Hari-Hari Bermakna Bersama Ibunda Tercinta

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Saat dikembalikan oleh Halimah As-Sa‘diyah kepada ibunda Aminah, usia Nabi Muhammad sekitar 4 atau 5 tahun. Sejak itu, Nabi Muhammad berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan ibunya dengan baik. Ibunda Aminah sangat mencintainya karena selain beliau itu anak laki-laki tunggal, juga karena beliau adalah seorang anak yang tampan rupawan wajahnya. Sikap dan perilakunya pun sangat baik. Ringkasnya, beliau sangat berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya. (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm. 72).

Ziarah ke Yatsrib

Ketika usianya genap enam tahun, ibunda Aminah mengajak Nabi Muhammad pergi ke Yatsrib. Tujuannya adalah untuk mengunjungi keluarga dari kalangan Bani Najjar dan juga menziarahi makam Ayahanda Nabi Muhammad, Abdullah. Nabi Muhammad mempunyai hubungan kekerabatan dengan Bani Najjar dari jalur kakek buyutnya, Hasyim. Sebagaimana pernah diceritakan dalam tulisan terdahulu, Hasyim menikah dengan seorang janda dari Bani Najjar bernama Salma. Saat Salma hamil tua, Hasyim mengantarkannya pulang ke Yatsrib karena Salma ingin melahirkan anaknya di tengah-tengah keluarganya. Hal ini bahkan menjadi syarat yang diajukan Salma saat menerima lamaran Hasyim.

Tidak lama setelah mengantarkan istrinya pulang, Hasyim melanjutkan perjalanannya ke Syam untuk menunaikan urusan dagang. Ternyata usia Hasyim tidak Panjang. Di negeri Syam, ia meninggal di usia muda. Salma pun kembali menjadi janda. Tidak lama kemudian, anaknya lahir dan diberi nama Syaibah Al-Hamd. Sampai usia awal remaja, Syaibah tinggal di Yatsrib di tengah keluarga Bani Najjar. Ia dijemput pamannya, yaitu adik Hasyim, yang bernama Al-Muththallib dan diajak tinggal di Makkah. Sejak saat itulah Syaibah lebih dikenal dengan panggilan Abdul Muththallib.

Meskipun Syaibah atau Abdul Muththallib sudah pindah ke Makkah, namun upaya untuk menjaga hubungan kekerabatan dengan Bani Najjar terus dilakukan. Ketika anak Abdul Muththallib, Abdullah –yang merupakan ayah Nabi Muhammad–, jatuh sakit dalam perjalanan pulang dari berdagang di Syam, ia dirawat di tengah keluarga neneknya dari Bani Najjar. Di kampung Bani Najjar inilah akhirnya Abdullah meninggal, kemudian dimakamkan di sana. Upaya menjaga tali silaturrahim ini dilanjutkan oleh Aminah.

Kembali ke perjalanan ibunda Aminah ke Yatsrib. Abdullah Abu Dzikri dalam Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah (1/51-61) mencatat bahwa perjalanan tersebut dimulai pada Senin 10 Rabi‘ul Awal 47 tahun sebelum hijrah bertepatan dengan 15 Februari 577 M. Ikut pula dalam perjalanan ini hamba sahaya sekaligus pengasuh Nabi, Ummu Aiman yang bernama asli Barakah Al-Habasyiah. Mereka berjalan kaki di bawah terik matahari yang menyinari padang pasir menempuh jarak kurang lebih 500 km. Setelah sembilan hari berjalan kaki, barulah mereka sampai di Yatsrib, tepatnya pada Rabu sore 19 Rabi‘ul Awal 47 tahun sebelum hijrah.

Mereka berada di Yatsrib selama satu bulan. Selama itu, Nabi Muhammad sering bermain dengan anak-anak dari Bani Najjar. Salah satu teman bermainnya adalah seorang anak perempuan bernama Anisah yang mengajaknya berjalan-jalan di atas bangunan atau benteng milik Bani Najjar. Bersama teman-teman sepermainannya, Nabi Muhammad ikut menerbangkan burung merpati. Setelah terbang ke angkasa, burung itu kemudian hinggap di atas bangunan tadi. Begitulah yang sering dilakukan Nabi selama berada di tengah keluarga Bani Najjar. Ketika beliau sedang bermain, beberapa orang Yahudi lewat dan memperhatikannya. Di kemudian hari, Ummu Aiman mengenang peristiwa itu. Ia bercerita bahwa salah seorang Yahudi berkata, “Anak ini akan menjadi nabi umat ini. Tempat ini kelak akan menjadi tempat hijrahnya.” Ummu Aiman mengingat-ingat perkataan tersebut.

Setelah sebulan tinggal di Yatsrib, tibalah saatnya ibunda Aminah mengajak putranya pulang ke Makkah. Pada Sabtu 21 Rabi‘ul Akhir 47 tahun sebelum hijrah, ia memulai perjalanan menuju Makkah. Perjalanan ini kembali dilakukannya dengan jalan kaki. Akan tetapi, sebelum sampai Makkah, ia jatuh sakit hingga meninggal dan dikuburkan di Abwa’. Menjelang kematiannya, ibunda Aminah sempat berkata, “Setiap yang hidup pasti akan mati. Setiap yang baru pasti akan usang. Setiap yang tua pasti akan binasa. Begitu juga aku. Aku pun akan mati dan diriku akan terus dikenang. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan jiwa yang suci.”

Nabi Muhammad sangat bersedih ditinggal wafat ibundanya. Hari-harinya bersama ibunda Aminah tercinta sangat singkat, namun penuh makna. Ibundanya sangat mengasihinya. Ibundanya berusaha menyambungkan tali silaturrahmi dengan kerabat Nabi di Yatsrib.

Tidak lama usai menguburkan jenazah ibunda Aminah, Ummu Aiman membawa Nabi Muhammad pulang ke Makkah. Perjalanan dari Abwa’ ke Makkah masih memerlukan waktu selama empat hari. Mereka berangkat dari Abwa’ pada Kamis dini hari 26 Rabi‘ul Akhir dan tiba di Makkah pada Senin 30 Rabi‘ul Akhir 47 tahun sebelum hijrah. Setibanya di Makkah, Nabi Muhammad diserahkan kepada sang kakek, Abdul Muththallib.     

Pelajaran Penting

Ada beberapa pelajaran penting dari rangkaian peristiwa yang dilalui Nabi Muhammad bersama ibunda Aminah sebagaimana telah diceritakan. Pertama: Limpahan kasih sayang ibu kepada anaknya. Meski tidak lama tinggal bersama ibunda Aminah, yaitu selama 2 tahun, namun Nabi mendapatkan curahan kasih sayang darinya. Kedua: Anjuran untuk menjaga tali silaturrahim. Kehidupan keluarga Nabi memberi teladan kepada kita bagaimana mereka berusaha menjaga hubungan kekerabatan.

Ketiga: Kuatnya fisik Nabi Muhammad sejak masih kecil. Perjalanan pulang pergi dari Makkah ke Yatsrib yang dilakukan Nabi dengan berjalan kaki pada usia 6 tahun menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang Allah beri kekuatan fisik. Keempat: Berita kenabian dari Ahli kitab. Komentar orang Yahudi saat melihat Nabi Muhammad kecil sedang bermain menguatkan kabar gembira mengenai akan datangnya seorang nabi di akhir zaman. Mereka mengetahui berita mengenai hal itu berikut ciri-ciri orangnya dari kitab yang Allah turunkan kepada mereka melalui nabi mereka. Wallahu a‘lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *