Oleh: Bima Setya Dharma
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti pernah menghadapi perlakuan buruk dari orang lain, baik berupa perlakuan yang buruk, kata-kata menyakitkan, sikap tidak adil, atau bahkan fitnah. Ketika hal itu terjadi, naluri manusia mungkin mendorong seseorang untuk membalas dengan cara yang sama atau membalas dengan lebih kejam. Tapi Islam mengajarkan sesuatu yang lebih tinggi, yaitu membalas keburukan dengan kebaikan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah contoh terbaik dalam hal ini. Beliau tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan ketika Beliau dihina, dilukai, atau dikhianati, beliau memilih untuk memaafkan dan berbuat baik. Dalam Beliau pergi berdakwah di kota Tha’if, para pemimpin Tha’if menolak dengan kasar. Bahkan, mereka mengerahkan anak-anak dan orang-orang jahil untuk melempari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan batu. Beliau terluka, darah mengalir dari tubuhnya, hingga sandal beliau basah oleh darah. Dalam keadaan sangat sakit dan sedih, beliau berlindung di sebuah kebun. Saat itulah datang malaikat Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Malaikat berkata:
“Wahai Muhammad, jika engkau mau, aku akan timpakan dua gunung ini untuk menghancurkan penduduk Tha’if.”
Beliau bersabda:
أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئأً
“Aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari sulbi (keturunan) mereka orang-orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kisah ini menjadi teladan bahwa membalas keburukan dengan kebaikan adalah jalan para Nabi. Bayangkan, andai pada waktu itu yang ditawari bala bantuan dari malaikat adalah kita, mungkin kita akan langsung berkata, “Ya, hancurkan mereka!” karena rasa sakit yang kita alami dari perbuatan mereka. Tapi Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki kesabaran yang luar biasa. Bahkan, beliau tidak hanya bersabar, tetapi beliau mendoakan kebaikan agar lahir orang-orang yang beriman dari keturunan mereka. Maka, kita perlu mencontoh Beliau dalam menahan amarah dan memaafkan orang-orang yang menyakiti kita.
Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُۗ اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan perilaku yang lebih baik sehingga orang yang ada permusuhan denganmu serta-merta menjadi seperti teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak diijinkan oleh Allah untuk membalas kejahatan orang-orang dengan kejahatan yang serupa. Sebab, jika beliau membalas dengan cara yang sama, hal itu justru akan memperburuk keadaan dan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi mereka. Sebagai gantinya, Allah memerintahkan Rasulullah untuk membalas perlakuan buruk mereka dengan kebaikan. Allah menjelaskan bahwa cara terbaik menghadapi kebodohan dan kejahatan mereka adalah dengan sikap yang paling mulia, yaitu memaafkan kesalahan mereka, membalas perbuatan buruk dengan perbuatan baik, dan menghadapi kemarahan mereka dengan penuh kesabaran. Jika Rasulullah bersikap demikian, maka suatu saat mereka akan menyadari kesalahan mereka sendiri, karena tak jarang ada seseorang mendapatkan hidayah bukan karena ucapan yang kita katakan, melainkan dari akhlak kita di hadapan mereka.
وَاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“…Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, ‘Salam’…” (QS. Al-Furqan: 63).
Kalimat pada potongan ayat ini menjelaskan salah satu sifat hamba Allah. Jika ada seseorang yang mengucapkan kata-kata kasar atau tidak pantas kepada mereka orang-orang beriman, mereka tidak membalas dengan ucapan serupa. Sebaliknya, mereka memilih untuk menjawab dengan kata-kata yang baik dan disertai harapan agar orang tersebut mendapat petunjuk dari Allah.