Telaah Tema Muktamar X FKAM Tahun 2025: Ber-NKRI dengan Spirit Akhlakul Karimah

AdamKanal Inspirasi6 days ago80 Views

Tema “Ber-NKRI dengan Spirit Akhlakul Karimah” yang diangkat dalam Muktamar X FKAM Tahun 2025 merupakan kelanjutan dari komitmen FKAM dalam membumikan nilai-nilai keislaman yang selaras dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah berbagai tantangan kebangsaan, seperti polarisasi sosial, intoleransi, hingga menurunnya etika publik, tema ini menjadi pengingat bahwa membangun NKRI tidak cukup dengan struktur dan sistem, tetapi juga harus ditopang oleh akhlak mulia yang tumbuh dari ajaran Islam. Melalui muktamar ini, FKAM menegaskan pentingnya dakwah yang santun, sejuk, dan wasathy sebagai bagian dari kontribusi nyata umat Islam bagi persatuan dan kemajuan bangsa.

Merujuk amanat Muktamar ke 9 yang dituliskan dalam Bab 1 Pasal 2 Buku Panduan Persidangan Muktamar IX FKAM Tahun 2020, disebutkan bahwa FKAM dengan kehadiran dan komitmen yang kuat untuk menampung dan mengembangkan potensi umat Islam, menyemarakkan syi’ar dakwah berbasis masjid, menjalin nilai-nilai ukhuwah untuk maju bersama umat menegakkan kalimah Allah di muka bumi. Dalam pelaksanaannya, FKAM melakukan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan gerakan dakwah, amal usaha, dan aksi sosial kemasyarakatan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan untuk memajukan ummat Islam keseluruhan di tengah problematika keumatan.

Dalam amanat tersebut pula disebutkan, “Adapun mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, FKAM senantiasa berperan aktif dalam memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara, serta membina dan meningkatkan kualitas anggota sebagai pelopor di tengah-tengah masyarakat. Pembinaan dan peningkatan kualitas dilakukan dengan cara pembangunan mentalitas manusia yang berkarakter kuat, dicirikan dengan kapasitas mental yang baik seperti keberanian, ketegasan, keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, ketegaran, kuat dalam menggenggam prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya. Adapun sifat kebangsaan, mencakup nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan. Hasil dari tindakan tersebut adalah sebagaimana yang diharapkan dalam kalimat tema muktamar: “Membersamai Ummat Menuju Indonesia Sejahtera, Adil, dan beradab”.”

Muktamar IX FKAM Tahun 2020 merupakan gagasan transformasi kaderisasi FKAM dengan sistematika pemilihan kepemimpinan yang lebih sistematis, terarah, dan terbuka. Menunjukkan optimisme untuk selangkah lebih maju dari mainstream yang telah dilalui oleh organisasi ini. Persidangan dalam Muktamar IX FKAM Tahun 2020 menghasilkan beberapa keputusan yang mengarah pada tema besar, dan telah dilaksanakan oleh kepemimpinan masa bakti 2020-2025, dengan segala dinamikanya. Maka perlu dalam Muktamar X FKAM Tahun 2025, melanjutkan estafet komitmen yang telah dibangun berlandaskan penghayatan terhadap nilai utama FKAM, kebangsaan, dan syariat Islam.

Menuju tiga dasawarsa usia FKAM, Muktamar X FKAM Tahun 2025 mengangkat pokok tema ‘’Ber-NKRI dengan Spirit Akhlak Karimah dan Dakwah Islam Wasathiyah’’, menitikberatkan rencana program dan pembahasan kebijakan strategis yang berkaitan dengan misi pendidikan ruhiyah kader, anggota, dan masyarakat umum; ideologi politik organisasi; dan ideologi agama organisasi. FKAM memandang perlu membentuk ideologi organisasi yang kuat sesuai koridor kebangsaan dan nilai-nilai utama yang dimiliki oleh organisasi berasaskan penghayatan nilai syariat Islam, lalu diimplementasikan dalam gerakan-gerakan pembinaan, dakwah, dan pendidikan.  Dengan ikhtiar tersebut, diharapkan mampu menghasilkan sumber daya manusia dan kader yang kuat, ideologis, dan profesional di segala lini yang dibutuhkan organisasi.

Dinamika politik dan ekonomi nasional maupun global berdampak kepada segala lini kehidupan, khususnya bangsa Indonesia. Hal tersebut beriringan dengan semakin pesat dan cepatnya perkembangan teknologi global, konflik yang mulai meletus di beberapa negara, serta ketidakpastian masa depan menjelma momok. Belum lagi kebebasan berekspresi yang menuju nirkendali, esensi nilai agama perlahan mulai ditinggalkan, etika dan tradisi timur yang dimiliki oleh bangsa terancam dianggap usang. FKAM sebagai organisasi Islam yang berhasil adaptif terhadap perkembangan zaman dengan core program dakwah dan kemanusiaan, mesti hadir sebagaimana nilai yang diletakkan di awal berdirinya, selalu membersamai ummat menuju kehidupan yang damai, terkendali, dan berbudi pekerti.

Bukan dalam waktu yang singkat, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melewati proses yang panjang dalam merumuskan ideologi politiknya. Embrio yang ‘dibuahi’ oleh para ‘penggerak’ sepanjang 1924 hingga 1928 yang ditandai dengan ‘’Sumpah Pemuda’’, menjadi bukti bahwa para intelektual bangsa telah berusaha sekuat tenaga mencari sintesis dari keragaman anasir keindonesiaan. Selanjutnya, perumusan dasar negara Indonesia pun mulai dibicarakan pada persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan (BPUPK) pada 29 Mei – 1 Juni 1945 dengan serangkaian peristiwa di dalam proses sidang-persidangannya, kemudian disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945. Sejak hari itu, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam peri-kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia (Negara Paripurna, Yudi Latif, 2015: 5-41).

Negara ini memiliki keunggulan berupa kemampuan mengelola keragaman budaya, ras, suku, bahasa, agama, dan preferensi politik ke dalam wadah Pancasila. Kehadiran Pancasila yang didukung tiga pilar bangsa lainnya, yaitu UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika menjadikan Indonesia memunculkan sistem baru karena mampu menggabungkan antara sistem demokrasi dengan nilai-nilai agama. Jika merujuk pada sejarah Nabi Muhammad Shallallahu‘Alaihi wa Sallam saat di Madinah, Indonesia merupakan gambaran ideal yang termaktub dalam Piagam Madinah (Madinah Charter) yang terkandung di dalamnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, toleransi, dan menjaga keutuhan negara dari serangan luar. Posisi Indonesia sebagai ‘Darul Mitsaq’ sebagai komitmen kebangsaan sehingga harus hidup berdampingan secara damai dengan prinsip mu’ahadah (kesepakatan) atau muwatsaqah, bukan posisi muqatalah (saring membunuh) atau muharabah (saling berperang).

Para ulama terdahulu telah memberikan perhatian mendalam perihal pentingnya posisi kepemimpinan dalam Islam. Hujjatul Islam, Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111M), mengilustrasikan dalam kitabnya Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad telah menjelaskan bahwa agama dan kekuasaan (As-Sulthan) itu bagaikan dua saudara kembar yang saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain, tidak cukup hanya dengan salah satunya dengan meninggalkan yang lainnya :

اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطاَنُ تَوْأَمَانِ ، اَلدِّيْنَ أُسٌّ وَالسُّلْطاَنُ حاَرِسٌ وَمَا لَا أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ ، وَمَا لَا حاَرِسَ لَهُ فَضائِعٌ

“Agama dan kekuasaan itu seperti dua saudara kembar, agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak mempunyai asas maka dia akan runtuh, dan apa saja yang tidak mempunyai penjaga maka dia akan hilang.” (Imam Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad:  292-293).

Agama dan negara, merupakan dua entitas yang selalu terkait dalam putaran panjang dunia. Keberadaan agama tidak bisa lepas dari peran negara, dan tidak ada negara yang berdiri tegak tanpa kontribusi agama (keyakinan) warganya. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bentuk hubungan antar entitas telah mengalami proses yang panjang hingga terjadi kesepakatan final bahwa Indonesia telah memilih jalan sebagai negara dengan filosofi Pancasila, berdasarkan konstitusi UUD 1945, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hukum, dan sangat menghargai atas nilai-nilai luhur agama sebagai salah satu sumber hukum. Seluruh umat beragama di Indonesia dituntut untuk memiliki kesadaran yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun di atas nilai-nilai persaudaraan , persatuan, dan kesatuan nasional. Para tokoh agama juga dituntut untuk memahami agama dengan melihat juga kondisi obyektif bangsa Indonesia yang majemuk (multi-kultural, multi-agama, dan multi-etnis). Sehingga pemahaman keagamaan lebih bersifat moderat, tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salam), dan toleransi (tasamuh).

Dalam kehidupan bernegara FKAM memandang negara Indonesia merupakan negara yang majemuk. Terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan budaya. Melalui proses persiapan kemerdekaan yang panjang, kesepakatan pun paripurna bahwa negara Indonesia merupakan negara kesepakatan yang bentuknya negara bangsa (nation state), bukan negara yang didirikan berbasis agama (teokrasi). Nation state menjadi pilihan demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, dan sejahtera. Sebagaimana perintah syariat untuk mengikuti kesepakatan mayoritas umat Islam, FKAM memiliki konsekuensi terhadap organisasi besar Islam yang merepresentasikan Umat Islam Indonesia -dalam hal ini Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah- untuk mengikuti ijtihad politik bahwa Indonesia adalah Darul Mitsaq (oleh NU) dan Darul ‘Ahdi wa Syahadah (oleh Muhammadiyah) yang telah digagas oleh ahli hukum dari kedua organisasi tersebut secara ilmiah.

Implementasi nilai kebangsaan dalam nilai utama FKAM, tercantum dalam nilai ke enam: ‘Dedikasi’, Totalitas dalam mencurahkan pikiran, waktu, dan kemampuan untuk kejayaan agama serta kemakmuran bangsa dan negara. Sedangkan dalam misi organisasi, FKAM meletakkan dalam misi ke 4: ‘’Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelopor masyarakat.’’; misi ke 5: ‘’Berperan aktif dalam memelihara kehidupan berbangsa dan bernegara’’; serta misi ke 12: ‘’Membangun budaya amar ma’ruf nahyi munkar untuk mewujudkan masyarakat madani menuju baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur’’.

Sedangkan ‘’Akhlak Karimah’’, secara bahasa berarti sikap, tindakan, dan kelakuan. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, lafadz khuluq dan khalqu adalah dua sifat yang dapat dipakai bersama. Jika menggunakan kata khalqu maka yang dimaksud bentuk lahir, sedangkan jika menggunakan kata khuluq, maka yang dimaksud adalah bentuk batin. Secara terminologi, akhlak adalah sifat yang tumbuh menyatu di dalam diri seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan seseorang seperti sabar, kasih sayang, atau sebaliknya pemarah, benci karena dendam, iri dengki, hingga memutuskan hubungan silaturahim. Al-Ghazali juga menyampaikan, bahwa akhlak adalah ungkapan tentang suatu keadaan yang tetap di dalam jiwa, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa membutuhkan pemikiran dan penelitian.

Dalam berakhlak menurut pemikiran FKAM adalah segala perilaku yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Salaful Ummah. Selain itu, FKAM juga berpandangan bahwa rumusan akhlak sebagian juga bersumber dari nilai-nilai universal yang dianut semua manusia, hanya saja masing-masing bangsa memiliki adat tradisi dan tata nilai yang disepakati secara konvensional. FKAM sepenuhnya menerima adat dan tata nilai yang berlaku di masyarakat yang tentu saja secara substansial sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

Dalam implementasinya, FKAM berkomitmen menjunjung tinggi akhlak karimah dalam melaksanakan program-programnya. Sebagaimana yang tercantum dalam nilai utama FKAM poin pertama, yakni: ‘’Moral: Selalu mengedepankan akhlakul karimah’’, sedangkan dalam misi organisasi, FKAM meletakkan dalam misi ke 3: ‘’Mencetak kader dai yang alim, sholih, takwa, dan berakhlak mulia yang mampu membersamai umat dalam membumikan nilai-nilai Islam’’; Misi ke 8: ‘’Memelihara sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.’’

Mengenai ‘’wasathiyah’’, menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur Al-Afriqi Al-Mashry, pengertian wasathiyah secara etimologi berarti:

وسط الشيئ ما بين طرفيه

Artinya: ‘’Sesuatu yang berada (ditengah) di antara dua sisi’’. Sedangkan menurut Ibnu Asyur menjelaskan, kata wasath berarti memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Sedangkan menurut Al-Ashfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara dua batas (sawaa-un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith). Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan bahwa al-wasath adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah atau ‘markaz ad-dairah’, kemudian makna tersebut juga digunakan untuk sifat/perbuatan yang terpuji, seperti pemberani adalah pertengahan di antara dua ujung. “Dan demikianlah kami menjadikan kalian umat yang pertengahan’’ artinya ‘’Dan demikianlah kami memberi hidayah kepada kalian semua pada jalan yang lurus yaitu agama Islam’’. Kami memindahkan kalian menuju kiblatnya Ibrahim dan memilihkannya untuk kalian. Kami menjadikan Muslimin sebagai pilihan yang terbaik, adil, pilihan umat-umat, pertengahan dalam setiap hal, tidak ifrath dan tafrith dalam urusan agama dan dunia. Tidak melampaui batas dalam melaksanakan agama dan tidak seenaknya sendiri di dalam melaksanakan kewajibannya.

Dalam makna terminologi, makna “wasathan” yaitu pertengahan sebagai keseimbangan (al-tawazun), yakni keseimbangan antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertengtangan: spiritualitas (ruhiyah) dengan material (maddiyah). Individualitas (fardiyah) dengan kolektivitas (jam’iyyah). Kontekstual (waqi’iyyah) dengan tekstual.

Formulasi konsep Islam Wasathiyah dapat dikonstruk secara komprehensif, holistik, dan integral. Konsep tersebut merupakan kompilasi subtansi sejarah yang mencakup: Perjanjian Hudaybiyah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjaga kelangsungan hidup bersama dalam perdamaian, kerukunan, dan solidaritas antar sesama; Piagam Madinah, yang merupakan konstitusi pertama di dunia, memuat pasal-asal yang mempersatukan masyarakat Madinah secara integral yang terdiri dari unsur-unsur heterogen; serta Khutbah Wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memuat nilai-nilai kemanusiaan yang universal, menghargai manusia atas dasar prinsip egalitarianisme, demokratis, partisipatif, berkeadilan, beradab, dan menebarkan perdamaian. 

Dapat disimpulkan bahwa Islam Wasathiyah merupakan nilai utama yang telah menjadi bagian dari ajaran Islam sejak masa kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nomenklatur ini digunakan sebagai prinsip moderasi dalam beragama, baik di Indonesia maupun di masyarakat Muslim dunia, untuk memudahkan umat dalam memperoleh panduan dalam bersikap dan bertindak. Sebagai sistem nilai, Islam Wasathiyah berfungsi sebagai kerangka berpikir umat Islam dalam menjalani kehidupan sosial, keagamaan, dan kebangsaan secara seimbang dan moderat. Dengan demikian, karakter Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud dalam seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.

Adapun karakteristik Islam Wasathiyah, merujuk pada Taujihat Islam Wasathiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan keputusan Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI pada Agustus 2015 di Surabaya, khashais (karakteristik) Islam Wasathiyah adalah mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (i’tidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (ishlah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), serta berkeadaban (tahadhdhur). Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

‘’Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu’’

FKAM berpandangan sebagaimana yang tertuang dalam keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Taujihat Surabaya, Musyawarah Nasional (Munas) MUI IX, bahwa Islam Wasathiyah wajib diamalkan secara istiqamah oleh seluruh umat Islam di Indonesia maupun di dunia. Tujuannya adalah agar umat Islam dapat menjadi syuhada’ ‘ala al-naas (saksi kebenaran Islam) dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang damai dan saling menghargai; kehidupan kebangsaan yang inklusif, bersatu, dan berkeadaban; serta kehidupan kenegaraan yang demokratis dan nomokratis. Islam Wasathiyah juga menjadi fondasi penting dalam mendukung ikhtiar kolektif umat Islam Indonesia bersama seluruh elemen bangsa untuk memperkuat persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila. Upaya ini merupakan wujud nyata kecintaan umat Islam terhadap terwujudnya tatanan dunia yang damai, berkeadilan, dan berkeadaban.

Tema Muktamar X FKAM Tahun 2025, “Ber-NKRI dengan Spirit Akhlak Karimah dan Dakwah Islam Wasathiyah”, merupakan wujud komitmen FKAM untuk meneruskan amanat strategis Muktamar IX Tahun 2020, yang mengangkat tema “Membersamai Umat Menuju Indonesia Maju, Adil, dan Beradab”. Tema ini bukan sekadar kesinambungan program, tetapi merupakan refleksi mendalam atas nilai-nilai Islam yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pijakan utama dalam tema ini adalah akhlak karimah – akhlak mulia – yang menjadi buah dari kesempurnaan iman dan baiknya kondisi keislaman seseorang. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 24–25:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ۝ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢ بِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ۙ۝

 “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit; (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat.”

Ayat ini menjadi cerminan bahwa akhlak yang baik lahir dari akar iman yang kokoh dan akan memberikan manfaat berkelanjutan bagi sekitarnya. Dari pribadi yang berhias akhlak karimah akan lahir karakter yang santun, toleran, menyejukkan, serta menjunjung tinggi kedamaian dalam interaksi sosial.

Nilai-nilai tersebut membentuk fondasi bagi terciptanya tatanan masyarakat inklusif yang menjunjung tinggi persatuan atas dasar kebangsaan, tanpa mencaci, merendahkan, atau melemahkan golongan lain. Inilah wujud nyata dari semangat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan atas dasar kebangsaan) yang harmonis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada titik inilah prinsip Islam Wasathiyah (Islam moderat) menemukan relevansi dan urgensinya. Sebagai nilai utama dalam ajaran Islam, wasathiyah hadir sebagai prinsip hidup yang menghindarkan umat dari sikap ekstrem dan intoleran. Ia mendorong umat Islam untuk menjadi umat yang adil, seimbang, dan menjadi saksi kebenaran di tengah masyarakat (syuhada’ ‘alan-naas), serta turut berperan aktif dalam membangun bangsa yang damai, adil, dan berkeadaban.

Melalui Muktamar X Tahun 2025 ini, FKAM menegaskan bahwa spirit akhlak karimah dan dakwah Islam Wasathiyah bukan hanya menjadi arah gerak organisasi, tetapi juga menjadi kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang bersatu, berkeadilan, dan bermartabat di tengah dinamika zaman. (Usamah Jundu Rohman, S.Sos.)

Daftar Pustaka:

DPP FKAM. 2020. Buku Panduan Persidangan Muktamar IX Forum Komunikasi Aktivis Masjid. Surakarta: DPP FKAM.

DPP FKAM. 2025. Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM): Sejarah dan Perkembangannya. Surakarta: DPP FKAM.

Tim Komisi dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI. 2019. Islam dan Kebangsaan. Jakarta Pusat: Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat.

Tim Komisi dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI. 2019. Islam Wasathiyah. Jakarta Pusat: Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat.

Latif, Yudi. 2022. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

fkam.id. Artikel Dakwah Islam Wasathiyah oleh Ketua Umum FKAM, Ustadz Umaier Khaz, Lc., M.H. (diakses pada 22 Juli 2025).

Leave a reply

Ikuti
Search
Loading

Signing-in 3 seconds...

Signing-up 3 seconds...