Oleh: Dr. Mulyanto Abdullah Khoir, M.Ag.
Di antara tanggung jawab orang tua adalah memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Bekal pendidikan lebih berharga dari selainnya. Ilmu tidak akan habis. Ilmu pula yang akan menjadi amal jariyah bagi pemiliknya atau orang-orang yang memberikan bimbingan. Sementara bekal harta hanya seumur pemiliknya saat masih hidup. Apalagi jika pemiliknya tidak memiliki iman, harta hanya akan mengantarkannya menuju jurang Neraka. Tak memberi manfaat kecuali apa yang dinikmatinya di dunia.
Anak yatim adalah anak yang ditinggal mati orang tuanya. Tentu mereka akan sedih, apalagi berpisah dengan orang yang dikasihinya. Orang pun akan iba melihatnya. Bahkan tak sedikit yang menolong untuk menghibur dan membantunya. Allah pun dalam banyak ayatnya memerintahkan untuk menolong anak-anak yatim. Tapi bagaimanakah jika seorang anak tidak dihiraukan pendidikannya oleh kedua orang tuanya? Bahkan ditelantarkan atau salah dalam memberikan bekal pendidikan kepada anak-anaknya. Inilah menurut saya anak yatim sebelum yatim.
Anak yang yatim sebelum yatim ditinggalkan kedua orang tuanya karena keduanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Tak jarang mereka harus menyerahkan pendidikannya kepada pembantu-pembantunya, atau sekolah-sekolah yang tidak menumbuhsuburkan keimanan anak. Tak jarang, anak seperti ini sangat rentan menimbulkan kenakalan remaja jika besar. Merasa terasing di tengah-tengah kesibukan kedua orang tuanya. Hatinya kosong dari ruh keimanan. Jiwanya gersang. Sentuhan dan ruh Islam tidak sampai menggerakkan hatinya. Benar ungkapan syair:
Bukanlah anak yatim itu anak yang kedua orang tuanya telah selesai menanggung derita hidup (mati) dan meninggalkannya sebagai anak yang hina.
Tetapi anak yatim itu adalah anak yang mendapatkan seorang ibu yang menelantarkannya atau seorang bapak yang sibuk (tidak menghiraukannya).
Ibu adalah Madrasah Anaknya
Sebuah syair mengungkapkan:
Ibu adalah sekolah yang jika engkau telah mempersiapkannya
Berarti engkau telah mempersiapkan suatu bangsa yang mempunyai akar-akar yang baik.
Pengertian madrasah berasal dari bahasa arab yang berarti tempat belajar. Dalam masyarakat Indonesia, madrasah lebih identik dengan belajar dan mengajarkan, terutama ilmu-ilmu diniyah. Proses belajar mengajar tidak sekedar transfer ilmu, lebih dari itu, transfer teladan, karakter, ruh dan manhaj ke dalam anak-anak didik. Madrasah ini pula mencetak kader-kader ulama yang berilmu dan beradab.
Pengertian ibu sebagai madrasah bagi anaknya karena ibu memiliki peran yang besar dalam memikul dan tanggung jawab pendidikan anak-anaknya. Kadang bahkan lebih besar karena ibu senantiasa mendampingi anak sejak dilahirkan hingga tumbuh dewasa. Interaksi yang tiada terputus menyatukan hati antara ibu dan anak. Tak heran, seorang ibu rela mengorbankan apa saja demi kecintaan anaknya, begitu pula sebaliknya.
Tak heran, ketika Rasulullah ditanya tentang siapa orang yang paling berhak untuk mendapatkan kebaikan, Rasulullah menjawab ibunya. Hal ini sebagaimana dalam hadis:
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, ‘Ya Rasulullah, siapa orang yang paling berhak mendapat kebaikanku?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya, ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya, ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Ibumu.’ Dia bertanya, ‘Kemudian siapa?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Kemudian bapakmu’.”
Mengapa ibu menjadi prioritas utama dan bahkan sampai tiga kali. Sebagian ulama berkata, karena ibu memiliki tiga perkara yang sangat mahal yang tidak dimiliki oleh bapak; mengandung, melahirkan dan menyusui.
Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Ibu adalah seorang pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.”
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa hadis tersebut dimaksudkan untuk menciptakan rasa tolong-menolong bersama seorang bapak dalam menyiapkan generasi dan mendidik anak-anak. Karena itu, jika seorang ibu meremehkan kewajiban dalam mendidik anak dan lebih mementingkan kariernya. Begitu pula jika seorang bapak meremehkan tanggung jawab mengarahkan dan mendidik anak. Maka anak tersebut tidak ada bedanya dengan anak yatim.
Mendidik dengan Baik
Kewajiban mendidik anak menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya itu. Dan seorang wanita adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Sebagai seorang pemimpin dalam keluarga, pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang harus diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Dalam banyak hadis, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk senantiasa mendidik anak-anak kita dengan adab yang baik, mengajarkan kebaikan, mencintai nabi dan keluarganya, memerintahkan untuk menjauhi yang dilarang dan berbagai perintah lainnya yang menunjukkan betapa Islam memandang serius masalah pendidikan anak-anak.
Maraknya kenakalan remaja hari ini, salah satu faktornya adalah gagalnya dunia pendidikan melahirkan pendidikan yang beradab. Termasuk yang sangat vital adalah peran orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada lembaga-lembaga pendidikan, sementara mereka merasa lepas dan sudah memberikan bekal pendidikan anak yang cukup.
Alangkah indahnya, jika pendidikan hari ini, baik peran keluarga terutama orang tua, sekolah, maupun masyarakat dan lingkungan mampu melahirkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Anak-anak yang manhajnya lurus, jiwanya bersih, hatinya jernih dan ruhnya bersinar dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.