Nabi Ibrahim Bapak Para Nabi

Loading

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Hubungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdengan Nabi Ibrahim Alaihissalam bukan sekadar hubungan nasab. Lebih dari itu, Nabi Muhammad adalah pengikut ajaran Nabi Ibrahim yang hanif, yaitu ajaran tauhid. Beliau mengenalkan kembali bangsa Arab kepada keyakinan dan ajaran Nabi Ibrahim kemudian memulihkannya seperti sebelumnya serta menetapkannya sebagai syariat Ilahi. Allah menyatakan di dalam Al-Qur’an, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif’.”(QS. An-Nahl: 123). 

Oleh karena itu, sejarah Nabi Muhammad tidak bisa dilepaskan dari sejarah Nabi Ibrahim. Nabi Muhammad adalah pewaris dan pelanjut dakwah Nabi Ibrahim. Sebagaimana dalam shalawat kita menyebut nama Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim, dalam mengkaji sirah nabawiyah pun kita perlu menjelajahi sejarah perjuangan keduanya.

Berdakwah di Babilonia

Nabi Ibrahim dilahirkan di Babilonia, negeri Kan‘an, kurang lebih 4.000 tahun sebelum Masehi. Ayahnya bernama Tarukh bin Nahur, yang juga dikenal dengan nama Azar sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Menurut pendapat sebagian ulama, Azar bukan ayah sebenarnya Nabi Ibrahim, tetapi pamannya. Azar bekerja sehari-hari sebagai pemahat patung berhala yang pada umumnya menjadi sesembahan penduduk Babilonia yang berada di bawah kekuasaan Raja Namrud.

Beberapa bulan sebelum Nabi Ibrahim lahir, di kalangan penduduk Babil tersebar luas berita ramalan para ahli nujum bahwa tidak lama lagi di negeri itu akan lahir seorang anak laki-laki yang akan merusak kepercayaan penduduk dan akan menghancurkan berhala-berhala sesembahan yang mereka agungkan dan puja-puja sebagai tuhan. Berita ini terdengar oleh Raja Namrud dan dianggap sebagai ancaman terhadap singgasananya. Ia segera memerintahkan anak buahnya supaya mengumpulkan semua wanita yang sedang hamil di sebuah tempat. Setiap bayi laki-laki yang lahir dari rahim mereka harus dibunuh. Ibu Nabi Ibrahim berhasil menyelamatkan diri dengan bersembunyi di sebuah gua tidak jauh dari daerah tempat tinggalnya. Di dalam gua itulah Nabi Ibrahim dilahirkan.

Setelah dewasa, Nabi Ibrahim diminta membantu Azar untuk menjajakan patung-patung buatannya. Ia menolaknya dengan halus, namun Azar tetap memintanya. Akhirnya ia lakukan perintah Azar tersebut. Saat berada di pinggir sungai, Nabi Ibrahim mencelupkan kepala patung ke dalam air seraya berkata, “Minumlah air ini! Mengapa kamu tidak bisa meminumnya, padahal kamu adalah tuhan yang disembah? Bagaimana orang mau membeli barang yang tidak berguna sepertimu?” Patung-patung itu pun jadi tidak laku dijual.

Nabi Ibrahim mengingatkan ayah dan kaumnya bahwa patung-patung sesembahan mereka adalah tuhan-tuhan palsu. Mereka tidak terima dengan peringatan Nabi Ibrahim. Mereka membantah dan menyatakan bahwa perbuatan mereka itu merupakan tradisi warisan leluhur. Mereka setia menjaga tradisi tersebut.

Pada suatu ketika, Raja Namrud beserta penduduk Babilonia pergi ke hutan untuk melaksanakan upacara perayaan berburu binatang. Kota menjadi sepi. Kesempatan ini digunakan oleh Nabi Ibrahim untuk menunjukkan kebatilan akidah masyarakat Babilonia. Ia pergi dengan membawa kapak menuju kuil tempat patung-patung berhala dipancangkan orang sebagai sesembahan. Ia menghancurkan semua berhala itu hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang berhamburan di tengah kuil itu. Hanya satu berhala yang ia biarkan utuh, yaitu berhala yang paling besar. Di bahu berhala itu sengaja diletakkan kapak agar kaumnya mau menggunakan akal mereka.

Raja Namrud dan orang-orang mulai kembali ke kota dengan berkelompok-kelompok setelah puas berburu binatang di hutan. Sebelum pulang ke kediaman masing-masing, mereka biasanya akan memasuki kuil untuk melakukan pemujaan kepada berhala. Alangkah terkejutnya mereka tatkala mendapati berhala-berhala pujaan mereka hancur berantakan. Suasana menjadi hening dan mencekam. Setiap orang gelisah.

Tiba-tiba salah seorang di antara mereka memecahkan keheningan dengan berkata, “Siapakah yang telah melakukan kejahatan terhadap tuhan-tuhan kita ini?” Orang yang pernah melihat pengingkaran Nabi Ibrahim terhadap penyembahan patung-patung menyahut, “Kami mendengar ada seorang pemuda mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” Orang lainnya segera menimpali, “Kalau begitu, bawalah dia kemari dengan cara yang dapat dilihat oleh orang banyak agar mereka menyaksikan.”

Setelah Nabi Ibrahim didatangkan, mereka bertanya, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?” “Tanya saja kepada berhala yang paling besar itu jika memang ia bisa berbicara. Sepertinya dialah yang melakukannya,” jawab Nabi Ibrahim. Orang-orang pun marah. Mereka merasa dipermainkan. Mereka berkata, “Kamu khantahu bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” “Kalau memang tidak bisa berbicara, mengapa kalian sembah,” tanya balik Nabi Ibrahim. Mereka diam tidak bisa berkata-kata.

Meskipun kalah argumen, mereka tetap tidak mau tunduk kepada kebenaran. Mereka membakar Nabi Ibrahim sebagai hukuman atas perbuatannya. Akan tetapi, Allah menyelamatkannya dari kematian. Demikianlah kisah Nabi Ibrahim ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’: 51-71.            

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *