Empat Cabang Kebaikan

Loading

Barangkali orang bisa terpikat dengan kita setelah kita beri harta. Namun bisa jadi setelah kita tak lagi memberi, orang hilang simpati. Sementara itu, harta kita terbatas, tak mungkin bisa memberi setiap manusia. Akan tetapi, ada satu amalan yang membuat simpati dan kita pun tak perlu modal harta, yaitu berakhlak mulia. Akhlak adalah modal penyambung hati antara kita dengan sesama, yang bisa kita lakukan kapan saja kepada siapa saja, dan tak akan habis walau diterpa masa. Rasulullah berpesan:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Sesungguhnya kalian tidak bisa memikat hati seluruh manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa memikat hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bazzar).

Akhlak bagi diri seorang muslim ibarat bunga pada tumbuhan dan pepohonan. Selain menghiasi juga memberikan aroma wangi dan memberikan kesan indah untuk dipandang.

Orang yang baik akhlaknya, dialah yang dicintai Nabi dan kelak akan mendapatkan kedudukan paling dekat dengan beliau di Syurga. Akhlak yang baik juga menjadi modal utama seseorang masuk ke Syurga. Bahkan bukan hanya modal untuk masuk Syurga, tapi juga untuk mendapatkan tiket Syurga yang paling tinggi derajatnya.

Ketika Rasulullah ditanya, apa yang paling banyak menyebabkan orang masuk Syurga?, beliau bersabda, “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.”

Ibnul Qayyim menjelaskan mengapa Rasulullah menyandingkan ketaqwaan dengan akhlak yang baik sebagaimana tersebut di atas, “Rasulullah mengaitkan antara taqwa kepada Allah dengan akhlak yang baik, karena taqwa memperbaiki hubungan hamba dengan Rabb-nya, sedangkan akhlak yang baik membaguskan hubungan manusia dengan sesamanya. Siapa yang bertaqwa pasti akan dicintai Allah, dan siapa yang berakhlak baik, akan mengundang kecintaan Allah padanya.” (Al-Fawaid: 54).

Memiliki akhlak yang baik juga menjadi barometer keimanan seseorang. Ulama berkata, “Siapa yang bertambah baik akhlaknya, bertambah baik pula agamanya.” Maka ketika semakin bagus agama seseorang, tentu akan semakin baik pula perlakuannya kepada sesamanya. Sebaliknya, semakin buruk agama seseorang, semakin gegabah dan buruk tingkah lakunya kepada sesamanya.

Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan dalam Jamiul Ulum wal Hikam bahwa adab dan akhlak yang baik itu bercabang dari empat hadits, yaitu:

Pertama,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka hendaknya berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari). Lalu,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi). Lalu,

لاَ تَغْضَبْ

“Jangan marah!” (HR. Bukhari). Dan,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه

“Tidak beriman secara sempurna seseorang hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menjaga Lisan

Salah satu akhlak utama yang hendaknya dimiliki seorang muslim adalah menjaga ucapannya. Berapa banyak hati yang terluka akibat seuntai kata yang keluar dari mulut kita.

Ketika menjelaskan hadits, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah hendaknya berkata baik atau lebih baik diam,” Imam nawawi dalam Syarh Muslim berkata:

Kepada semua orang muslim hendaknya menjaga lisannya dari segala macam ucapan, kecuali benar-benar nyata maslahatnya.

Maka kapan saja seseorang mengetahui bahwa perkataannya tidak ada maslahatnya, hendaknya diam. Karena berapa banyak perkataan mubah yang mengantarkan kepada yang makruh bahkan yang haram. Hal itu sering terjadi di hari-hari kita. Maka siapa yang mampu menahan lisannya dialah yang selamat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang diam, dia akan selamat.” (HR. Tirmidzi).

Sebagaimana Abdullah bin Masud suatu ketika naik ke bukit Shafa lalu beliau memegang lisannya seraya berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik, kamu akan beruntung. Dan diamlah dari segala keburukan, kamu akan selamat. Sebelum nantinya kamu akan menyesalinya.”

Menjauhi Perkara Sia-sia

Hadits kedua mengingatkan kita agar tidak berlebihan dalam apa saja, kecuali bila ada manfaatnya. Tidak berlebihan bicara, bercanda, mendengar obrolan manusia dan apa saja yang tidak ada manfaatnya.

Ketika Ali Radhiyallahu ‘anhu menggambarkan perangai Rasulullah, beliau berkata, “Beliau bersedih atas barang seucap kata yang tidak ada manfaatnya.”

Bila kita renungkan, berapa ribu kata terucap setiap hari yang tidak ada manfaatnya. Berapa kosakata yang bukan untuk berdzikir kepada Allah, dan berapa banyak waktu kita terbuang sia-sia untuk hal-hal yang tidak ada manfaat untuk dunia maupun akhirat.

Terapi dari berbuat sia-sia ini adalah merasa malu pada Allah. Kalau kita malu pasti tidak membiarkan waktu berlalu tanpa ada gunanya. Karena itu Rasulullah senantiasa berpesan, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu; yaitu dengan menjaga kepala dan apa yang ada padanya (mata, mulut dan telinga), memelihara perut (dari makanan haram), serta senantiasa mengingat kematian. Siapa yang telah melakukan itu semua sungguh telah malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.”

Mencegah Amarah

Nabi berpesan, “Jangan marah!” Ketika seorang sahabat mendengar pesan tersebut beliau pun mendapat kesimpulan, ”Aku renungi wasiat Nabi, ‘jangan marah!’ Dan kudapati bahwa pada amarah itu menyandang seluruh keburukan.”

Ya, marah adalah biang dari kerusakan. Berapa banyak keburukan lahir dari amarah sesaat. Mulai dari menghina, merendahkan hingga menghilangkan nyawa. Semua dosa bisa terjadi bermula dari sini.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan bahwa di antara akar dosa adalah thaatul quwwah al-ghadhabiyah, memperturutkan dorongan amarah. Dan buah paling buruk dari akar ini adalah dosa besar membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat. Sebagaimana banyak kasus pembunuhan yang dilakukan selain karena perampokan adalah disebabkan karena amarah yang tak terkendali. Dan masih banyak lagi dosa-dosa dan kedzhaliman yang terjadi disebabkan oleh amarah.

Maka orang terkuat bukanlah yang pandai gulat, melainkan yang piawai menahan amarahnya padahal mampu untuk melampiaskannya. Pahalanya pun besar. Kelak di Syurga akan dipilihkan bidadari yang paling dia sukai.

Mencintai Sesama

Rasulullah mengingatkan kita semua agar saling mencintai dan saling bersaudara. Saling mengesampingkan ego, rasa ghil, bangga diri, iri dan dengki. Karena banyak permusuhan terjadi lantaran saling iri dan dengki. Saling berbangga diri dan mengedepankan ego sendiri. Maka Islam mencegah potensi permusuhan dengan anjuran untuk saling mencintai.

Siapa yang mampu menjaga dirinya dari semua penyakit tadi, dan saling mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri, dia pantas mendapat jaminan Syurga.

Rasulullah bertanya kepada Yazid bin Ahmad, “Wahai Yazid, apa kamu suka bila dimasukkan ke dalam Syurga?” Beliau jawab, “Tentu ya Rasulullah,” lalu Rasulullah bersabda, “Kalau demikian, cintailah saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri.” Beliau bersabda juga, “Cintailah apa yang ada pada manusia, sebagaimana kamu cinta bila itu ada pada dirimu.”

Manusia senang dengan kebaikan yang datang pada dirinya. Senang dengan lapangnya rezeki, mudahnya memperoleh pekerjaan, hangatnya hubungan dengan keluarga, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Maka salah satu ciri orang yang baik akhlaknya adalah manakala merasa senang apabila kebaikan tadi juga hadir untuk saudaranya, bukan sebaliknya, merasa susah dan gelisah saat melihat saudara diberi nikmat, naudzubillah. Semoga Allah melestarikan kebaikan pada diri kita dan pada saudara-saudara kita. Aamiin.

Ditulis Oleh: Ustadz Nurdin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *