Ustadz Usamah: Dakwah itu Sesuai Potensi Diri

Loading

Dakwah itu bisa dilakukan dengan segala cara. Secara bahasa dakwah adalah mengajak. Artinya, kalau mengajak itu harus dengan cara yang baik. Dalam dimensinya dakwah memiliki dua hubungan yang perlu diintegrasikan. Yakni horizontal (kemasyarakatan) dan vertikal (hubungan dengan Tuhan). Seorang dai harus cerdas dalam menempatkan dirinya pada posisi makhluk yang berinteraksi dengan makhluk, dan posisi makhluk yang dituntut untuk berinteraksi aktif dengan Tuhannya.

Idealisme atau prinsip dakwah yang harus dipegang oleh para dai sebagaimana dalam permulaan kitab Mawaidlul Ushfuriyyah, demikian pula Imam Nawawi Al Bantani menuliskan hadist ini sebagai alasan beliau menulis kitab Nashoihul Ibad:

Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Orang-orang yang berkasih sayang itu akan dikasihi oleh Allah Yang Maha Pengasih. Kasihilah mereka yang ada di bumi, maka kamu akan dikasihi oleh Mereka yang ada di langit’.”

Ustadz Usamah Jundu Rahman atau biasa disapa Ustadz Usamah, secara administrasi beliau lahir pada tahun 1996 di Kota Kretek atau Kota Kudus. Kota kecil tersebut juga dikenal dengan kota santri karena kental akan nuansa Islamnya, yangmana pada abad pertengahan kota ini menjadi salah satu pusat perkembangan agama Islam di pulau Jawa melalui dakwah para Wali Songo yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Makam Wali Songo juga berada di kota ini sehingga menjadikan Kudus sebagai salah satu kota tujuan wisata religi.

Beliau merupakan anak pertama dari 10 bersaudara. Ayah dan Ibundanya juga merupakan tokoh agama di masyarakatnya yang bersama membina madrasah dan menghidupkan lingkungan dengan nuansa Islami. Secara nasab kakek, nenek moyang beliau juga merupakan para tokoh perjuangan di Indonesia. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk Ilmu dan ahli Ilmu. Jadi tidak dipungkiri bahwa jalan dakwah yang beliau tapaki hari ini adalah hasil dari doa- doa leluhurnya.

Usamah kecil pertama kali mengenyam pendidikan di TK Muhammadiyah Bustanul Atfal Gribig, kemudian lanjut di SDIT Lukmanul Hakim Kudus. Sedangkan memasuki usia SMP-SMA, beliau masuk ke Pesantren Tradisional Darul Istiqomah Grobogan, yangmana saat itu jika ingin makan dan minum para santri harus masak sendiri, dan terkadang para santri juga ikut menggarap sawah, beternak dan kegiatan tradisional lainnya. Pendiri pondok pesantren ini adalah Ustadz Mahzun Ali dan Ustadz Kholil Aziz yang merupakan alumni Pondok Pesantren Modern Gontor. Setelah menyelesaikan pendidikan pesantren, beliau mengabdikan diri selama satu tahun untuk membantu dakwah ayahanda di masyarakat dan mengelola madrasah diniyyah.

Setelah berjalannya waktu, pada tahun 2015 beliau mencoba untuk mendaftar ke perguruan tinggi, dan LIPIA Jakarta menjadi tujuan pertamanya. Tapi qodarulloh belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi Mahasiswa LIPIA, dan saat itu pula beliau mendapat informasi bahwa ada kampus baru buka di Klaten yaitu Akademi Al-Qur’an (AAQ) FKAM yang kebetulan sesuai dengan prinsip hidupnya untuk menjadi pendakwah. Beliau menjadi angkatan pertama dan lulus pada tahun 2017. Selanjutnya beliau mengabdi sebagai guru wiyata bakti di AAQ FKAM selama 3 tahun.

Selama mengajar beliau juga mendaftar sebagai mahasiswa di kampus Institut Mamba’ul Ulum Surakarta di Fakultas Dakwah Prodi Komunikasi Penyiaran Islam. Beliau lulus dengan meyandang gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Oktober 2022. Semasa kuliah beliau aktif menjadi pionir dakwah di BEM Fakultas Dakwah dan juga aktif di komunitas-komunitas ilmu berbasis akademisi. Seperti Mulazamah Mus’ab bin Umair yangmana sistem belajarnya berjalan secara intensif serta belajar agama Islam dari dasar dan bertahap sehingga bisa melahirkan muslim yang ahli di bidangnya dengan cara pandang Islam.

Beliau juga diminta oleh Ustadz Umaier Khaz untuk pindah amanah dari kampus AAQ FKAM ke Dewan Pimpinan Pusat FKAM sebagai wakil sekretaris umum sekaligus mengajar sebagai dosen praktisi di Akademi Al-Qur’an mengampu materi ke-FKAM-an. Hal ini terjadi pada tahun 2021. Sebagai dosen praktisi beliau mengenalkan beberapa tahapan materi tentang bagaimana membentuk diri bagi seorang dai, bagaimana mereka sadar atas kemampuan dirinya dan maksud Allah Ta’ala yang dititipkan dalam dirinya untuk kemudian ketika mereka berdakwah atau lulus berdakwah mereka tahu bagaimana cara menempatkan diri di masyarakat dan bagaimana mengarahkan masyarakat.

Selama menjabat sebagai wakil sekretaris umum di DPP FKAM, beliau juga aktif menjadi pembina komunitas Mulazamah Mus’ab bin Umair yang saat ini sudah memiliki yayasan sendiri. Aktivitas lainnya, beliau juga baru membantu merintis madrasah di Desa Krebet, Masaran, Sragen. Madrasah yang dirintisnya tersebut lebih menitikberatkan kepada usia SMP dan SMA yangmana beliau bisa menghabiskan waktu 3-4 hari dalam sepekan di Sragen. Adapun aktivitas dakwah mimbariyah (di atas mimbar) beliau tidak banyak mengambil peran. Hanya dua kali dalam sepekan. Karena bagi beliau dakwah itu sesuai bidangnya, dan memang aktivitas beliau lebih banyak ke dakwah strategis, misalnya menyusun kurikulum, mengarahkan dai, membuat sistem, dan lainnya.

Pesan dakwah yang beliau sampaikan kepada para Alumni Akademi Al-Qur’an FKAM khususnya dan umumnya kepada dai di luar sana: Pertama, setiap orang itu punya pembawaannya masing-masing sebagaimana dikutip dalam Qur’an Surah ke Al-Isra’: 84, “Katakanlah (Muhammad), ‘Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” Jadi kalau ingin berdakwah harus sesuai dengan pembawaannya, potensinya tidak perlu dipaksakan.

Kedua, setiap orang pasti ada bekal fitrah dari Allah Ta’ala sebagaimana dalam Al-Qur’an Allah berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dalam keadaan lurus. (Sesuai) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Surat Ar-Rum: 30). Jadi Fitrah dan Syakilah (pembawaan) itu harus seimbang, tetap mencari kebenaran, tetap memperjuangkan kebenaran apapun caranya.

Karena spirit yang ingin kita tularkan bahwa Islam itu adalah agama Rahmatan Lil Aalamiin, bukan hanya Rahmatan Lil Muslimin saja. Jadi bagaimana seorang muslim itu berperilaku dan itulah perwajahan dari Islam. Orang melihat Islam bukan dari syariatnya, tapi bagaimana orang Islam itu berperilaku.

Sementara itu pesan beliau untuk anak muda: Harus kita sadari saat ini banyak anak muda yang terjangkiti wabah ‘bias’ atau istilah yang menggambarkan kecenderungan terhadap perspektif tertentu atau ideologi.  ‘Bias’ umumnya juga dilihat sebagai perspektif “satu sisi”. Suka terhadap sesuatu yang euforia, sesuatu yang sensasional sehingga melupakan sesuatu yang tadarruj  (bertahap). Padahal dalam memahami sesuatu itu harus ada tahapannya dari A, B, C sampai Z. Jangan sampai loncat-loncat atau hanya mengambil salah satunya saja. Jadi anak-anak muda kalau mau ikut gelombang peradaban Islam, pahami betul tahapannya dan jangan mengalir begitu saja.

Ada satu falsafah Sunan Kalijaga yang sampai saat ini beliau pegang, “Angalio ananging ojo keli” (mengalirlah tapi jangan sampai hanyut). Jadi bolehlah mengalir sesuai alur kehidupan, tapi jangan sampai hanyut, kalap atau tenggelam. Wallahu Musta’an ila Aqwamit Thoriq.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *