Oleh: Departemen Dakwah, Pendidikan dan Advokasi FKAM
Ghibah adalah penyakit hati yang memakan kebaikan, mendatangkan keburukan, serta membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat karena kurangnya pemahaman agama, kehidupan yang semakin mudah, dan banyaknya waktu luang. Kemajuan tekhnologi, telepon misalnya, juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.
Lebih lanjut, ikuti penjelasannya berikut ini. Hakekat Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia mengetahuinya, baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan, nasab, tabiat, ucapan maupun agama hingga pada pakaian, rumah atau harta miliknya yang lain. Menyebut kekurangannya yang ada pada badan seperti mengatakan ia pendek, hitam, kurus, dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong, fasik, munafik, dan lain-lain.
Kadang orang tidak sadar ia telah melakukan ghibah, dan saat diperingatkan ia menjawab, “Yang saya katakan ini benar adanya!” Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau, bagaimana bila yang disebut-sebut itu memang benar adanya pada orang yang sedang digunjingkan, beliau menjawab:
“Jika yang engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut, maka engkau telah melakukan ghibah. Dan jika yang engkau sebut tidak ada pada orang yang engkau sebut, maka engkau telah melakukan dusta atasnya.” (HR. Muslim).
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat, seperti kedipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir, dan sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Ketika wanita itu sudah pergi, ‘Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda, “Engkau telah melakukan ghibah!” Semisal dengan hal ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya, dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah. Karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adalah ghibah dengan tulisan, karena tulisan adalah lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka aib seseorang yang paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian, sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yang seharusnya ditutupi, perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.
Macam dan Bentuk Ghibah
Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk. Yang paling buruk adalah ghibah yang disertai dengan riya’ seperti mengatakan, “Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yang tidak tahu malu semacam ini, semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.” Padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain, namun ia menggunakan ungkapan doa untuk mengutarakan maksudnya.
Kadang orang melakukan ghibah dengan cara pujian, seperti mengatakan, “Betapa baik orang itu, tidak pernah meninggalkan kewajibannya, namun sayang ia mempunyai perangai seperti yang banyak kita miliki, kurang sabar.” Ia menyebut juga dirinya dengan maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih yang selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yang lain misalnya mengucapkan, “Saya kasihan terhadap teman kita yang selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan.” Ucapan semacam ini bukanlah doa. Karena jika ia menginginkan doa untuknya, tentu ia akan mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak mengutarakannya semacam itu.
Ghibah yang Diperbolehkan
Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yang diperbolehkan. Yaitu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang benar, dan tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah. Setidaknya ada enam jenis ghibah yang diperbolehkan:
Pertama: Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yang teraniaya boleh melaporkan kepada hakim dengan mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adalah perbuatan ghibah. Namun karena dimaksudkan untuk tujuan yang benar, maka hal ini diperbolehkan dalam agama.
Kedua: Usaha untuk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat. Seperti mengutarakan kepada orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengubah kemungkaran, “Si Fulan telah berbuat tidak benar, cegahlah dia!” Maksudnya adalah meminta orang lain untuk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian, maka ucapan tadi adalah ghibah yang diharamkan.
Ketiga: Untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dengan mengucapkan, “Ayah saya telah berbuat begini kepada saya, apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan hak saya?” Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lebih selamat bila ia mengutarakannya dengan ungkapan misalnya, “Bagaimana hukumnya bila ada seseorang yang berbuat begini kepada anaknya, apakah hal itu diperbolehkan?” Ungkapan semacam ini lebih selamat karena tidak menyebut orang tertentu.
Keempat: Untuk memperingatkan atau menasehati kaum muslimin. Contoh dalam hal ini adalah jarh (menyebut cela perawi hadits) yang dilakukan para ulama hadits. Hal ini diperbolehkan menurut ijma’ ulama. Bahkan menjadi wajib karena mengandung maslahat untuk umat Islam.
Kelima: Bila seseorang berterus terang dengan menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan, seperti minum arak, berjudi dan lain sebagainya, maka boleh menyebut seseorang tersebut dengan sifat yang dimaksudkan, namun ia tidak boleh menyebutkan aib-aibnya yang lain.
Keenam: Untuk memberi penjelasan dengan suatu sebutan yang telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebut dengan sebutan si bisu, si pincang, dan lainnya. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan untuk menunjukkan kekurangan seseorang. Tapi alangkah baiknya bila memanggilnya dengan julukan yang ia senangi.
Taubat dari Ghibah
Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yang melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah Ta’ala karena melakukan perbuatan yang jelas dilarang oleh-Nya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yang harus diambil untuk menghindari maksiat ini adalah dengan taubat yang mencakup tiga syaratnya. Yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Selanjutnya, harus diikuti dengan langkah kedua untuk menebus kejahatannya atas hak manusia, yaitu dengan mendatangi orang yang digunjingnya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjukkan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yang dibicara-kannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya, maka bagi yang melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dengan kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya.
Kiat Menghindari Ghibah
Untuk mengobati kebiasaan ghibah yang merupakan penyakit yang sulit dideteksi dan sulit diobati ini, ada beberapa kiat yang bisa kita lakukan.
Pertama: Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adalah penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dari-Nya.
Kedua: Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yang digunjingnya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali, maka diambilkan dari timbangan kejahatan orang yang digunjingnya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu, niscaya seseorang akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga: Hendaknya orang yang melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aib orang lain, sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Keempat: Jika aib orang yang hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri, hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah karena Dia telah menghindarkan dari aib tersebut, bukannya malah mengotori dirinya dengan aib yang lebih besar yang berupa perbuatan ghibah.
Kelima: Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya, maka ia seperti orang yang makan bangkai saudaranya sendiri. Sebagaimana yang difirmankan Allah, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (QS. Al Hujuraat: 12).
Keenam: Hukumnya wajib mengingatkan orang yang sedang melakukan ghibah, bahwa perbuatan tersebut hukumnya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh: Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yang melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.
Mudah-mudahan Allah selalu menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji ini. Aamiin.
Abdul Malik bin Muhammad Al Qasim, bit Tasharruf waz Ziyadah