Pesona Kepribadian Muhammad Sebelum Kenabian

YahyaSiroh Nabawiyah14 hours ago13 Views

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Setiap tokoh besar memiliki fase pembentukan karakter sebelum mencapai puncak peran sejarahnya. Begitu pula dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebelum diangkat menjadi rasul, kehidupan beliau telah menjadi cermin kemuliaan akhlak dan kematangan spiritual. Pribadi Muhammad muda tampil sebagai sosok yang menawan hati, dihormati oleh kawan maupun lawan, serta dijauhkan oleh Allah dari noda moral dan kebiasaan jahiliyah yang mengotori masyarakat Makkah. Memahami fase pra-kenabian ini penting agar kita melihat bahwa risalah Islam tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan tumbuh dari pribadi yang telah dipersiapkan oleh Allah dengan kesucian, kebijaksanaan, dan keteguhan hati.

Daya Tarik Kepribadian

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjungan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, dan ketepatan dalam mengambil keputusan.

Beliau lebih suka diam lama-lama untuk mengamati, memusatkan pikiran, dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrahnya yang suci beliau mengamati lembaran-lembaran kehidupan, keadaan manusia, dan berbagai golongan. Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau mau bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menonjol di tengah kaumnya karena perkataannya yang lembut, akhlaknya yang utama, dan sifat-sifatnya yang mulia. Beliau adalah orang yang paling utama kepribadiannya di tengah kaumnya, paling bagus akhlaknya, paling terhormat dalam pergaulannya dengan para tetangga, paling lemah-lembut, paling jujur perkataannya, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, paling banyak memenuhi janji, paling bisa dipercaya. Hingga mereka menjulukinya Al-Amin, karena beliau menghimpun semua keadaan yang baik dan sifat-sifat yang diridhoi orang lain.

Keadaan beliau juga digambarkan Ummul Mukminin Khadijah Radhiyallahu ‘anha, “Beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu, dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran.” (Shahih Al-Bukhari: 1/3).

Penjagaan Allah dari Dosa dan Maksiat

Beliau tidak mau meminum khamr, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung-patung. Bahkan semenjak kecil beliau senantiasa menghindari jenis-jenis penyembahan yang batil ini, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain daripada penyembahan kepada patung-patung itu. Hampir-hampir beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Lata dan Uzza.

Tidak diragukan lagi bahwa takdir telah mengelilingi agar beliau senantiasa terpelihara. Jika ada kecenderungan jiwa yang tiba-tiba menggelitik untuk mencicipi sebagian kesenangan dunia atau ingin mengikuti sebagian tradisi yang tidak terpuji, maka pertolongan Allah masuk sebagai pembatas antara diri beliau dan kesenangan atau kecenderungan itu.

Ibnul Atsir meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginan untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan orang-orang Jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun kemudian Allah menjadi penghalang antara diriku dan keinginan itu. Setelah itu aku tidak lagi berkeinginan sedikit pun hingga Allah memuliakan aku dengan risalah-Nya.

Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda yang sedang menggembala kambing bersamaku, ‘Aku hendak masuk ke Makkah dan hendak mengobrol di sana seperti dilakukan para pemuda lain.’

Pemuda itu menjawab, ‘Aku akan melaksanakannya.’

Maka aku beranjak pergi. Di samping rumah pertama yang kulewati di Makkah, aku mendengar suara tabuhan rebana. Aku bertanya, ‘Ada apa ini?’ Orang-orang menjawab, ‘Perhelatan pernikahan Fulan dan Fulanah.’

Aku ikut duduk-duduk dan mendengarkan. Namun Allah menutup telingaku dan aku langsung tertidur hingga aku terbangun karena sengatan matahari esok harinya. Aku kembali menemui rekanku dan dia langsung menanyakan keadaanku. Maka aku mengabarkan apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula dan berbuat hal yang sama. Namun lagi-lagi aku mengalami kejadian yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelah itu aku tidak lagi ingin berbuat hal yang buruk.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Katsir, dinilai shahih oleh Al-Hakim dan dha‘if oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah: 2/287).

Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Tatkala Ka‘bah sedang direnovasi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ikut bergabung bersama Abbas, mengambil batu. Abbas berkata kepada beliau, ‘Angkatlah jubahmu hingga di atas lutut agar engkau tidak terluka oleh batu.’ Namun karena itu beliau justru jatuh tersungkur ke tanah. Maka beliau mengangkat pandangan ke langit kemudian bersabda, ‘Ini gara-gara jubahku, ini gara-gara jubahku.’ Lalu beliau mengikatkan jubahnya. Dalam riwayat lain disebutkan, setelah itu beliau tidak pernah lagi menampakkan auratnya.” (Shahih Al-Bukhari, bab Bunyani Al-Ka‘bah: 1/540).

Pelajaran

Ada beberapa pelajaran penting dari rangkaian kehidupan Nabi Muhammad sebagaimana telah diceritakan.

Pertama: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki karakteristik kemanusiaan yang sempurna. Beliau adalah anak muda seperti anak muda lainnya, bersosialisasi dengan masyarakat, bekerja, merasakan kehidupan, dan memiliki kecenderungan manusiawi yang wajar.

Kedua: Allah Ta‘ala telah menjaganya dari segala fenomena yang menyimpang. Selain ma‘shum, beliau dijaga dari kesalahan oleh Allah dari kehendak nafsu dan tekanan masyarakat, hingga terhindar dari pelanggaran sebelum terjadi.

Ketiga: Beliau hidup dengan akhlak yang terpuji, fitrah yang bersih, jauh dari kemusyrikan dan khurafat, serta terkenal jujur dan amanah. Semuanya menjadi pengantar menuju risalah kenabian yang akan diembannya.

Keempat: Sifat-sifat terpuji itu adalah bagian dari bimbingan Allah (‘inayah ilahiyyah).
Ini menunjukkan pentingnya akhlak bagi seorang dai, agar manusia bersimpati dan tidak mudah mencela masa lalunya.

Kelima: Allah mampu menjadikannya tanpa kecenderungan manusiawi, tetapi dengan adanya itu, kita melihat kemanusiaan Nabi yang tetap terjaga dari dosa. (Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid, hlm. Fikih Sirah: 105-106).

Leave a reply

Ikuti
Search
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...