Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Kehidupan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak hanya sarat dengan keteladanan dalam dakwah dan ibadah, tetapi juga dalam aspek keluarga dan sosial. Pada masa awal kehidupan rumah tangganya bersama Khadijah Radhiyallahu ‘anha, beliau menunjukkan kepedulian sosial yang besar, terutama terhadap keluarganya sendiri. Salah satu kisah penting pada periode ini adalah peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama pamannya, Al-‘Abbas bin Abdul Mutthalib, meringankan beban Abu Thalib dengan mengambil alih pengasuhan sebagian anak-anaknya. Dari peristiwa inilah lahir episode pengasuhan Ali bin Abi Thalib di rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebuah fase yang kelak melahirkan banyak hikmah dalam sejarah Islam.
Latar Belakang: Krisis dan Beban Abu Thalib
Sejarawan sepakat bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bi’tsah (sebelum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wahyu pertama), ketika Makkah dilanda krisis ekonomi yang berat. Paceklik melanda Quraisy, sementara Abu Thalib, paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sangat setia membelanya sejak kecil, menanggung keluarga besar dengan jumlah anak yang banyak. Dalam kondisi demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang saat itu telah menikah dengan Khadijah -seorang saudagar wanita yang kaya dan dermawan-merasa terpanggil untuk membantu. Di sisi lain, Al-‘Abbas, paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain, termasuk orang paling berada di kalangan Bani Hasyim. Kedua orang inilah yang akhirnya bersepakat untuk bersama-sama meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh sebagian anaknya.
Kesepakatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Abbas
Riwayat yang cukup lengkap tentang kisah ini diabadikan oleh Ibn Isḥaq dalam As-Sirah An-Nabawiyyah, dan diperkuat oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Diceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Al-‘Abbas, “Wahai Abul Fadhl, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang banyak. Engkau melihat sendiri apa yang menimpa manusia akibat krisis ini. Mari kita mendatanginya, lalu kita ringankan bebannya dari sebagian anak-anaknya. Aku ambil salah satu dari anaknya, dan engkau ambil seorang anaknya, lalu kita pelihara mereka darinya.”
Al-‘Abbas pun menyetujui, lalu keduanya mendatangi Abu Thalib. Mereka berkata kepadanya, “Kami ingin meringankanmu dari sebagian tanggungan keluargamu hingga kondisi sulit ini berlalu dari manusia.”
Mendengar itu, Abu Thalib menjawab, “Jika kalian tinggalkan Aqil bersamaku, maka lakukanlah sesuka kalian.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu mengambil Ali dan memeliharanya di rumah beliau, sementara Al-‘Abbas mengambil Ja‘far. (Al-Mustadrak ‘ala Ash-Ṣhaḥiḥayn, 3/753).
Ali Bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Sejak saat itu, Ali kecil hidup dalam pengasuhan langsung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia menyaksikan kepribadian Nabi dari dekat, menikmati kasih sayang yang tulus, dan tumbuh dengan teladan akhlak yang agung. Tidak heran, ketika wahyu turun dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus sebagai Rasul, Ali termasuk orang pertama yang menerima Islam. Sebagian riwayat bahkan menegaskan bahwa ia adalah anak pertama yang masuk Islam, berbeda dengan Khadijah sebagai perempuan pertama, dan Abu Bakr sebagai laki-laki dewasa pertama yang beriman.
Kedekatan Ali dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejak masa kecil inilah yang menumbuhkan kepribadian istimewa pada dirinya. Ia tidak hanya sekadar keponakan, tetapi tumbuh sebagai murid, shahabat, sekaligus anggota keluarga inti Nabi. Kelak, ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, Ali menjadi salah satu pembela setia yang berani tidur di ranjang beliau saat orang Quraisy berencana membunuh Nabi.
Ja‘far Bersama Al-‘Abbas
Sementara itu, Ja‘far bin Abi Thalib diasuh oleh Al-‘Abbas. Meski berbeda rumah dengan Ali, Ja‘far tetap tumbuh dalam lingkaran keluarga yang dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika dewasa, Ja‘far dikenal sebagai salah satu shahabat yang berhijrah ke Habasyah, menyampaikan Islam kepada Raja Najasyi dengan penuh keberanian dan kecerdasan. Ia pun akhirnya syahid dalam perang Mu’tah, mendapat gelar “Ja‘far Ath-Thayyar” karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Allah menggantikan kedua tangannya yang terputus dengan dua sayap di Syurga.
Makna Sosial dan Spiritualitas
Peristiwa ini memuat banyak pelajaran penting. Pertama:Kepedulian sosial dimulai dari keluarga terdekat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi teladan bahwa menolong orang lain dimulai dari lingkungan terdekat, yakni keluarga. Membantu saudara yang kesulitan merupakan amal utama.
Kedua: Teladan dalam tanggung jawab dan gotong royong. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak membiarkan Abu Thalib menanggung beban sendiri. Beliau mengajak Al-‘Abbas untuk berbagi tanggung jawab. Ini mengajarkan bahwa beban besar bisa terasa ringan jika ditanggung bersama.
Ketiga: Pentingnya pendidikan dalam lingkungan yang baik. Dengan tumbuh di rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Ali mendapatkan pendidikan akhlak dan keteladanan langsung dari beliau. Ini menjadi pelajaran bahwa membesarkan anak di lingkungan yang baik akan membentuk kepribadian yang kuat, bahkan mempengaruhi jalan hidupnya di masa depan.
Keempat: Pengasuhan anak sebagai amal jariyah. Peristiwa ini menegaskan bahwa mengasuh dan mendidik anak bukan hanya kewajiban, tetapi juga amal kebajikan yang berkelanjutan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya bahkan sebelum diutus menjadi Nabi, menunjukkan bahwa kafalah (pengasuhan anak) memiliki nilai luhur yang tinggi dalam Islam.
Penutup
Kisah awal kehidupan rumah tangga Nabi dengan Khadijah bukan sekadar kisah romantis antara suami dan istri, tetapi juga cermin kepedulian sosial yang luar biasa. Di saat keluarga besar dilanda kesulitan, beliau bersama Al-‘Abbas bergandengan tangan meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh anak-anaknya. Dari peristiwa sederhana ini, lahir dua sosok besar Islam: Ali dan Ja‘far.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa membantu keluarga di saat sulit, mengasuh anak-anak dengan kasih sayang, dan berbagi tanggung jawab adalah amal yang meninggalkan jejak panjang bagi umat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mencontohkan bahwa rumah tangga yang berkah bukan hanya yang kokoh secara internal, tetapi juga yang mampu menebar manfaat bagi keluarga besar dan masyarakat luas.