Merdeka Jiwa dan Raga

Loading

Oleh: Muhammad Nurdin

Memasuki bulan Juli biasanya para pedagang umbul-umbul dan bendera merah-putih mulai berjualan di pinggir jalan. Fenomena tersebut tak lain karena sebentar lagi Indonesia akan merayakan kemerdekaannya. Gegap-gempita hari kemerdekaan Indonesia biasa disambut meriah oleh penduduk negeri. Mulai dari munculnya para pedagang tersebut, pengecatan marka jalan di desa-desa, buat gapura dirgahayu, dan seterusnya.

Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia dinyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945. Di antara makna merdeka adalah bebas dari jajahan atau kekuasaan bangsa lain. Sejak saat itu, Indonesia memang sudah merdeka dari jajahan dan perbudakan Jepang dan Belanda. Tapi apakah bangsa Indonesia sudah merdeka seutuhnya?!

Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi yang merdeka bukan hanya raganya, melainkan merdeka jiwa dan juga raganya. Karena bila badan bebas dari penjajahan, namun hati dan nurani masih terjajah, ia belum merdeka seutuhnya.

Apabila perangkat untuk membebaskan diri dari jajahan raga adalah perlawanan dan kekuatan, seperti yang dilakukan para pahlawan kemerdekaan kita dahulu, maka perangkat untuk membebaskan diri dari jajahan jiwa atau hati dan nurani adalah akal dan kecerdasan.

Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar manusia merdeka. Dengan akalnya itu, manusia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akalnya pula, manusia menjadi pribadi yang unggul berkat kemampuan mentadaburi ayat-ayat yang tersurat; sehingga menjadi pribadi yang taat. Maupun ayat-ayat yang tersirat; sehingga menjadikannya pribadi yang intelektual. Yang berguna bagi agama dan bangsa.

Bukan seperti mitologi Yunani yang menganggap manusia adalah makhluk yang sama sekali tidak memiliki akal atau kecerdasan, yang menjadikan manusia butuh dewa untuk menuntun dalam berpikir. Seperti praktik orang-orang hari ini yang menggantungkan keinginannya pada orang atau berhala, yang apabila berhala itu merestui dia akan lakukan, tapi bila berhalanya menolak, dia akan tinggalkan.

Pribadi merdeka adalah yang menggunakan akalnya untuk memikirkan kebesaran Rabb-nya, sehingga dia paham tentang tujuan ia diciptakan. Cara menggunakan akal dan logika dalam Islam sudah diatur oleh Dzat yang memberinya. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila seorang hamba menyelisihi cara yang sudah Allah buat, tentu dia akan menyimpang.

Sedangkan orang beriman diperintahkan untuk menggunakan akalnya sesuai koridor yang telah Allah buat. Sehingga orang beriman, ketika bertambah pengetahuannya, akan semakin mendekat kepada Allah Ta’ala.

Dan di antara mensyukuri nikmat akal ini adalah dengan selalu mengupgrade diri dengan pengetahuan-pengetahuan baru.
Seorang muslim dituntut untuk terus menambah pengetahuan agamanya. Di lain sisi, ia juga harus terus menambah pengetahuan tentang sains dan intelektualitas. Orang yang bodoh tentang agamanya, maka akan tersesat di akhirat, dan siapa yang bodoh tentang intelektualitas dunia, dia akan hina di dunia.

Dikira Merdeka Malah Nestapa

Banyak orang mengira bahwa merdeka adalah ketika bisa berbuat sesukanya, atau melampiaskan kemauannya bagaimana saja tanpa menghiraukan rambu-rambu agama. Atau seperti cara pandang Barat yang menjunjung tinggi konsep freedom of thought atau kebebasan berpikir. Asal masuk akal, dan tidak merugikan yang lain, katanya. Padahal yang demikian itu adalah bentuk dari tawanan atau jajahan hawa nafsu mereka.

Ulama menyebutkan bahwa nafsu adalah rafiqatus syaithan, atau kendaraan setan. Nafsu cenderung mengajak kepada perbuatan yang buruk yang disukai setan. Apabila nafsu menginginkan suatu keburukan, maka setan datang menyuguhkan perangkatnya. Apabila nafsu terus diikuti, maka orang tadi akan sulit keluar dari menjadi tawanan.

Setiap hari akal dan nafsu berseteru untuk mendapatkan tempat pada manusia. Siapa yang menang, maka dia akan mengendalikan orang tersebut. Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jika pagi hari tiba, maka berkumpullah hawa nafsu, amal dan ilmu (akal) manusia. Jika dia berbuat mengikuti hawa nafsu, maka hari itu adalah hari yang buruk baginya. Dan jika dia berbuat dengan mengikuti ilmunya, maka hari itu adalah hari yang baik baginya.”

Penjajahan yang dilakukan nafsu dan syahwat adalah penjajahan yang lebih mengerikan daripada penjajahan fisik. Bila seseorang telah dijajah nafsunya, akalnya bisa lumpuh dan mati hatinya.

Salaf mengatakan, “Tuhan terburuk yang disembah manusia adalah syahwat (hawa nafsu).” (Nadhrotun Naim IX/3770). Artinya, orang yang menuruti syahwatnya berarti dia telah menjadi budak daripada nafsunya. Nafsu atau syahwat akan memperbudak manusia serendah-rendahnya. Memaksa manusia menaruh hormat kepada sesamanya, bukan kepada Allah Sang Pencipta. Membuat manusia saling berebut harta, bahkan rela saling menghabisi nyawa, asal dia bisa berjaya.

Maka tak heran, kita melihat meski bangsa Indonesia sudah merdeka, namun rakyatnya masih suka bertikai mengenai harta. Yang sudah kaya pun masih rakus, mencari remah-remah harta dari rakyat kecil. Bahkan tak asing, kita mendengar berita pembunuhan karena motif ingin menguasai harta.

Memerangi hawa nafsu adalah perjuangan hakiki, setelah memerangi kebodohan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


وَ اْلمُجاَهِدُ مَنْ جاَهَدَ نَفْسَهُ

“Dan (termasuk) mujahid adalah orang yang memerangi hawa nafsunya.” (HR Ibnu Majah dan An-Nasa’i).

Perjuangan ini lebih berat daripada memerangi penjajahan dan kolonialisme. Maka, bebasnya hati dari pengaruh hawa nafsu dan setan akan lebih berarti daripada bebasnya jiwa dari perbudakan dan jajahan. Terkekangnya jiwa dalam jajahan, hanya berakibat pada lukanya fisik atau jasmani. Akan tetapi, terkekangnya jiwa pada nafsu akan mengakibatkan luka jasmani dan ruhani, dan berakibat sampai akhirat.

Ketika seseorang mampu menaklukan hawa nafsunya, maka ia menjadi manusia merdeka sesungguhnya. Meskipun dirinya budak sekalipun, atau kebebasan raganya tidak sempurna. Sebagaimana Nabi Yusuf, bisa saja ia lampiaskan hawa nafsunya pada permaisuri raja Mesir kala itu, namun ia memilih melawannya, meski kebebasan menjadi taruhannya. Akibatnya, ia dimasukkan ke dalam penjara.

Atau seperti Zaid bin Haritsah, shahabat Nabi dari seorang budak, yang saat itu keluarga besarnya datang kepada Nabi untuk menebusnya agar jadi manusia merdeka. Namun, Zaid memilih bersama Nabi. Karena Zaid tahu bahwa hidup bersama Nabi akan mendatangkan banyak kebaikan, dan bisa mengontrol hawa nafsunya. Meski tetap berstatus budak.

Semoga momen menuju dirgahayu Republik Indonesia ke 79 ini memacu kita menjadi jiwa merdeka, yaitu jiwa yang semangat menambah ilmu, terutama ilmu agama. Sebagai upaya untuk membentengi diri dari tawanan hawa nafsu. Dan semangat untuk meningkatkan intelektualitas kita sebagai bekal memajukan negeri ini. Wallahul Muwafiq.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *