Oleh: Bima Setya Dharma
Rasa cinta adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Baik cinta isteri kepada suami atau sebaliknya, cinta anak kepada orang tua atau sebaliknya, cinta manusia kepada harta benda yang dimilikinya, cinta kepada sanak saudara, cinta kepada hewan, bahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Sesungguhnya hal itu takkan pernah terjadi kalau bukan karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bagi orang-orang yang beriman, rasa cinta kepada anak, kepada suami dan istri, kepada harta benda dan alam semesta ini tidaklah boleh melebihi kecintaan kepada Yang Maha Pencipta. Bahkan sampai dikatakan bahwasanya mengedepankan cinta kita kepada Sang Pencipta di atas segalanya merupakan syarat dari keimanan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 65:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat dzalim itu melihat, ketika mereka melihat adzab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat adzab-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Tetapi perlu kita ketahui bahwasanya cinta bukan hanya sekedar kita ucapkan dengan lisan. Namun dibutuhkan bukti atau tindakan nyata untuk menguatkan dan mengekspresikannya, sebagaimana seorang suami yang mencari nafkah untuk keluarga, atau seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya untuk membantu suami mengurus rumah dan mendidik anak-anaknya.
Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah, cinta kepada-Nya juga memerlukan bukti dalam bentuk perbuatan nyata. Karena jika hanya dengan lisan, maka orang-orang Yahudi pun mengatakan cinta kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصٰرٰى نَحْنُ اَبْنٰۤؤُ اللّٰهِ وَاَحِبَّاۤؤُهٗ ۗ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوْبِكُمْ ۗ بَلْ اَنْتُمْ بَشَرٌ مِّمَّنْ خَلَقَۗ يَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَلِلّٰهِ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا ۖوَاِلَيْهِ الْمَصِيْرُ
“Orang Yahudi dan Nasrani berkata, ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah, ‘Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?’ Tidak, kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang Dia ciptakan. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan menyiksa siapa yang Dia kehendaki. Dan milik Allah seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya. Dan kepada-Nya semua akan kembali.” (QS. Al Ma’idah: 18).
Bahkan mereka juga mengatakan bahwasanya tidak akan masuk Syurga kecuali dari golongan mereka.
وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk Syurga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar’.” (QS. Al Baqarah: 111).
Mereka menyatakan bahwasanya mereka mencintai Allah dan yakin dengan cintanya itu mereka akan masuk Syurga. Tetapi mereka mengekspresikan cintanya dengan amal dan ketaatan yang merupakan bukti dari cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih mengikuti syahwat dan hawa nafsunya dibandingan apa-apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Apakah mungkin seseorang yang mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya akan mentaati perintah hawa nafsu dan syahwatnya daripada mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya?
Dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiyallahu’anhu, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda:
لا يؤمنُ أحدُكم حتَّى يكونَ هواه تبعًا لما جئتُ به
“Tidak beriman seseorang sampai hawa nafsunya ia tundukkan demi mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. Ibnu Abi Ashim 15, Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, dishahihkan oleh An Nawawi, Adz Dzahabi, Ahmad Syakir. Didhaifkan oleh Ibnu Rajab, Al Albani. Dan ini pendapat yang rajih, namun maknanya shahih).
Seperti itulah seseorang yang beriman membuktikan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala larangan-Nya, mengikuti Al Qur’an dan Sunnah, serta menundukan syahwat dan hawa nafsunya. Sehingga ketika ada hal yang ia cintai tetapi Allah haramkan, maka ia lebih memilih untuk menjauhinya. Dan sebaliknya, ketika ada hal yang tidak ia sukai tetapi Allah perintahkan untuk mengerjakannya, ia akan tetap mengerjakannya.