Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab adalah bangsa terbelakang. Jazirah Arab saat itu diapit oleh dua peradaban yang saling bersaing. Di sebelah timur ada peradaban Persia, sementara di sebelah barat ada peradaban Romawi.
Status Wanita
Kaum wanita dalam masyarakat jahiliyah menjadi objek penipuan dan kekejaman kaum lelaki. Haknya dirampas, hartanya dikuasai, diharamkan mewarisi. Dan setelah dicerai atau kematian suami mereka pun dicampakkan, tak boleh kawin dengan lelaki yang disenangi, tetapi diwarisi bagaikan harta benda atau hewan kendaraan.
Tentang hal ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Jika seorang laki-laki meninggal wali atau ayahnya, ia berhak mewarisi istri yang ditinggalkannya yang bisa dikawininya atau menjadi tawanannya sehingga wanita itu menebus dirinya dengan mengembalikan maskawin yang pernah diterimanya. Kalau tidak, laki-laki itu menunggunya sampai wanita itu mati dan meninggalkan harta untuknya.”
As-Suddi berkata, “Laki-laki pada zaman jahiliyah yang mempunyai ayah atau saudara atau anak yang mati meninggalkan istri, lalu ia mendahului melemparkan pakaiannya kepada wanita itu, maka laki-laki tersebut berhak menikahinya dengan maskawin dari temannya atau menikahkan wanita tadi kepada laki-laki lain tetapi maskawinnya jatuh ke tangannya. Jika wanita itu mendahuluinya pergi ke rumah keluarganya, maka ia tidak boleh diganggu gugat.”
Kaum wanita diperlakukan sewenang-wenang. Hak-haknya dirampas lelaki serta maskawinnya diambil. Ia direnggut dengan paksa dari suaminya, tapi dibiarkan terkatung-katung. Sebagian makanan yang boleh dimakan laki-laki diharamkan bagi wanita. Kaum laki-laki boleh mengawini wanita mana saja yang dikehendaki tanpa batas.
Kebencian terhadap anak perempuan di kalangan Bangsa Arab telah demikian parahnya sehingga mereka mengubur hidup-hidup anak yang lahir sebagai perempuan. Al-Haitsam bin Adi menerangkan bahwa penguburan hidup-hidup anak perempuan merupakan tradisi di seluruh Kabilah Arab dengan perbandingan satu orang mengerjakan lawan sepuluh orang tidak mengerjakannya.
Motif perbuatan ini bermacam-macam. Ada yang mengubur anak perempuannya karena ingin menambah kewibawaan dan takut akan mendapatkan malu di kalangan penduduk karena ulah anak perempuannya. Ada yang menguburnya karena anak perempuannya cacat. Seperti berkulit hitam, kakinya pincang, dan menderita sopak sehingga orang tuanya takut mendapatkan cemoohan orang lain. Ada yang menguburnya karena tidak mampu menafkahinya atau takut jatuh miskin.
Ada pula anak-anak perempuan yang dijual oleh orang tua mereka yang miskin kepada para bangsawan dan pemimpin mereka. Ada juga yang berdalih bahwa oleh karena malaikat adalah putri-putri Allah, maka mereka mengembalikan putri-putri mereka kepada Allah karena Dia-lah yang paling berhak atas mereka.
Terkadang mereka melakukan pembunuhan itu dengan kekejaman yang tiada taranya. Misalnya jika seseorang yang pulang dari perantauan mendapatkan anak perempuannya sudah remaja, maka pembunuhan itu tetap dijalankan meskipun anaknya yang sudah mengerti nasib yang akan dijalaninya terus menangis dan merota-ronta. Adakalanya pembunuhan dilakukan dengan melemparkan anak perempuan dari lereng gunung ke dalam jurang.
Budaya Zina
Zina bukanlah hal langka dan tabu bagi Bangsa Arab pada zaman jahiliyah. Menurut budaya mereka, seorang laki-laki boleh mengambil beberapa teman wanita untuk menikmati hidup bersama tanpa akad nikah. Demikian pula, seorang wanita bisa hidup bersama beberapa teman laki-laki. Terkadang mereka juga memaksa wanita untuk berzina. Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang-orang Arab jahiliyah suka mengkomersilkan budak-budak wanita mereka dalam perzinaan.
Tentang pernikahan, Ummul MukmininAisyah Radhiyallahu ‘anha menerangkan sebagai berikut. “Pernikahan zaman jahiliyah terbagi dalam empat macam. Pertama, ada pernikahan seperti dilakukan orang zaman sekarang. Seseorang meminang calon istri kepada walinya lalu membayar maskawinnya dan menikahinya. Kedua, nikah istibdha‘, yaitu seseorang menyuruh istrinya untuk berhubungan seks dengan laki-laki lain sampai wanita itu hamil. Setelah hamil, barulah suaminya menggaulinya lagi jika mau. Hal ini dilakukan si suami untuk memperoleh keturunan yang baik dari laki-laki lain tadi. Ketiga, sekelompok laki-laki terdiri kurang dari sepuluh orang sama-sama berhubungan seks dengan seorang wanita. Apabila wanita itu hamil lalu melahirkan, maka para lelaki tadi dikumpulkan. Si wanita memilih salah seorang di antara mereka yang pantas menjadi ayah dari anaknya tanpa boleh membantah. Keempat, pernikahan model wanita pelacur. Ia memancangkan bendera sebagai tanda di depan pintu rumahnya. Para lelaki yang ingin berhubungan seks dengannya mendatanginya. Apabila wanita itu hamil dan melahirkan anaknya, maka para lelaki tadi berkumpul, lalu si wanita menunjuk siapa yang harus menjadi ayah bagi si anak tanpa boleh membantah.” (HR. Bukhari bab Nikah) (Abul Hasan Ali An-Nadwi, Islam Membangun Peradaban Dunia, hlm. 93-97). Wallahu a‘alam.