Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Tradisi menenggak minuman keras (khamr) baru sebagian kecil dari gambaran akhlak jahiliyah yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Selain itu, mereka dikenal juga sebagai bangsa yang gemar berjudi serta melakukan praktek pelacuran, pencurian, perampokan, berbagai tindak kesewenang-wenangan dan kekejaman, kekotoran dalam urusan makan dan minum, dan tidak mempunyai kesopanan.
Perjudian
Judi adalah salah satu permainan yang sangat disukai oleh umumnya bangsa Arab sebelum masa Islam. Ada bermacam-macam cara judi yang biasa mereka lakukan. Di antaranya adalah berjudi dengan bertaruh seperti yang biasa dilakukan orang sekarang. Ada lagi dengan cara berlotre unta di antara beberapa orang. Lebih dulu telah disediakan sepuluh bilah kayu yang kecil-kecil dan masing-masing telah diberi nama dan ditentukan pula berapa mata satu per satunya, yaitu Al-Fadz, At-Tau-am, Ar-Raqib, Al-Halis, An-Nafis, Al-Musabbal, Al-Mu‘alla, Al-Manih, As-Safih, dan Al-Waghad. Sepuluh bilah kayu itu sebagai undi. Di antara sepuluh undi ini, tujuh undi ada hadiahnya dan tiga undi yang akhir (Al-Manih, As-Safih, dan Al-Waghad) kosong.
Mereka membeli dan memotong seekor unta, lalu mereka bagi 28 bagian, lantas mereka pisahkan satu-satunya. Caranya, satu bagian untuk Al-Fadz, dua bagian untuk At-Tau-am, tiga bagian untuk Ar-Raqib, empat bagian untuk Al-Halis, lima bagian untuk An-Nafis, enam bagian untuk Al-Musabbal, dan tujuh bagian untuk Al-Mu‘alla. Semuanya ada 28 bagian. Adapun Al-Manih, As-Safih, dan Al-Waghad (tiga bagian yang akhir) tidak mempunyai bagian (kosong). Kemudian, orang-orang yang ikut serta bermain judi itu berkumpul dan memasukkan sepuluh undi ke dalam satu kantong dari kulit atau lainnya, lantas mereka menyerahkan kantong itu kepada seorang lain yang mereka pandang layak dipercaya dan lurus untuk mengocoknya. Sesudah dikocok oleh orang yang dipercaya itu, dikeluarkanlah undian tadi satu per satu dan diberikan kepada seorang-seorang, hingga habis sepuluh undi tadi terbagi kepada sepuluh orang yang ikut serta.
Kemudian setiap orang yang telah mendapat giliran undi yang berisi bagian, mengambil bagiannya masing-masing. Orang-orang yang kebetulan mendapat undian yang kosong, mereka itulah yang harus membayar harga unta yang telah disembelih tadi. Dalam perjudian ini, kadang-kadang sampai berpuluh unta yangdisembelih. Mereka yang mendapat kemenangan (mendapat bagian) sering tidak mengambil bagiannya. Bagian itu diberikan kepada fakir miskin. Jadi, kemenangan itu tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan fakir miskin. Meskipun demikian, mereka merasa bangga dan merasa mendapat kemuliaan.
Judi seperti itu yang paling digemari oleh mereka. Orang yang tidak suka ikut berjudi dengan bentuk seperti itu dipandang sebagai orang yang kikir. Ia biasa dinamakan barm. Dengan demikian, ia dipandang rendah oleh masyarakat mereka sehingga orang yang kawin dengannya (barm) akan dipandang hina pula.
Pelacuran
Pelacuran atau perzinaan di antara lelaki dan perempuan oleh bangsa Arab di Jazirah Arab pada masa sebelum Islam merupakan perbuatan biasa. Perbuatan itu tidak menjadikan rendah derajat orang yang mengerjakannya. Pelacuran dengan cara terang-terangan tidak dibolehkan, tetapi orang boleh mengerjakannya dengan cara tertutup. Para perempuan pelacur dengan terang-terangan membuka kedai pelacuran. Sebagai tandanya, mereka memasang bendera di depan rumah masing-masing.
Tidak sedikit para pujangga ahli syair yang melukiskan perbuatannya yang keji serta cemar itu dalam syair-syairnya, sehingga ada pula antara syair-syair mereka itu hanya karena kebagusan atau keindahan susunan katanya, lalu digantungkan di Ka‘bah, rumah suci yang dihormati oleh mereka. Hal itu menunjukkan bahwa perzinaan dan perbuatan yang keji serta cemar itu seolah-olah menjadi suatu kemegahan.
Orang-orang kaya atau para hartawan yang mempunyai beberapa hamba sahaya perempuan telah menjadikan mereka sebagai mata pencarian. Mereka disuruh menjual kehormatannya kepada laki-laki, lalu upah yang diterima oleh mereka disetorkan kepada tuannya. Anak yang dilahirkan dari perempuan yang tidak halal, pada masa itu, dipandang sebagai anak sah, sebagaimana anak yang diperoleh dari perkawinan yang sah. Seorang perempuan boleh menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki yang kuat dan gagah atau kepada seorang bangsawan untuk disetubuhinya agar anaknya nanti dapat meniru atau serupa dengan bapak pinjamannya itu. Pekerjaan yang sehina itu sudah dianggap urusan biasa dan dipandang bukan apa-apa.
Beberapa orang laki-laki (kurang dari sepuluh orang) sama-sama mendatangi dan menyetubui seorang perempuan, seperti istri bersama. Kemudian, apabila perempuan itu hamil dan melahirkan anak dari persetubuhan beramai-ramai tadi, semuanya dipanggil oleh perempuan itu. Kepada lelaki yang mana anak itu akan diserahkannya, lelaki itu harus menerima dan siap menjadi bapak anaknya. Ada lagi beberapa cara yang lain dalam mengerjakan pelacuran dan perzinaan. Pelacuran dan perzinaan sebagai yang diceritakan itu umum dikerjakan orang. Hanya sebagian kecil yang tidak mau mengerjakannya. (K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm. 27-29).