
Oleh: Bima Setya Dharma
Segala nikmat yang kita rasakan dalam hidup ini sejatinya datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun rezeki, kesehatan, keluarga, atau keberhasilan yang kita miliki kecuali itu adalah pemberian-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
“Segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah. Kemudian, apabila kamu ditimpa kemudaratan, kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl: 53).
Ayat ini menegaskan bahwasanya setiap nikmat, besar maupun kecil, adalah karunia dari Allah. Kita sebagai hamba-Nya harus mensyukuri atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua, dengan cara menggunakan kenikmatan itu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.Sehingga, semakin bertambahnya nikmat akan mengakibatkan semakin tinggi tingkat ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi, ketika nikmat itu tidak disyukuri dan malah menjauhkan dirinya dari Allah, maka berhati-hati lah karena itu bisa menjadi istidraj.
Disebutkan dalam Shahihul Jami’, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَاعْلَمْ أَنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Apabila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba apa yang ia sukai, padahal ia tetap terus-menerus dalam kemaksiatan, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidraj.” (HR. Ahmad).
Istidraj adalah keadaan ketika Allah Subhanahu wa Ta’alamemberikan banyak kenikmatan kepada seseorang, sementara ia tetap bergelimang di dalam maksiat dan jauh dari jalan-Nya. Dari luar, nikmat itu terlihat seperti pemberian besar, berupa harta yang berlimpah, kedudukan yang tinggi, diberi kesehatan, atau kesuksesan yang terus datang bertubi-tubi. Orang yang mengalaminya sering merasa semua itu tanda cinta dari Allah, merasa dirinya dimuliakan dan diridhai. Padahal, bisa jadi nikmat itu hanyalah jebakan yang menipu. Allah biarkan ia menikmati dunia, tetapi di balik itu ia semakin lalai, semakin lupa kepada Allah, dan semakin tenggelam ke dalam dosa. Nikmat yang seharusnya menjadi jalan syukur justru berubah menjadi jalan yang menjerumuskannya ke dalam kehancuran, sampai akhirnya ia binasa tanpa sempat kembali kepada-Nya.
Artinya, jangan sampai kita tertipu dengan nikmat dunia yang terus mengalir, sementara hati kita semakin jauh dari Allah. Karena sejatinya istidraj bukanlah hadiah dari Allah, melainkan jalan menuju kebinasaan yang datang secara perlahan. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf: 182).
Pada ayat ini dijelaskan, bahwa Allah memberikan tenggang waktu kepada orang-orang yang mendustakan ayat-Nya, seakan-akan mereka dibiarkan hidup penuh nikmat dan kesenangan. Namun sebenarnya, nikmat itu hanyalah jalan yang menjerumuskan mereka sedikit demi sedikit ke arah kebinasaan. Setiap kali mereka menambah maksiat, Allah menambah nikmat, sehingga mereka semakin sombong dan semakin jauh dari istighfar. Mereka mengira limpahan nikmat itu tanda cinta Allah, padahal hakikatnya adalah bentuk penelantaran dan penjauhan dari rahmat-Nya.
Maka, setelah mereka diberi begitu banyak nikmat, hati mereka semakin lalai dan merasa aman dalam kesenangan dunia. Maka tibalah saatnya Allah menurunkan adzab secara tiba-tiba, tanpa mereka sempat bersiap atau bertaubat. Inilah yang ditegaskan dalam firman-Nya:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهٖ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ اَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍۗ حَتّٰٓى اِذَا فَرِحُوْا بِمَآ اُوْتُوْٓا اَخَذْنٰهُمْ بَغْتَةً فَاِذَا هُمْ مُّبْلِسُوْنَ
“Maka, ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan pintu-pintu segala sesuatu (kesenangan) untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa.” (QS. Al-An‘am: 44).
Setelah mereka berpaling dari peringatan Allah dan semakin larut dalam kesenangan dunia, tibalah saatnya adzab itu datang. Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan hukuman secara tiba-tiba, tanpa adanya peringatan, sehingga mereka benar-benar terkejut dan telah lupa memohon ampun hingga tidak sempat untuk bertaubat. Semua pintu nikmat yang sebelumnya terbuka berubah menjadi pintu kehancuran. Harta yang mereka banggakan tidak lagi berguna, dan kedudukan yang mereka sombongkan tidak bisa menyelamatkannya. Sampai akhirnya mereka pun putus asa, dan tidak mampu berkata apa-apa karena dahsyatnya musibah yang menimpa.
Itulah istidraj, nikmat yang tampak indah namun sejatinya adalah jalan menuju kebinasaan. Allah Subhanahu wa Ta’alamembiarkan seorang hamba menikmati dunia, sementara ia semakin jauh dari taubat dan istighfar. Setiap kali ia menambah maksiat, nikmat pun bertambah, hingga ia merasa aman dan terlena. padahal semua itu bukan tanda cinta, melainkan bentuk penelantaran dan penjauhan dari rahmat Allah. Karena itu, kita harus berhati-hati agar tidak tertipu oleh gemerlapnya dunia. Karena sesungguhnya, nikmat sejati ialah yang mendekatkan kita kepada Allah, bukan yang menjauhkan kita dari-Nya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberi kita nikmat yang membawa kepada syukur, taubat, dan kedekatan dengan-Nya.