Home / Artikel / Tazkiyatun Nafs / Hati Seperti Bolam Lampu

Hati Seperti Bolam Lampu

Loading

Oleh: Bima Setya Dharma

Dalam kehidupan seorang muslim, ilmu memiliki peranan yang sangat penting. Ilmu tidak hanya sebagai penerang dalam menjalani kehidupan dunia, tetapi juga sebagai bekal menuju akhirat. Hati seorang mukmin ibarat seperti sebuah bolam lampu. Sebagaimana lampu yang bersih akan memancarkan cahaya yang terang. Tetapi ketika lampu kotor penuh dengan debu, maka cahaya di dalam lampu akan cenderung redup dan tidak bisa dipakai di dalam kegelapan.

Demikian pula hati yang bersih. Seseorang berilmu dan memiliki hati yang bersih akan bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, memberikan petunjuk, menuntun ia untuk selalu menjalankan kebaikan dan menjauhi keburukan. Tetapi ketika hatinya kotor, maka ilmu yang ia miliki tidak akan berarti baginya. Ia akan sulit dalam mengamalkannya, bahkan kesulitan dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Hati dapat menjadi kotor karena banyak hal, dan hal yang paling utama dalam menyebabkan hati seseorang menjadi kotor adalah dosa. Setiap kali kita melakukan dosa, meskipun kecil, noda hitam akan menutupi hati kita. Jika dosa-dosa ini tidak segera dihapuskan, hati akan semakin gelap dan sulit menerima kebenaran dan mengamalkannya. Pernyataan tegas ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Muhammad Muflih Syamsuddin Al-Muqdisi (wafat 763 H), dalam salah satu kitabnya:

إنَّ الْعَبْدَ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ثُمَّ إذَا أَذْنَبَ نُكِتَ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَبْقَى أَسْوَدَ مُرْبَدًّا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا.

“Sungguh apabila seorang hamba melakukan dosa, maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam. Kemudian jika melakukan dosa (kembali), maka akan ditulis dalam hatinya sebuah titik hitam, sampai (hatinya) tersisa menjadi hati hitam selamanya. Ia tidak akan mengetahui kebenaran, ia juga tidak akan ingkar pada kemungkaran.” (Syamsuddin Al-Muqdisi, Al-Adabusy Syar’iyah, [Darul ‘Alam: 1999], juz I, halaman 188).

Ketika orang tersebut bertaubat dan beristighfar, maka titik hitam pada hatinya akan dihapus. Tetapi ketika ia terus berbuat dosa, maka akan ditambah titik hitam pada hatinya sampai menutup seluruh hatinya. Sehingga, tidak mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil, walaupun ia sudah memiliki ilmunya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Muthaffifin ayat 14:

كَلَّا بَلْ ۜ رَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Sekali-kali tidak! Bahkan, apa yang selalu mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin: 14).
Dan itulah akibat ketika seseorang banyak melakukan maksiat dan tidak kunjung bertaubat. Padahal sejatinya seseorang dikatakan berilmu ketika dia bertaqwa kepada Allah, bukan hanya sekedar dia diakui akan ilmu yang dimiliki atau agar dikatakan sebagai orang yang cerdas, alim atau shalih. Sebagaimana bait syair yang diungkapkan oleh Abu Ishaq Al-Ilbirri:

فَرَأسُ العِلمِ تَقوى اللَهِ حَقّاً
وَلَيسَ بِأَن يُقال لَقَد رَأَستا

Puncak ilmu pada hakikatnya ialah taqwa kepada Allah, bukan agar kau dikatakan telah memiliki kedudukan yang tinggi.
Ungkapan ini menekankan bahwa seseorang dikatakan berilmu apabila ilmu yang ia miliki membuat dirinya semakin bertaqwa kepada Allah. Bukan ketika ia memiliki gelar, kedudukan, dan sebagainya. Karena gelar dan kedudukan tidak bisa menunjukkan bahwa apa yang ia miliki benar-benar bermanfaat baginya atau tidak.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تعالى لَا ينظرُ إلى صُوَرِكُمْ وَأمْوالِكُمْ ، ولكنْ إِنَّما ينظرُ إلى قلوبِكم وأعمالِكم

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.”

Allah tidaklah melihat banyak sedikitnya harta yang kita miliki, tinggi rendahnya jabatan dan gelar yang kita miliki, dan baik buruknya fisik yang kita miliki. Akan tetapi, Allah melihat kondisi hati kita, bagaimana ketaqwaan kita kepada Allah dan bagaimana ketaqwaan itu membuahkan hasil berupa ketaatan kepada-Nya.

Oleh karena itu, membersihkan hati harus menjadi prioritas dalam proses menuntut ilmu. Dengan menjaga kebersihan hati dari dosa, Insyaa Allah hati kita akan senantiasa terang dan mampu membedakan antara yang haq dan yang bathil, sehingga kita dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik dan dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *