Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

“Tidak dapat disangkal lagi, abad ke 6 dan ke 7 M adalah periode sejarah yang paling suram. Nilai kemanusian telah merosot hebat sejak berabad-abad dan semakin hari semakin cepat meluncur menuju titik kehancuran. Tidak ada satu pun kekuatan di atas muka bumi ini yang mampu menyelamatkannya dari kebinasaan. Pada abad-abad itu, manusia telah lupa kepada Sang Penciptanya; lupa diri dan lupa harus ke mana kembali. Pertimbangan akalnya telah hilang. Tidak mampu lagi membedakan mana yang baik dan mana yang jahat serta mana yang buruk dan mana yang bagus. Dakwah para nabi pun telah lenyap tidak berbekas.” Demikian Abul Hasan Ali An-Nadwi menggambarkan keadaan dunia sebelum datangnya dakwah Islam dalam kitabnya Madza Khasira Al-‘Alam bi Inhithath Al-Muslimin, hlm. 29.

Zaman itu adalah zaman puncak kemerosotan akhlak. Oleh karena itulah, Rasulullah Muhammad diutus. Beliau bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”  (HR. Bukhari).

Bobroknya Akhlak Masyarakat Jahiliyah

Salah satu informasi umum yang sangat memadai tentang kebobrokan akhlak masyarakat jahiliyah adalah uraian shahabat Ja‘far bin Abi Thalib di hadapan Najasyi ketika rombongan kaum Musyrik Makkah datang untuk menuntut agar Najasyi mengembalikan kaum Muslim yang berhijrah ke Habasyah.

Ja‘far berkata, “Wahai Raja. Kami tadinya adalah kaum yang bersikap picik (jahiliyah). Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan tindakan cabul dan perzinaan, memutus hubungan silaturrahmi, bersikap buruk pada tetangga, dan pihak yang kuat di antara kami menerkam pihak yang lemah.”

Gambaran mengenai akhlak jahiliyah bangsa Arab pra-Islam juga disampaikan oleh shahabat Abdullah Ibnu Abbas. Ia mengatakan, “Jika engkau ingin mengetahui kejahiliyahan orang-orang Arab, maka bacalah ayat 130 ke atas dari surat Al-An‘am.”(HR. Bukhari). Ayat-ayat yang dimaksud menggambarkan antara lain sikap orang Arab yang membedakan perlakuan pria dan wanita, bukan hanya dalam hal makanan atau menunggang binatang, tetapi lebih dari itu, mereka bersedih bila memperoleh anak perempuan, bahkan sebagian mereka mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka.

Di sisi lain, setiap anggota suku sangat kuat mempertahankan tradisi sukunya lagi patuh terhadap ketentuan-ketentuannya. Masing-masing berbangga dengan kesukuannya.

“Bantulah saudaramu sesuku baik ia berbuat dzalim atau dalam posisi didzalimi.” Demikian semboyan mereka. Tidak jarang mereka menantang suku lain untuk menunjukkan keunggulan atau kekayaannya dan pengikutnya.

Sekelompok Bani Tamim sebanyak tujuh puluh orang pernah berteriak di siang hari dari luar kamar Nabi meminta agar beliau menemui mereka. Mereka mengatakan, “Kami datang untuk beradu keunggulan denganmu. Biarlah kami memperdengarkan kepadamu penyair dan penceramah kami.”

Nabi mengizinkan mereka, lalu menugaskan shahabat dan penyair Muslim, Hassan bin Tsabit, untuk melayani tantangan mereka. Peristiwa ini dicatat oleh para ulama sebagai sebab turunnya ayat:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِن وَرَآءِ ٱلْحُجُرَٰتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا۟ حَتَّىٰ تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti. Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu adalah lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang.” (QS. Al-Hujurat: 4-5).

Tradisi Menenggak Minuman Keras

Masyarakat jahiliyah sangat suka menenggak minuman keras dan berfoya-foya. Sedemikian mendarah daging minum-minuman keras di kalangan mereka, sampai-sampai Al-Qur’an melakukan penahapan-penahapan dalam pengharamannya. Dimulai dengan menyinggung keburukannya (QS. An-Nahl: 67), disusul dengan menegaskan bahwa keburukannya lebih banyak daripada manfaatnya (QS. Al-Baqarah: 219). Selanjutnya, setelah berlalu sekian lama, baru datang larangan untuk tidak bermabuk-mabukan menjelang shalat (QS. An-Nisa’: 43). Setelah mereka terbiasa dengan ini, barulah turun larangan total yang mengharamkan minuman keras dan segala yang memabukkan (QS. Al-Maidah: 90-91).

Ada di antara mereka yang berdalih bahwa dengan menenggak minuman keras dan berjudi, mereka terdorong untuk lebih dermawan. Oleh karena itu, mereka menamai anggur sebagai karam (كرم) yang berarti kedermawanan dan perjudian sebagai maisir (ميسر) yang diartikan kemudahan. Maksudnya, dengan keberuntungan dalam perjudian menjadi mudah bagi mereka untuk menyumbang. Al-Qur’an mengakui bahwa ada sisi baik dari minuman keras dan perjudian. Sisi baik itu antara lain adalah kedermawanan. Akan tetapi, sisi buruknya lebih banyak. Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu, wahai Muhammad, tentang minuman keras dan perjudian. Jawablah bahwa pada keduanya terdapat dosa keburukan yang besar dan ada juga manfaat-manfaatnya. Tetapi dosa keburukannya lebih besar daripada manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219). Oleh karena itu pula, Nabi melarang mereka menamai anggur dengan karam. (Disadur dari M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, hlm. 102-106)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *