satu kota dan tidak di kota lain, sebagaimana terjadi di negeri-negeri orang kafir. Mungkin ada pada seseorang dan tidak pada yang lain, seperti seseorang sebelum ia masuk Islam. Ia ini berada dalam keadaan jahiliyah walaupun berada di negeri Islam. Ada lagi yang disebut jahiliyah muqayyad, yaitu jahiliyah yang terikat. Jahiliyah seperti ini mungkin terdapat di sebagian negeri Islam dan pada kebanyakan kaum muslim. (Disadur dari Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam karya Muhammad Quthb, hlm. 51-59).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *