Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Setelah meninggalnya ibunda Aminah, Nabi Muhammad kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththallib. Sang kakek mencurahkan kasih sayangnya kepada cucunya yang kini yatim piatu. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih dan sayang yang tidak pernah dirasakannya sekalipun terhadap anak-anaknya sendiri. Ia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Ia bahkan lebih mengutamakan cucunya daripada anak-anaknya.
Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka‘bah untuk Abdul Muththallib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththallib keluar ke sana. Tidak seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan tersebut sebagai penghormatan kepada dirinya. Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang saat itu masih kecil duduk di atas dipan tersebut. Paman-pamannya langsung memegang dan menahannya agar tidak duduk di atas dipan. Tatkala Abdul Muththallib melihat kejadian ini, ia berkata, “Biarkanlah cucuku ini. Demi Allah, sesungguhnya ia akan memiliki kedudukan yang agung.” Kemudian Abdul Muththallib duduk bersamanya di atas dipan tadi sambil mengelus punggung cucunya. Ia senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang dilakukan Nabi Muhammad.
Pada usia delapan tahun dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah, sang kakek meninggal dunia dalam usia 80 tahun. Menjelang wafat, Abdul Muththallib berwasiat agar sepeninggalnya nanti pengasuhan sang cucu dilanjutkan oleh Abu Thalib. (Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, Beirut: Maktabah ‘Ashriyah, hlm. 48).
Di Bawah Asuhan Abu Thalib
Nama asli Abu Thalib adalah Abdul Manaf. Ia adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththallib. Ibu mereka adalah Fathimah binti Amr bin ‘Aidz. Mengapa Abu Thalib yang dipesan oleh Abdul Muththallib supaya memelihara dan mengasuh Nabi Muhammad? Abu Thalib padahal bukanlah anak Abdul Muththallib yang tertua dan bukan pula anak yang terkaya. Anak Abdul Muththallib yang tertua adalah Harits dan anaknya yang terkaya adalah Abbas. Abu Thalib bahkan adalah anak Abdul Muththallib yang paling miskin.
Abdul Muththallib memberi wasiat kepada Abu Thalib adalah dengan kebijaksanaan, bukan dengan serampangan. Ia tahu siapa di antara anak-anaknya yang dapat memelihara dan mengasuh cucunya tersayang apabila ia telah meninggal dunia. Meskipun Abu Thalib bukan anak Abdul Muththalib yang tertua dan terkaya, tetapi ia lebih disegani dan dihormati oleh segenap keluarga bangsa Quraisy. Hal itu karena Abu Thalib berbudi luhur dan berperangai mulia. Oleh sebab itu, sepeninggal Abdul Muththallib, Nabi berada di bawah asuhan dan pengawasan Abu Thalib. (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm. 74).
Abu Thalib memelihara Nabi Muhammad dengan penuh kasih sayang dan penuh perhatian. Harta yang dimiliki Abu Thalib waktu itu sedikit, tetapi berkat adanya Muhammad akhirnya Allah Subhanahu wa Ta‘ala melimpahkan keberkahan pada hartanya. Selama dalam pemeliharaan Abu Thalib, Muhammad merupakan teladan yang paling baik. Ia bersikap qana‘ah (menerima apa adanya) dan jauh dari perbuatan rendah yang biasa dilakukan oleh kebanyakan anak seusia dengannya. Demikianlah yang diceritakan oleh pengasuhnya, Ummu Ayman. Apabila saat makan tiba, anak-anak lainnya datang melahap makanan yang ada, sedangkan Muhammad tetap tenang dan menerima apa adanya. (Muhammad Al-Khudhari Bek, Nurul Yaqiin, Bandung: Sinar Baru Algensindo, hlm. 11).
Abu Thalib memelihara dan mendidik Muhammad sesempurna mungkin. Nabi Muhammad dipandang sebagai anaknya sendiri, bahkan lebih diutamakan, dihormati dan dihargai. Selama lebih dari 40 tahun, Abu Thalib memberikan perlindungan kepadanya. Ia bersahabat dan berlawan dengan orang lain demi perlindungan dan pembelaan yang diberikan kepada Muhammad. (Muhammad Al-Ghazali, Fiqhus Sirah, Bandung: PT Al-Ma‘arif, hlm. 113).
Pelajaran Penting
Bukan suatu kebetulan jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan dalam keadaan yatim. Kemudian tidak lama kehilangan kakeknya juga sehingga pertumbuhan pertama kehidupannya jauh dari asuhan bapak dan tidak mendapat kasih sayang dari ibunya.
Allah telah memilihkan pertumbuhan ini untuk Nabi-Nya karena beberapa hikmah. Di antaranya adalah agar musuh Islam tidak mendapatkan jalan untuk memasukkan keraguan ke dalam hati, atau menuduh bahwa Muhammad telah mempelajari urusan dakwah dan risalahnya semenjak kecil dengan bimbingan dan arahan dari bapak dan kakeknya. Sebab, Abdul Muththallib adalah seorang tokoh di antara kaumnya. Kepadanyalah tanggung jawab memberikan jamuan makan dan minum kepada para hujjaj diserahkan. Adalah wajar apabila seorang kakek atau bapak membimbing dan mengarahkan cucu atau anaknya kepada “warisan” yang dimilikinya.
Hikmah Allah telah menghendaki agar musuh-musuh Islam tidak menemukan jalan kepada keraguan seperti itu sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari tarbiyah (asuhan dan pendidikan) dari bapak, ibu, dan kakeknya. Bahkan masa kanak-kanaknya yang pertama, sesuai dengan kehendak Allah, harus dijalani di kampung Bani Sa‘ad, jauh dari keluarganya. Ketika kakeknya meninggal, ia berpindah ke asuhan pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai tiga tahun sebelum hijrah. Sampai akhir kehidupannya, pamannya tidak pernah menyatakan diri masuk Islam. Ini juga termasuk hikmah lain agar tidak muncul tuduhan bahwa pamannya memiliki “saham” di dalam dakwahnya dan bahwa persoalannya adalah persoalan kabilah, keluarga, kepemimpinan, dan kedudukan.
Demikianlah hikmah Allah menghendaki agar Rasul-Nya tumbuh sebagai yatim, dipelihara oleh pertolongan Allah semata, jauh dari tangan-tangan yang memanjakannya dan harta yang akan membuatnya hidup dalam kemegahan agar jiwanya tidak cenderung kepada kemewahan dan kedudukan. Demikian juga, agar tidak terpengaruh oleh arti kepemimpinan dan ketokohan yang mengitarinya sehingga orang-orang akan mencampuradukkan kesucian nubuwwah dengan kemegahan dunia, dan agar orang-orang tidak menuduhnya telah mendakwahkan nubuwwah demi mencapai kemegahan dunia. (Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, hlm. 31-32).