Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Ibunda Hajar tinggal berdua dengan putranya yang masih kecil, Ismail, di tengah padang tandus Makkah. Waktu terus berputar. Hari pun berganti hari. Lama kelamaan, bekal makanan dan minuman yang ditinggalkan Nabi Ibrahim untuk mereka semakin menipis hingga akhirnya habis tidak tersisa. Sementara itu, tidak ada sumber makanan dan minuman yang bisa mereka dapatkan di tempat tersebut. Tidak ada pula manusia yang bisa membantu dan memberi mereka makan dan minum.
Kemunculan Sumber Air Zam-Zam
Tubuh ibunda Hajar semakin kurus. Sebelum makanan dan minuman habis sama sekali, ia hanya mencicipinya sedikit agar bisa terus bertahan hidup. Ismail kecil menangis kehausan. Ingin sekali ibunda Hajar menyusuinya, tapi apa daya air susunya pun kering tidak menetes lagi.
Melihat keadaan putranya, ibunda Hajar merasa kasihan. Ia berdoa kepada Allah memohon air. Ia berlari menuju bukit Shafa dan menaikinya dengan harapan akan mendapatkan air. Dari atas bukit Shafa, ia turun, kemudian menuju bukit Marwa. Ia berhenti dan melihat sekitar barangkali ada air. Akan tetapi, tidak ada air di tempat itu. Ia kembali menaiki bukit Shafa. Demikianlah, ibunda Hajar berlari-lari kecil di antara Shafa dan Marwa hingga genap tujuh kali putaran. Hal ini menjadi asal mula kewajiban Sa‘i di antara dua bukit tersebut.
Setelah tidak mendapat air, ibunda Hajar turun dengan hati gundah gulana. Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara memanggilnya, “Telah datang pertolongan kepadamu.” Ia pun tergerak untuk mencari dari mana suara itu berasal. Ternyata malaikat Jibril datang dalam wujud seekor burung. Burung itu mengibaskan sayapnya ke tanah di dekat Ismail berada. Ismail masih menangis dan menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hentakan kaki itu, keluarlah mata air Zam-Zam yang memancar dengan deras.
Ibunda Hajar merasa sangat gembira. Ia menggali tanah dan meletakkannya di sekitar mata air seraya berkata, “Zammî… Zammî… (berkumpullah… berkumpullah…).” Dari situlah, mata air ini dinamakan mata air Zam-Zam. Ibunda Hajar dan Nabi Ismail kemudian meminum air yang sangat segar itu hingga tidak lagi kehausan. Mereka tidak takut haus dan terlantar setelah munculnya mata air Zam-Zam. Ibunda Hajar mendengar sebuah suara berkata kepadanya, “Jangan takut terlantar. Di sini ada rumah Allah yang kelak akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menelantarkan orang yang tinggal di tempat ini.”
Kedatangan Suku Jurhum
Air menjadi sumber kehidupan. Di mana ada air, di situlah makhluk hidup berkumpul. Di mana ada air, di situ pula umat manusia membangun peradabannya.
Setelah munculnya sumber air Zam-Zam, ibunda Hajar tinggal bersama Ismail di dekatnya. Mereka menjadi pemilik sumber itu. Kehidupan mulai tumbuh di tempat itu. Burung-burung pun mulai berdatangan untuk ikut meminum air Zam-Zam.
Pada suatu hari, datanglah rombongan orang Arab dari Yaman. Mereka adalah kabilah Bani Jurhum. Mereka meninggalkan negerinya untuk mencari tempat hidup yang lebih baik. Rombongan itu sempat tersesat dan kebingungan saat tiba di lembah Makkah. Dari pengalaman melakukan perjalanan sebelumnya, mereka tahu daerah ini adalah daerah yang tandus, kering kerontang, dan tidak ada kehidupan.
Pemimpin rombongan Bani Jurhum mengirim salah seorang anggotanya untuk melihat benarkah ada air di tempat itu. Orang itu segera berangkat menuju arah burung-burung beterbangan. Ia akhirnya menemukan sumber air yang membuat burung-burung tertarik untuk mendatanginya. Akan tetapi, betapa terkejutnya ia tatkala melihat ada seorang wanita kurus sedang menggendong anak di tengah padang pasir sendirian. Orang dari Bani Jurhum itu sempat ketakutan karena menyangka bahwa ia telah melihat jin wanita. Ia pun segera melarikan diri dan kembali ke rombongannya.
Ia melaporkan apa yang baru saja ia saksikan di tengah padang pasir. Pemimpin Bani Jurhum tidak percaya bahwa wanita kurus yang menggendong anaknya, sebagaimana cerita anak buahnya, itu adalah jin wanita. Ia mengajak seluruh rombongan untuk mendatangi sumber air tadi. Mereka menjumpai Siti Hajar dan putranya berada di dekat air. Mereka sempat bimbang untuk maju mendekat. Kebimbangan mereka hilang Ketika mendengar tangis anak kecil yang berada dalam dekapan ibunya dan melihat kubangan kecil penuh air jernih. Tanpa ragu-ragu, mereka maju mendekati wanita itu sambil bertanya keheranan, “Bagaimana engkau berada seorang diri di tempat yang segersang ini? Bagaimana pula engkau dapat menemukan mata air sejernih ini?” Siti Hajar menjawab, “Kehendak Tuhan yang membawaku ke tempat ini dan atas kehendak-Nya juga tanah segersang ini dapat mengeluarkan air untuk bekal hidupku bersama anakku.”
Mereka berkata, “Apakah mengizinkan kami untuk tinggal bersamamu di sini?” Hajar menjawab, “Ya, silakan. Namun kalian tidak mempunyai hak milik atas sumber air ini.” Sejak saat itu, Siti Hajar tidak sendirian lagi tinggal di Makkah. Sejak saat itu pula, Makkah mulai ramai dikunjungi orang hingga akhirnya menjadi kota.
Sumber: Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, As-Sirah An-Nabawiyah,jilid 1, hlm. 122-123; H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad,hlm. 131-134.