
Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Menjelang masa kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, suasana dunia seakan sedang menunggu sebuah peristiwa besar. Di berbagai wilayah, baik di kalangan bangsa Yahudi, Nasrani maupun sebagian masyarakat Arab, telah tersebar kabar bahwa seorang nabi akhir zaman akan segera muncul. Mereka yang memiliki kitab mengenal berita ini dari petunjuk yang terdapat dalam Taurat dan Injil, sementara mereka yang tidak berkitab mengetahui dari tanda-tanda alam serta kabar gaib yang disampaikan jin kepada para dukun sebelum langit dijaga ketat.
Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani, para rahib yang tekun membaca kitab suci, serta para kahin (dukun) Arab ramai membicarakan dekatnya kemunculan seorang nabi besar. Pendeta Yahudi dan Nasrani memperoleh berita itu dari teks kitab suci yang menjelaskan ciri-ciri Nabi tersebut dan zaman kemunculannya. Para dukun Arab mengetahuinya dari bisikan jin yang masih dapat mencuri berita dari langit. Namun bangsa Arab pada umumnya tidak memberi perhatian serius terhadap kabar itu hingga akhirnya Allah benar-benar mengutus Nabi tersebut, dan barulah mereka menyadari bahwa apa yang selama ini dibicarakan itu ternyata benar adanya. (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 110).
Salah satu kisah yang terkenal adalah cerita tentang seorang Yahudi yang tinggal di sekitar Bani ‘Abdul Asyhal di Madinah. Ia kerap menakut-nakuti penduduk setempat dengan cerita hari kebangkitan, hisab, Syurga, dan Neraka. Ketika mereka meminta tanda kebenaran ucapannya, ia menjawab bahwa sebentar lagi akan datang seorang Nabi dari arah selatan—yaitu Yaman dan Makkah. Begitu pula kisah Ibnul Haiban, seorang rahib yang datang dari Syam menuju Madinah beberapa tahun sebelum kenabian. Ia mengatakan bahwa kedatangannya adalah karena ia melihat tanda-tanda bahwa Nabi yang dijanjikan akan muncul di wilayah itu, dan ia berharap dapat hidup untuk mengikutinya.
Kisah Salman Al-Farisi juga menjadi bagian penting dari penantian ini. Salman, pemuda Persia yang haus terhadap kebenaran, berkelana dari satu pendeta ke pendeta lain. Setiap kali gurunya menjelang wafat, ia memberikan petunjuk mengenai tanda-tanda nabi akhir zaman, bahwa beliau akan muncul di negeri yang penuh kebun kurma, dan masanya sudah dekat. Petunjuk inilah yang mengantarkan Salman ke Madinah, tempat ia akhirnya bertemu Rasulullah Shallallahu ‘Alaiahu wa Sallam. (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 111)
Khalwat di Gua Hira’
Sementara itu, di Makkah, sebelum mencapai usia empat puluh tahun, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menunjukkan kecenderungan kuat untuk menjauh dari hidup jahiliah. Ia tidak pernah menyukai penyembahan berhala, pesta pora, atau adat-adat rusak yang menjadi kebiasaan masyarakat Quraisy. Sebaliknya, beliau lebih menyukai kesunyian dan perenungan. Beliau memilih Gua Hira’ sebagai tempat untuk menenangkan jiwa dan merenungi ciptaan Allah.
Dalam Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah (1/70, 75), Abdullah Abu Dzikri menceritakan bahwa aktivitas menyendiri (khalwah)di Gua Hira’ itu mulai dilakukan Muhammad sejak bulan Ramadhan pada tahun terjadinya renovasi Ka‘bah. Sebagaimana pernah dibahas, Muhammad menjadi hakim dalam sengketa di antara kaum Quraisy mengenai siapakah yang berhak mengambil dan memindahkan Hajar Aswad. Keputusan Muhammad diterima dengan puas oleh semua pihak yang bersengketa. Peristiwa ini terjadi saat usia beliau 35 tahun. Jadi, beliau melalukan khalwah selama 5 tahun, yaitu dari usia 35 hingga 40 tahun, sebelum diangkat sebagai nabi dan rasul.
Pada bulan Ramadhan setiap tahun, beliau membawa bekal dan tinggal di sana selama beberapa hari, mengasingkan diri dari hiruk pikuk kota. Di puncak Jabal Nur itu, beliau menikmati keheningan malam, menyaksikan hamparan langit, dan bertafakkur merenungi alam semesta, kehidupan dan tanda-tanda kekuasaan Allah. Bila persediaannya habis, beliau turun ke Makkah, thawaf di Ka‘bah, lalu pulang ke rumah Khadijah sebelum kembali lagi ke Gua Hira’.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ibadah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum wahyu turun. Sebagian berpendapat bahwa ibadah itu sebatas tahannuts, yakni menyendiri, menjauhi kebatilan, dan mengarahkan hati sepenuhnya kepada Allah. Ada pula ulama yang menyatakan bahwa beliau beribadah dengan cara bertafakkur sebagaimana dilakukan para pencari kebenaran sebelum diutus menjadi Nabi. Sebagian lain berpendapat bahwa ibadah beliau mengikuti syariat para Nabi terdahulu, ada yang mengatakan syariat Nuh, ada yang mengatakan syariat Ibrahim, Musa, atau Isa. Namun Imam Al-Ghazali menilai bahwa perdebatan tentang bentuk ibadah tersebut tidak memiliki manfaat praktis, karena wahyu belum turun dan tidak ada teks yang menjelaskan secara detail. Yang pasti, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beribadah dengan petunjuk dari Allah, sesuai fitrahnya yang suci dan bimbingan Ilahi yang mempersiapkan beliau menyambut wahyu.
Syaikh Ibn ‘Utsaimin menyimpulkan dengan ringkas namun tegas bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam naik ke Gua Hira’, ber-tahannuts, dan beribadah kepada Allah sesuai apa yang Allah tanamkan dalam hati beliau, sebuah ibadah fitri yang menjadi persiapan spiritual menghadapi turunnya wahyu pertama. (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 112-113).
Dengan demikian, masa menjelang kenabian adalah masa penantian universal. Para rahib di Syam, pendeta di Madinah, dukun Arab, dan beberapa pencari kebenaran telah merasakan dekatnya kedatangan nabi terakhir. Sementara itu, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri sedang ditempa oleh Allah melalui kesunyian Hira’ dan kejernihan fitrah, hingga tibalah malam penuh cahaya ketika wahyu pertama turun dan beliau resmi diangkat sebagai rasul terakhir bagi seluruh umat manusia.
Pelajaran Penting
Dari rangkaian peristiwa di atas, ada beberapa pelajaran penting yang bisa kita dapatkan. Pertama:Kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah peristiwa yang telah lama dinantikan. Baik pendeta, rahib, maupun ahli kitab telah mengetahui tanda-tanda kedatangan nabi terakhir. Ini menunjukkan bahwa risalah beliau bukan muncul tiba-tiba, tetapi merupakan bagian dari kesinambungan wahyu sejak nabi-nabi sebelumnya.
Kedua: Allah menyiapkan sejarah dan masyarakat untuk menerima risalah.Gejolak moral jahiliyah, hilangnya nilai kemanusiaan, serta berita-berita langit yang tersebar melalui para ahli kitab menunjukkan bahwa Allah sedang menyiapkan panggung sejarah bagi lahirnya nabi terakhir.
Ketiga: Khalwat Hira’ adalah persiapan spiritual Nabi. Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyendiri untuk bertafakkur menandakan bahwa Allah sedang membersihkan dan meneguhkan jiwa beliau sehingga siap menerima wahyu.
Keempat: Kebenaran hanya diraih oleh hati yang jujur. Kisah orang-orang seperti Salman Al-Farisi atau sebagian Yahudi dan Nasrani menunjukkan bahwa pengetahuan saja tidak cukup. Yang mendapatkan hidayah adalah mereka yang tulus mencari, sementara yang condong pada kesombongan akan terhalang meski mengetahui tanda-tandanya. Wallahu a‘lam.