Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Dari peristiwa Perang Fijar, kaum Quraisy merasa betapa sudah lemah dan jatuh kedudukan mereka di hadapan kabilah-kabilah Arab. Kelemahan ini karena kerakusan mereka dalam berebut pengaruh dan kekuasaan. Oleh karena itu, atas anjuran Zubair bin Abdul Mutthallib, diadakanlah pertemuan antara Bani Hasyim, Bani Al-Mutthallib, Bani Zuhrah, dan Bani Taym di rumah Abdullah bin Jud‘an. Di sana mereka berjanji dan bersepakat akan membela orang yang teraniaya sampai ia mendapatkan haknya. (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm, 78-79) Perjanjian itu dinamakan Hilful Fudhul.
Penyebab terjadinya Hilful Fudhul adalah karena seorang dari kabilah Zubaid di Yaman datang ke Makkah bersama barang dagangannya. Ia menjualnya kepada Al-‘Ash bin Wail As-Sahmi. Akan tetapi, Al-‘Ash tidak mau membayarnya. Orang Zubaid tadi melaporkannya kepada tokoh-tokoh Quraisy, namun tidak ada yang mau menolongnya. Ia pun naik ke gunung Abi Qubais. Ia berteriak supaya haknya dikembalikan. Akhirnya bangkitlah Az-Zubair bin Abdul Muththalib. Ia berkata, “Orang seperti itu tidak mungkin dibiarkan terdzalimi.” Kemudian berkumpulah Bani Hasyim, Bani Al-Mutthallib, Bani Zuhrah, dan Bani Taym bin Murrah, di rumah Abdullah bin Jud‘an. Mereka bersumpah untuk bersatu padu bersama orang yang terdzalimi itu hingga haknya dikembalikan.
Kaum Quraisy mendengar perjanjian itu dan berkata, “Sungguh, mereka telah masuk dalam sebuah perkara yang mulia (Al-Fudhul).” Mereka akhirnya menemui Al-‘Ash bin Wail dan mengambil dengan paksa harta milik orang Zubaid, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadiri perjanjian itu. Beliau bersabda saat mengenang peristwa tersebut, “Dulu aku pernah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud‘an sebuah perjanjian yang lebih aku cintai daripada seekor unta berwarna merah. Seandainya aku diajak dalam perjanjian yang sama dalam Islam, niscaya aku akan bergabung.” (Sirah Ibnu Hisyam, 1/134).
Menurut pendapat lain, perjanjian itu disebut Hilful Fudhul karena para tokoh utama yang terlibat di dalamnya bernama Al-Fadhl. Mereka adalah Al-Fadhl bin Wada‘ah, Al-Fadhl bin Qudha‘ah, Al-Fadhl bin Syura‘ah, dan Al-Fadhl bin Qadhalah. (Khalid bin Mahmud Al-Juhani, Is‘ad Al-Bariyyah bi Syarh Al-Khulashah Al-Bahiyyah fî Tartib Ahdats As-Sirah An-Nabawiyyah, hlm. 45).
Hilful Fudhul juga sering disebut Hilful Muthayyibin, artinya perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang yang mengenakan wewangian. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Dulu ketika masih remaja, aku pernah ikut menghadiri Hilful Muthayyibin bersama paman-pamanku. Aku tidak ingin membatalkan perjanjian itu meskipun diberi unta berwarna merah.”
Dinamakan demikian karena pihak yang dulu pernah mengadakan Hilful Muthayyibin itulah yang kemudian mengadakan Hilful Fudhul. Hilful Muthayyibin terjadi ketika Bani Abdi Manaf terlibat perselisihan dengan Bani Abdid Dar mengenai hak rifadah (memberi makan para peziarah) dan siqayah (memberi minum para peziarah) di Makkah. (Is‘ad Al-Bariyyah, hlm. 45).
Pelajaran Penting
Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa Hilful Fudhul. Pertama, Hilful Fudhul menjadi bukti bahwa meskipun penduduk Makkah adalah penyembah berhala dan berakhlak tercela, namun di kalangan mereka masih ada orang baik yang berusaha membela orang yang didzalimi dari pihak yang mendzaliminya walau harus terjadi perang. Kedua,Islam tidak menyukai kedzaliman dalam bentuk apa pun dan kepada siapa pun. Islam senantiasa membela pihak yang didzalimi tanpa peduli apa pun bangsa dan agamanya.
Ketiga, keadilan adalah nilai multak; bukan nilai relatif. Oleh karena itu, Nabi menunjukkan harga dirinya untuk berpartisipasi dalam memperkenalkan prinsip keadilan dua dekade sebelum beliau diutus sebagai nabi. Nilai-nilai positif layak mendapat pujian meskipun bersumber dari masyarakat jahiliyah.
Keempat, pentingnya berbuat adil dalam Islam dan membela orang-orang yang didzalimi. Hal ini terlihat jelas dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sebuah perjanjian yang lebih aku cintai daripada seekor unta berwarna merah.” Juga sabda beliau, “Seandainya aku diajak dalam perjanjian yang sama dalam Islam, niscaya aku akan bergabung.”
Kelima, boleh mengadakan kesepakatan dan perjanjian untuk melakukan kebaikan. Hal ini masuk dalam kandungan Ayat Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhoan dari Tuhannya. Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(QS. Al-Maidah: 2).
Keenam, seorang Muslim harus berani membela orang yang didzalimi meskipun hal itu menyebabkan terjadinya perang.