Hadiah dari Khadijah

YahyaSiroh Nabawiyah3 days ago23 Views

Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.

Pernikahan Nabi Muhammad dengan ibunda Khadijah sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Pada hari pernikahannya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerdekakan Barakah, budak setia yang ia warisi dari ayahnya. Pada hari yang sama, Khadijah menghadiahi Muhammad salah satu budaknya sendiri, seorang remaja bernama Zaid. (Martin Lings, Muhammad, hlm. 49-50).

Menurut riwayat lain, Zaid dihadiahkan sebulan setelah pernikahan mereka. Usianya saat itu baru sekitar 8 tahun. Ia dibeli oleh Hakim bin Hizam di salah satu pasar budak di Makkah untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid, pada masa jahiliyah. Khadijah lalu menghadiahkan Zaid kepada Rasulullah Muhammad agar bisa melayani kebutuhannya. (Abdullah Abu Dzikri, Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah: 1/67).

Kedekatan Zaid dengan Nabi Muhammad

Zaid berasal dari suku Kalb yang mendiami wilayah utara Jazirah Arab di antara daratan Syam dan Irak. Ayahnya bernama Haritsah bin Syarahil. Ibunya bernama Su‘da bin Tsa‘labah dari suku Thayy. Suatu ketika, Zaid dibawa ibunya mengunjungi keluarga ibunya dari kabilah lain. Dalam perjalanan, terjadi penyerangan oleh sekelompok perampok. Zaid kecil pun diculik. Para perampok membawa Zaid ke pasar budak dan menjualnya. Ia akhirnya dibeli oleh Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah binti Khuwailid. Oleh Khadijah, Zaid selanjutnya dihadiahkan kepada Nabi Muhammad.

Zaid merasakan kasih sayang dan perlakuan yang sangat manusiawi dan mulia dari Nabi. Oleh karena itu, ia sangat mencintai Nabi dan merasa lebih nyaman bersama beliau ketimbang kembali ke keluarganya. Beberapa tahun kemudian, keluarga Zaid mencari dan menemukannya di Makkah. Ayah dan pamannya datang ke rumah Nabi dan meminta agar Zaid dikembalikan. Mereka menawarkan tebusan kepada Nabi Muhammad. Nabi mempersilakan Zaid untuk memilih sendiri. Beliau bersabda, “Panggillah Zaid dan biarkan ia memilih. Jika ia memilih kalian, maka ia milik kalian. Namun jika ia memilih aku, maka demi Allah, aku tidak akan memilih orang lain atas orang yang memilihku.”

Dipanggillah Zaid. Dengan penuh cinta dan ketulusan, Zaid menjawab, “Aku tidak akan memilih seorang pun di atas dirimu. Engkau bagiku adalah seperti ayah dan paman.” Ungkapan ini menunjukkan betapa besar rasa cinta dan hormat Zaid kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga ia rela meninggalkan orang tua kandungnya demi hidup bersama Nabi.

Mendengar jawaban anaknya, Ḥaritsah menjadi terkejut sekaligus terharu. Tapi ia juga menghormati keputusan anaknya walaupun berat hati. Ia berkata, “Celaka engkau wahai Zaid! Kau lebih memilih perbudakan daripada kebebasan dan lebih memilih orang asing daripada ayah dan ibumu.” Dengan mantap, Zaid menjawab, “Aku telah melihat dari lelaki ini sesuatu yang membuatku tak bisa memilih siapa pun atas dirinya.”

Melihat ketulusan Zaid, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam langsung membebaskannya. Ia mengajak Zaid bersama ayah dan pamannya ke Ka‘bah. Sambil berdiri di Hijr, Muhammad berkata dengan lantang di depan para tokoh Quraisy, “Wahai semua yang hadir! Saksikanlah bahwa Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku mewarisinya.”

Menyaksikan peristiwa itu, ayah dan paman Zaid akhirnya merasa tenang. Mereka pun pulang ke kampung Bani Kalb. Sejak saat itu, Zaid dikenal di Makkah sebagai Zaid bin Muhammad hingga turun ayat dalam Islam yang melarang penisbatan anak angkat kepada selain ayah kandung, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (menisbahkan) kepada nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah…”
(QS. Al-Ahzab: 5) (Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, As-Sirah An-Nabawiyyah fi Dhaw’ Al-Kitab wa As-Sunnah: 1/252-254).

Setelah turunnya ayat tadi, Zaid kembali dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah. Meskipun demikian, hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap dekat. Kelak Zaid dinikahkan dengan Barakah, mantan budak Rasulullah yang diwarisi dari ayahnya. Status Barakah saat itu adalah janda. Suaminya Ubaid bin Zaid dari suku Khazraj meninggal dunia. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang anak bernama Ayman. Oleh karena itu, Barakah lebih dikenal dengan panggilan Ummu Ayman.

Dari pernikahan Zaid bin Haritsah dengan Barakah Ummu Ayman, lahirlah seorang anak bernama Usamah bin Zaid. Putra Zaid ini dikenal sebagai hibbu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa ibn hibbihi (kekasih Rasulullah dan putra kekasih Rasulullah). Ia diberi kepercayaan sebagai panglima pasukan besar di usia 18 tahun, bahkan pasukannya termasuk Abu Bakar dan Umar.

Pelajaran Penting

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari rangkaian peristiwa yang dijalani Zaid bin Haritsah bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di atas. Pertama,Islam mengangkat derajat manusia; bukan status sosial. Zaid yang awalnya seorang budak, bukan hanya dimerdekakan, tetapi juga diperlakukan seperti anak sendiri oleh Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kemuliaan tidak ditentukan oleh nasab atau status, melainkan oleh iman, akhlak, dan kesetiaan. Allah berfirman, “Sungguh yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al-Ḥujurat: 13).

Kedua, ikatan ruhani dan akhlak lebih kuat daripada hubungan darah. Ketika ayah dan paman Zaid datang untuk menebusnya, Zaid justru lebih memilih tinggal bersama Nabi Shallallahu “Alaihi wa Sallam. Karena kasih sayang dan akhlak beliau lebih menyentuh hatinya dibanding hubungan darah. Ini menunjukkan bahwa akhlak mulia bisa memenangkan hati siapa pun, bahkan melebihi ikatan biologis.

Ketiga, pernikahan dalam Islam berdasarkan ketaatan dan keimanan. Nabi menikahkan Zaid dengan Ummu Ayman bukan karena kedudukan atau kecantikan, tapi karena kebaikan iman dan pengabdian mereka. Islam membalik standar pernikahan, dari duniawi menjadi ukhrawi.

Keempat, pentingnya kepercayaan dan pembinaan generasi muda. Zaid adalah pemuda yang dibina langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kemudian diberi amanah besar, termasuk menjadi pemimpin pasukan. Ini memberi pelajaran bahwa pembinaan, kasih sayang, dan kepercayaan kepada pemuda bisa melahirkan generasi pemimpin.

Kelima, keputusan yang sulit bisa menjadi jalan kemuliaan. Zaid sempat menjadi budak, hidup dalam keterasingan, dan mengalami luka batin. Tapi semua itu menjadi jalan menuju kemuliaan dunia akhirat karena kesabaran, loyalitas, dan kebaikan hatinya.

Keenam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi teladan dalam memanusiakan orang lain. Beliau bukan hanya memerdekakan Zaid, tapi juga memuliakannya, mengangkat martabatnya, dan menikahkannya. Ini teladan luar biasa tentang bagaimana seorang pemimpin menyayangi dan menghormati yang lemah.

Ketujuh, selalu ada hikmah dari ketentuan Allah. Zaid kehilangan keluarga saat kecil, menjadi budak, tapi semua itu mengantarnya kepada keimanan, kebersamaan dengan Nabi, dan kedudukan tinggi di Islam. Ini mengajarkan bahwa takdir pahit hari ini bisa jadi jalan menuju kemuliaan esok hari.

Leave a reply

Ikuti
Search
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...