Oleh: Bima Setya Dharma
Salah satu cara praktis untuk dapat memperkuat keimanan kita adalah dengan banyak-banyak membaca Al-Qur’an. Bahkan, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani dalam kitabnya Tukhfatul Ikhwan bi Syarhi Syu’bil Iman menegaskan bahwa membaca Al-Qur’an, berdzikir dan berdoa merupakan salah satu bagian dari 77 cabang iman. Dimana membaca Al-Qur’an bukan hanya tugas bagi para ulama atau orang-orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi, namun merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Karenanya, kita harus melihat kepada diri kita masing-masing. Seperti apakah keimanan kita kepada Al-Qur’an, seberapa banyak kita membaca Al-Qur’an? Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang jarang membaca Al Quran, atau hanya membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan saja, atau bahkan hanya membeli Al-Qur’an sebagai pajangan saja di dalam rumah. Padahal, Al-Qur’an adalah surat cinta dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang di dalamnya terdapat pesan-pesan penting dari Allah.
Padahal pula, salah satu sifat seorang mukmin adalah ketika dibacakan Al-Qur’an akan bertambah keimanannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 2:
وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا
“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya.”
Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka akan bertambah kuat keimanan dan keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an, bertambah rasa tunduk terhadap Allah, semakin semangat dalam menjalankan amal shalih, serta bertambahnya keluasan ilmu yang mereka miliki.
Ketika kita memperhatikan ayat tadi, akan kita dapati bahwasanya keimanan akan selalu meningkat tatkala kita mendengar ayat Al-Qur’an dan akan lebih meningkat lagi ketika kita sendiri yang membaca Al-Qur’an. Dengan syarat, jika kita adalah termasuk orang mukmin dengan sebenar-benarnya iman. Meyakini dan membenarkan apa-apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Ada empat golongan manusia dengan Al-Qur’an sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
«مثَلُ المؤمن الذي يقرأ القرآن مَثَلُ الأُتْرُجَّةِ: ريحها طيب وطعمها طيب، ومَثَل المؤمن الذي لا يقرأ القرآن كمَثَلِ التمرة: لا ريح لها وطعمها حُلْوٌ، وَمَثل المنافق الذي يقرأ القرآن كمثل الريحانَة: ريحها طيب وطعمها مُرٌّ، وَمَثَل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحَنْظَلَةِ: ليس لها ريح وطعمها مُرٌّ
“Orang beriman yang membaca Al-Qur’an diibaratkan seperti buah atrujjah yaitu buah yang wangi dan manis. Dan perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma yang tidak memiliki bau dan rasanya manis, dan perumpamaan orang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti buah raihaanah yang baunya wangi dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah handzolah yang tidak memiliki bau dan rasanya pahit.”
Yang pertama adalah orang mukmin yang selalu membaca Al-Qur’an diumpamakan seperti buah atrujjah yang ketika dipandang kita sudah mendapatkan nikmatnya dari bentuknya yang indah, warnanya yang cantik, baunya yang enak, dan ketika disentuh sudah merasakan tekstur yang indah di kulit. Dan ketika dimasukkan ke mulut akan terasa kenikmatan dari buah tersebut.
Seorang mukmin yang dikatakan seperti buah ini adalah orang yang hatinya bersih. Yang istirahatnya dengan membaca Al-Qur’an, yang istirahatnya dengan mendengarkan Al-Qur’an, dengan mentadaburi dan mempelajari isinya. Yang kemudian ketika membaca Al-Qur’an, dia akan mendapat manfaat dari segi keimanan dan pemahaman. Bahkan, orang yang mendengarkannya juga mendapatkan manfaat. Berinteraksi dengan Al-Quran sejatinya adalah ibadah.
Kemudian yang kedua, orang yang tidak suka membaca Al-Qur’an digambarkan seperti buah yang rasanya manis namun tidak wangi. Kenikmatan buah ini hanya bisa dirasakan setelah ia memakannya, namun ia tidak merasakan harum dari buah tersebut. Seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah tersebut. Di dalam hatinya ada manisnya Islam dan iman, namun ia tidak membaca Al-Qur’an sehingga orang lain akan mendapat manfaat dari mendengarkan bacaannya sebagaimana buah tersebut yang tidak bisa dinikmati baunya.
Selanjutnya yang ketiga, orang munafiq yang suka membaca Al-Qur’an digambarkan seperti buah yang aromanya wangi namun rasanya pahit. Orang-orang mendapatkan manfaat dari bacaannya yang indah. Tetapi, orang itu adalah orang munafiq yang di dalam hatinya kufur kepada Al-Qur’an. Sebagaimana buah tersebut yang bisa dinikmati dari baunya, tetapi ketika dimakan rasanya pahit.
Terakhir yang keempat, yaitu orang munafiq yang tidak suka membaca Al-Qur’an. Digambarkan seperti buah yang tidak beraroma dan rasanya juga pahit. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah membaca Al-Qur’an sehingga tidak bisa diambil manfaatnya, dan di dalam hatinya juga tidak memiliki keimanan. Sebagaimana buah tersebut yang tidak bisa diambil manfaat dari baunya dan tidak bisa dinikmati dari rasanya karena rasanya yang pahit.
Itulah empat permisalan yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Ada yang seperti buah yang manis dan nikmat seperti orang yang beriman dan suka membaca Al Qur’an. Ada yang seperti buah yang tidak berbau tetapi rasanya manis, maka ini seperti orang yang beriman tetapi tidak pernah membaca Al Qur’an. Ada yang seperti buah yang pahit tetapi wangi, maka ini adalah seperti orang munafiq yang di dalam hatinya ada kekufuran namun ia suka membaca Al-Qur’an dan memperindah bacaannya. Dan yang terakhir seperti buah yang pahit dan tidak berbau, yaitu orang yang di dalam hatinya tidak ada keimanaan dan tidak pernah membaca Al Qur’an. Maka dari empat tersebut kita bisa bercermin, termasuk yang manakah kita dari empat kelompok tersebut?