Perjalanan Hijrah Nabi Ibrahim

Loading

Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Raja Namrud menyaksikan eksekusi terhadap Nabi Ibrahim. Dari sela-sela api yang berkobar-kobar, ia melihat Nabi Ibrahim duduk dengan tenang. Api itu ternyata tidak mampu membakar tubuh Nabi Ibrahim. Dengan kuasa Allah, Nabi Ibrahim keluar dari kobaran api dengan selamat.

Melihat peristiwa itu, beberapa orang Babilonia menyatakan beriman terhadap agama yang didakwahkan oleh Nabi Ibrahim. Mereka meninggalkan penyembahan terhadap berhala, kemudian berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Di antara mereka yang beriman adalah keponakan Nabi Ibrahim sendiri, Luth, dan saudari sepupu beliau, Sarah, yang kemudian menjadi istrinya.

Hijrah ke Harran

Tidak lama setelah menikah dengan Sarah, Nabi Ibrahim berhijrah ke negeri kaum Kan‘an. Selain istrinya, sang ayah; Azar atau Tarukh, dan Luth ikut juga berhijrah. Mereka pun sampai di Harran (sekarang berada di Turki). Penduduk Harran menyembah bintang dan berhala.

Nabi Ibrahim mendakwahi mereka agar meninggalkan semua sesembahan itu dan hanya menyambah Allah semata. Ia juga mendakwahi ayahnya dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, sang ayah tetap berada dalam keyakinannya dan tidak mau mengikuti dakwah Nabi Ibrahim hingga ajal menjemputnya. Azar meninggal di Harran dalam usia 250 tahun.

Hijrah ke Syam

Dari Harran, Nabi Ibrahim melanjutkan perjalanan hijrahnya ke negeri Syam. Ia ditemani oleh istrinya, Sarah, dan keponakannya, Luth. Sarah semula adalah wanita mandul. Ia tidak mempunyai anak seorang pun. Di negeri yang diberkati itu, Allah kelak memberinya seorang anak yang akan menurunkan para nabi dan rasul.

Hal ini sebagai pemuliaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim yang telah meninggalkan negerinya beserta karib kerabatnya untuk berhijrah di jalan Allah. Ia melakukan itu agar bisa fokus beribadah kepada Allah dan mendakwahi umat manusia kepadanya. Ia akhirnya menyampaikan risalah dari Tuhannya di negeri Syam. Adapun Luth, Allah mengutusnya sebagai rasul kepada penduduk Soddom.

Hijrah ke Mesir  

Dari Syam, Nabi Ibrahim sempat melakukan perjalanan ke Mesir ditemani oleh Sayyidah Sarah. Pada masa itu, Mesir berada di bawah kekuasaan seorang fir‘aun –gelar raja Mesir– bernama Sinan bin Alwan. Di kalangan penduduk negeri itu, Sinan terkenal sebagai raja yang bengis dan gemar mempermainkan wanita. Setiap mendengar atau melihat seorang wanita berparas cantik, ia memerintahkan punggawanya supaya merenggut dan membawanya ke dalam istana. Ia tidak malu-malu merampas istri siapa saja yang menarik selera nafsu birahinya. Apabila suami wanita itu tidak rela menyerahkan istrinya, ia dibunuh atau dikenakan kerja paksa seumur hidup.

Ketika mata-mata sang raja melihat Nabi Ibrahim beserta istrinya, mereka menyampaikan kepadanya bahwa ada seorang laki-laki datang bersama seorang wanita berparas sangat cantik. Raja meminta agar keduanya dibawa menghadapnya. Nabi Ibrahim ditanya oleh Sinan, “Siapakah wanita ini?” “Ia adalah saudariku,” jawab Nabi Ibrahim. Setelah itu, Nabi Ibrahim mendatangi Sarah. Ia berkata, “Wahai Sarah! Di atas muka bumi ini tidak ada orang mukmin kecuali diriku dan dirimu. Sang raja bertanya kepadaku mengenai dirimu. Aku sampaikan kepadanya bahwa engkau adalah saudariku. Oleh karena itu, janganlah engkau mengingkariku.”

Raja Sinan kemudian mengambil Sarah dari Nabi Ibrahim. Sarah dirias sedemikian rupa oleh dayang-dayang istana, kemudian dimasukkan ke dalam kamar sang raja. Melihat kecantikan Sarah, sang raja tidak mampu menahan nafsu birahinya. Ia segera berdiri dan ingin memeluk Sarah. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa seluruh badannya terkulai lemas dan tidak bertenaga. Kakinya terpaku tidak dapat melangkah. Tangannya lumpuh. Ia kemudian jatuh di atas lantai. Ia merintih-rintih dan dengan nafas tersendat-sendat berkata kepada Sarah, “Aku tidak akan mengganggumu. Mintalah kepada Tuhanmu agar kekuatanku dipulihkan.”

Sarah meluluskan permintaan Sinan. Ia berdoa dan Allah berkenan mengabulkan permohonannya. Beberapa saat kemudian Sinan merasa tenaganya telah pulih. Akan tetapi, ternyata ia mengingkari janjinya. Ia segera berdiri dan ingin berbuat jahat kepada Sarah. Belum sempat menyentuhnya, ia jatuh tersungkur di lantai sebagaimana sebelumnya. Sekali lagi ia mengiba dan meminta agar Sarah berdoa. Sarah mengabulkan permintaannya.

Allah berkenan memulihkan tenaga Sinan, tetapi ia masih terus mencoba untuk menjamah wanita suci itu. Baru saja ia berdiri, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Sekali lagi ia jatuh tersungkur. Akhirnya Sinan berjanji untuk ketiga kalinya bahwa ia benar-benar tidak akan mengulangi perbuatannya. Sarah pun berdoa kepada Allah.

Setelah Allah memulihkan tenaganya, Sinan berteriak memanggil pengawalnya. Dengan marah dan kecewa, ia memerintahkan, “Keluarkan wanita ini dari kamarku. Ia bukan manusia. Ia jin. Antarkan ia kepada Ibrahim. Berikan kepadanya seorang dayang, si Hajar, sebagai pelayan.”

Demikianlah Allah menjaga Sarah dari kejahatan Raja Sinan. Ia akhirnya bisa kembali kepada Nabi Ibrahim dengan selamat. Ia bahkan kembali dengan membawa hadiah seorang hamba sahaya wanita yang cantik jelita. (Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, As-Sirah An-Nabawiyah, jilid 1, hlm. 119-121; H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad,hlm. 119-121).            

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *