Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Ka‘bah sebagai pusat spiritual bangsa Arab memiliki kedudukan agung di hati masyarakat Quraisy. Mereka meyakini Ka‘bah adalah rumah pertama yang dibangun untuk ibadah kepada Allah. Seiring perjalanan waktu, bangunan Ka‘bah mengalami kerusakan karena usia dan bencana alam. Pada usia 35 tahun, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam –sebelum diangkat menjadi Nabi– ikut terlibat dalam peristiwa penting, yaitu renovasi Ka‘bah. Di sinilah tampak kepribadian luhur beliau yang menjadi teladan bagi umat.
Latar Belakang
Sekitar tahun 605 M, Makkah dilanda banjir besar akibat hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut. Banjir itu menghantam bangunan Ka‘bah, yang kala itu masih relatif sederhana; dindingnya tidak terlalu tinggi, tidak memiliki atap, dan sebagian konstruksinya terbuat dari batu yang tidak tersusun rapi. Akibat bencana tersebut, dinding Ka‘bah retak, sebagian runtuh, dan kondisinya mengkhawatirkan akan roboh.
Kaum Quraisy merasa terpanggil untuk merenovasi rumah suci tersebut. Keputusan ini lahir dari satu sisi karena dorongan religius, dan di sisi lain karena faktor politis. Sebagai pengelola Ka‘bah, kehormatan Quraisy sangat bergantung pada wibawa bangunan tersebut. Jika Ka‘bah rusak atau roboh, nama baik Quraisy di mata seluruh kabilah Arab akan tercoreng.
Mereka pun sepakat mengumpulkan dana untuk renovasi. Namun, menariknya, para tokoh Quraisy sepakat hanya menggunakan harta yang dianggap bersih. Uang dari riba, hasil perjudian, atau kedzaliman tidak boleh digunakan. (As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam: 1/220, terbitan Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, th. 1990). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun hidup di masa jahiliah, masih ada nilai moral yang dijaga oleh Quraisy.
Proses Renovasi dan Peran Al-Walid bin Al-Mughirah
Pembagian kerja dilakukan berdasarkan kabilah. Quraisy membagi dinding Ka‘bah menjadi empat sisi, setiap kabilah mendapat tanggung jawab pada satu sisi. Mereka mendatangkan material dari luar Makkah, termasuk kayu dari kapal Romawi yang karam di Jeddah. Mereka juga mendatangkan seorang arsitek dari Romawi bernama Baqum (atau Baqumun), yang ahli dalam konstruksi bangunan.
Namun, ada masalah besar, yakni bagaimana memulai perobohan dinding lama Ka‘bah? Meskipun sepakat untuk merenovasi, orang-orang Quraisy merasa takut. Mereka khawatir Allah akan menurunkan adzab bila mereka berani merobohkan rumah suci itu.
Di sinilah muncul peran penting Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang tokoh tua Quraisy yang disegani, sekaligus ayah dari Khalid bin Al-Walid. Dengan penuh keberanian, Al-Walid berkata sambil membawa kampak, “Apakah kalian menghancurkan Ka‘bah karena bermaksud memperbaiki atau merusak?” Mereka berkata, “Kita ingin memperbaikinya.” Dia berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak akan membinasakan orang yang berbuat baik dan kemudian mulai menghancurkan bagian tertentu darinya.” (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, Fikih Sirah, hlm. 95). Ia kemudian mulai meruntuhkan sebagian dinding Ka‘bah. Setelah malam berlalu tanpa musibah menimpanya, barulah kabilah-kabilah lain berani mengikuti. Dengan demikian, Al-Walid berperan sebagai pembuka jalan dan penentu langkah, memastikan bahwa proyek renovasi ini bisa berjalan tanpa ketakutan berlebihan.
Konflik Penentuan Peletakan Hajar Aswad
Setelah dinding Ka‘bah selesai diperbaiki, tibalah saat mengembalikan Hajar Aswad ke posisinya. Inilah titik krusial, sebab setiap kabilah merasa paling berhak melakukannya. Perselisihan memuncak hingga hampir menimbulkan peperangan antar suku.
Pertikaian berlangsung selama empat atau lima hari tanpa solusi. Akhirnya, mereka sepakat menunjuk orang pertama yang masuk ke Masjidil Haram sebagai penengah. Ternyata, orang itu adalah Muhammad muda, yang saat itu berusia 35 tahun. Melihat sosoknya, semua kabilah berkata, “Al-Amin, kami rela. Inilah orang yang terpercaya!”(As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam: 1/223).
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta sehelai kain lebar. Hajar Aswad diletakkan di tengah kain, lalu masing-masing pemimpin kabilah memegang ujungnya dan mengangkat bersama-sama hingga mendekati posisinya. Setelah itu, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya dengan tangannya yang mulia. (As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam: 1/223).
Dengan langkah sederhana namun jenius ini, beliau berhasil meredakan konflik yang nyaris menumpahkan darah. Masyarakat Quraisy semakin menaruh hormat kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karena kebijaksanaan dan netralitasnya.
Pelajaran Penting
Dari peristiwa tadi, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil. Pertama: Keharusan menjaga kesucian ibadah dengan harta halal. Orang musyrik pun bahkan memahami bahwa sesuatu yang dianggap sakral tidak layak dipugar dengan harta haram. Apalagi umat Islam, tentu lebih dituntut untuk menjaga kesucian ibadah dengan sumber yang halal.
Kedua: Perlunya keberanian dalam memulai kebaikan. Al-Walid bin Al-Mughirah menunjukkan bahwa keberanian mengambil langkah pertama bisa menggerakkan orang lain. Dalam konteks sosial, kadang yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang berani memulai.
Ketiga: Pentingnya musyawarah dan keadilan. Ketika konflik memuncak, solusi damai lahir dari musyawarah. Muhammad muda menunjukkan bahwa penyelesaian masalah bukan dengan kekerasan, melainkan dengan keadilan yang dirasakan semua pihak.
Keempat: Reputasi sebagai modal kepemimpinan. Muhammad tidak memiliki kekayaan besar atau kekuasaan formal. Namun, reputasi beliau sebagai orang jujur dan amanah menjadi modal kepemimpinan yang lebih kuat daripada apa pun.
Kelima: Allah menyiapkan Nabi-Nya. Peristiwa ini menjadi isyarat awal bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dipersiapkan untuk misi besar sebagai Rasul, pemersatu umat.
Penutup
Renovasi Ka‘bah dan peran Muhammad muda menjadi salah satu peristiwa penting sebelum kenabian. Keberhasilan beliau dalam meredakan konflik antar kabilah menunjukkan kualitas kepemimpinan, kecerdasan, dan sifat amanah yang diakui bahkan sebelum risalah Islam datang. Sejarah ini memberi pelajaran berharga tentang integritas, musyawarah, dan keadilan dalam menyelesaikan perselisihan. Wallahu a‘lam.