Menggembala Kambing

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Abu Thalib bukanlah orang kaya. Dengan harta yang sedikit, ia harus menafkahi anak-anaknya yang banyak. Nabi Muhammad tidak ingin memperberat beban pamannya. Sebaliknya, ia ingin mengurangi beban tersebut. Oleh karena itu, ia tidak berpangku tangan melihat jerih payah sang Paman. Ia bekerja sebagai penggembala kambing.

Kyai Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad menceritakan bahwa Nabi Muhammad memulai pengalamannya dalam menggembala kambing saat masih berusia empat tahun. Ketika itu, ia tinggal bersama keluarga Halimah di kampung Bani Sa‘ad. Dengan kemauan sendiri, ia ikut menggembala kambing milik ibu susuannya, Halimah, bersama-sama dengan anak Halimah sendiri. Sepulang dari kampung Bani Sa‘ad, ia menggembala kambing lagi di Makkah. Kambing-kambing yang digembalakannya bukan kambing milik sendiri, bukan kambing peninggalan dari ayahnya, dan bukan pula kambing milik ibu dan kakeknya, melainkan milik penduduk Makkah.   

Setelah ditinggal wafat oleh ibunya, Nabi Muhammad berada dalam pengasuhan kakeknya, Abdul Muththallib. Sang kakek adalah seorang tokoh senior yang memegang kekuasaan di Makkah. Meskipun demikian, Muhammad kecil tidak merasa malu bekerja menggembala kambing. Dengan kata lain, ia menjadi buruh menggembala kambing milik orang Makkah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyaknya. (Jilid 1, hlm. 81). Pekerjaan itu terus dijalani Nabi ketika tinggal dalam pemeliharaan dan pengasuhan pamannya, Abu Thalib.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembala kambing.”Para shahabat bertanya, “Engkau juga ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ya, saya pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qirath.”

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Pada suatu ketika, kami bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tempat bernama Marr Az-Zhahran. Kami memetik buah yang matang dari pohon bernama Al-Araak. Nabi berkata, ‘Pilihlah yang berwarna hitam.’ Kami menanggapi, ‘Wahai Rasulullah, sepertinya baginda pernah menggembala kambing.’ Nabi menjawab, ‘Iya. Setiap nabi pasti pernah menggembala kambing’.” (HR Muslim).   

Pelajaran Penting

Ada beberapa pelajaran penting dari kisah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggembala kambing. Pertama, peristiwa itu merupakan bentuk tarbiyah ilahiyah, yaitu pendidikan dari Allah untuk menyiapkan hamba-Nya menjadi nabi dan rasul. Ibnu Hajar Rahimahullah menyatakan bahwa para ulama berkata, “Hikmah di balik penggembalaan kambing sebelum masa kenabian tiba adalah agar para nabi terbiasa mengatur kambing yang nanti dengan sendirinya akan terbiasa menangani problematika umat manusia.” Para nabi berprofesi sebagai penggembala kambing sejak kecil agar mereka menjadi penggembala manusia ketika sudah besar.

Kedua, dalam pekerjaan menggembala kambing terdapat pelajaran membiasakan diri dengan sifat menyantuni dan mengayomi. Tatkala mereka bersabar dalam menggembala dan mengumpulkannya setelah berpencar di padang gembalaan, mereka mendapat pelajaran bagaimana memahami perbedaan tabiat umat dan perbedaan kemampuan akal. Dengan perbedaan tersebut, maka yang membangkang mesti ditindak tegas dan yang lemah mesti disantuni.

Hal ini memudahkan bagi yang memiliki pengalaman seperti itu untuk menerima beban dakwah dibandingkan yang memulai langsung dari awal. Itulah awal pembelajaran bagi para nabi cara menghadapi berbagai tabiat yang berbeda. Ada yang lemah. Ada yang pincang. Ada yang bermaksud mendaki gunung. Ada pula yang tidak mampu melintasi lembah. Dari situ, ia mempelajari bagaimana meraih keinginan yang beragam sebagai pengantar untuk mengenal manusia dengan tujuan dan maksud juga yang beragam. (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 75).

Ketiga, pekerjaan menggembala kambing mampu memunculkan sifat tawadhu’. Dalam pekerjaan ini, penggembala dituntut untuk melayani kambing, mengawasi kelahirannya, siap siaga menjaganya, dan tidur di dekatnya. Bisa jadi ia terkena air kencing atau kotorannya, namun ia tidak merasa gelisah karenanya. Dengan pengalaman seperti itu, hal tersebut dapat menjauhkan diri dari sifat kesombongan dan berbangga diri. Jiwanya pun fokus pada akhlak tawadhu’.

Keempat, pekerjaan menggembala kambing mampu memunculkan keberanian. Biasanya pekerjaan ini harus berhadapan dengan binatang buas. Oleh karena itu, harus berani dan terampil dalam menghadapi dan mencegah binatang buas tadi agar tidak memangsa kambing.

Kelima, senantiasa bersandar pada pekerjaan yang halal. Tidak diragukan, hal ini menjadikan seseorang memperoleh kebebasan yang sempurna dan kemampuan untuk menyatakan kebenaran. Ia tidak perlu menyimpang dari kebenaran karena takut kepada seseorang. Selain itu, pekerjaan tersebut juga menjadi teladan bagi umat agar senantiasa memakan dari jerih payah sendiri.   

Keenam, mencari rezeki dengan usaha sendiri adalah sebuah tuntutan bagi seorang muslim, terlebih bagi seorang dai. Jangan sampai ia menjadi beban bagi orang lain sehingga menjadi penghambat dalam menyampaikan kebenaran.

Ketujuh, anjuran untuk mempelajari skill (pekerjaan) tertentu dan menguasainya dengan baik. Seorang muslim harus bekerja mencari nafkah untuk menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta.

Kedelapan, tidak boleh memandang rendah skill dan pekerjaan tangan selama pekerjaan itu halal. Terkadang bagi sebagian orang, menggembala kambing dipandang sebagai pekerjaan rendah, padahal itu adalah pekerjaan halal dan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.  

Kesembilan, Islam tidak menyukai kemalasan. Nabi memberi teladan kepada umatnya untuk giat bekerja. Nabi juga mengajari umatnya agar berlindung dari kemalasan dengan senantiasa membaca doa:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keresahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, kebakhilan, kepengecutan, terlilit hutang, dan dikuasai oleh musuh.”(HR Bukhari).

Dengan pendidikan seperti ini, jadilah seorang Muslim itu sebagai orang yang senantiasa optimis, produktif, dan turut berkontribusi dalam mengembangkan masyarakat menuju kebaikan. (Tunaidhab Al-Fayidi, As-Sirah An-Nabawiyah Al-Mutsiqah li Ar-Rasul, Juz 1, hlm. 152-153).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *