Pembunuhan Bayi Perempuan di Zaman Jahiliyah

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Salah satu tradisi bangsa Arab di zaman jahiliyah yang mencerminkan pandangan mereka yang merendahkan kaum wanita adalah mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Tradisi ini memang tidak berlaku di semua suku Arab. Meskipun demikian, tradisi kejam tak berperikemanusiaan ini diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah mengecam tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Uraian mengenai hal itu dalam surat At-Takwir disandingkan dengan kehancuran matahari, pudarnya cahaya bintang, dan lain-lain. Allah berfirman:

“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, ‘Karena dosa apakah dia dibunuh?’.” (QS. At-Takwir: 8-9).

Ada dua alasan pokok mengapa orang Arab jahiliyah melakukan hal tersebut. Pertama, khawatir ditimpa kemiskinan, baik karena kemiskinan ayah yang memeliharanya maupun kemiskinan anak itu tatkala dewasa dengan sebab tidak bisa mencari nafkah. Kedua, khawatir anak perempuan itu diperbudak karena kehidupan keseharian mereka adalah peperangan, perampokan, dan penganiayaan.

Umar bin Khatthab Tidak Pernah Melakukannya

Suku Quraisy dengan berbagai cabang keturunannya tidak mengenal tradisi buruk di atas. Oleh karena itu, riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin Khatthab pernah mengubur putrinya hidup-hidup bukanlah riwayat yang shahih. Dalam riwayat itu dinyatakan bahwa suatu ketika Umar duduk bersama beberapa sahabatnya. Tiba-tiba ia tertawa, namun selanjutnya menangis. Ketika ditanya mengapa demikian, ia menjelaskan bahwa ia teringat saat jahiliyah. Ia tertawa karena pernah memakan berhala dari kurma karena lapar. Ia menangis karena pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Riwayat ini tidak logis; bagaimana tawa dan tangis bisa bertemu dalam saat yang sama?

Riwayat ini juga tertolak karena putri beliau, Hafshah, yang kemudian menjadi istri Nabi, lahir sebelum masa kenabian. Jika memang Umar mengubur putrinya, mengapa Hafshah tidak dikuburkan pula hidup-hidup? Mengapa saudarinya yang dikuburkan hidup-hidup? Sungguh satu hal yang tidak masuk akal.

Awal Tradisi

Pihak pertama melakukan tradisi tadi adalah anggota suku Bani Tamim. Nu‘man bin Mundzir, penguasa Iraq, memimpin pasukan besar menyerang musuh-musuhnya (termasuk Bani Tamim) dan berhasil mengalahkan mereka. Ia menyita harta mereka dan membawa gadis-gadisnya sebagai tawanan. Wakil-wakil Bani Tamim datang memohon kepadanya agar gadis-gadis itu dikembalikan. Oleh karena beberapa di antaranya telah menikah selama ditawan, Nu‘man memberi kesempatan kepada para wanita Bani Tamim untuk memilih antara memutuskan hubungan dengan orang tua mereka atau bercerai dari suaminya lalu kembali kepada orang tua. Salah seorang wakil Bani Tamim adalah seorang tua bernama Qais bin ‘Asim. Putrinya memilih tinggal dengan suaminya. Penghinaan itu membuat si ayah bertekad untuk menghabisi anak perempuannya di kemudian hari segera setelah lahir. Tradisi ini kemudian menyebar ke suku-suku lainnya.

Ketika Qais bertemu Nabi, salah seorang Anshar bertanya kepadanya tentang putri-putrinya. Qais menjawab, “Saya mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan saya. Saya tidak terharu sedikit pun ketika melakukannya, kecuali sekali.

Suatu ketika, saya melakukan perjalanan. Istri saya di rumah sedang hamil tua. Perjalanan itu memakan waktu lama. Setelah kembali, saya menanyai istri saya tentang kehamilannya. Ia menjawab bahwa karena suatu penyakit, ia keguguran. Sebenarnya ia telah melahirkan anak perempuan. Namun karena takut kepada saya, ia menitipkan anak itu kepada saudarinya.

Tahun-tahun berlalu. Si anak tumbuh menjadi remaja. Saya sama sekali tidak mengetahuinya. Pada suatu hari, ketika saya sedang duduk-duduk di rumah, seorang gadis masuk secara mendadak dan menanyakan ibunya. Ia sangat cantik. Rambutnya dipilin dan lehernya memakai kalung. Saya bertanya kepada istri saya, ‘Siapa gadis cantik itu?’ Dengan air mata, ia menjawab, ‘Dia anakmu sendiri. Dialah yang lahir ketika kamu sedang dalam perjalanan. Karena takut kepadamu, saya menyembunyikannya.’

Saya terdiam. Rupanya istri saya mengartikannya sebagai tanda penerimaan saya. Ia berpikir bahwa saya tidak akan membunuh gadis itu. Pada suatu hari, ia meninggalkan rumah dengan pikiran penuh keyakinan. Saat itulah, saya memegang tangan anak saya dan membawanya ke suatu tempat yang jauh. Di sana saya menggali lubang. Ketika sedang menggali, putri saya bertanya berulang-ulang mengapa saya menggali tanah itu. Setelah selesai menggali, saya memegang tangan anak saya, mendorongnya ke dalam lubang, dan menimbun tanah ke kepala dan mukanya tanpa peduli dengan tangisannya yang menyayat hati.

Ia terus mengeluh dan mengatakan, ‘Ayahku sayang, apakah ayah akan menguburkan saya di dalam tanah ini? Mungkinkah ayah kembali kepada ibu setelah meninggalkan saya sendirian di sini?’ Tetapi saya terus menimbun tanah sampai ia terkubur sepenuhnya. Baru pada saat itu saya sedikit mempunyai hati nurani.”

Ketika cerita Qais berakhir, air mata Nabi mengalir. Beliau berkata, “Ini perbuatan hati batu. Orang yang tidak memiliki perasaan belas kasihan dan keramahan tidak akan mendapatkan rahmat Ilahi.” (Ja‘far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah, hlm. 22-23).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *